Descargar la aplicación
100% SENTERA / Chapter 2: CHAPTER 2 : THE D-FOREST

Capítulo 2: CHAPTER 2 : THE D-FOREST

Sudah cukup lama sejak empat anak itu bangun dari pingsan mereka. Kepala mereka sempat terasa sangat sakit begitu mereka membuka mata. Alhasil, mereka memutuskan untuk mengistirahatkan diri mereka terlebih dahulu.

"Sudah merasa baikkan?" Taka menanyakan kondisi teman-temannya. Semuanya mengangguk kecuali Agta. Anak itu memang sadar paling terakhir, jadi mungkin ia masih butuh sedikit waktu lebih lama untuk merasa baikkan.

"Kita ada dimana?" Tanya Agta. Wajahnya terlihat jelas masih menahan sakit.

Mata mereka menyapu sekeliling. Mereka tidak bisa melihat apa-apa. Gelap gulita berselimut kabut. Mereka lantas mengeluarkan senter yang mereka beli di supermarket tadi dari dalam ransel.

Dengan bantuan sinar senter, mereka kini bisa melihat sedikit apa yang ada di sekeliling mereka. Pohon-pohon raksasa besar yang menjulang tinggi (sangat tinggi sampai mereka tidak tahu seberapa tingginya pohon-pohon itu),di dekat mereka ada akar-akar besar yang mencengkeram permukaan tanah, dan daun-daun lebat yang bahkan menutupi langit malam.

"Dimana ini?" Bisik Eron. Benaknya berkata bahwa tempat ini bukan tempat yang mereka tuju. Ini bukan Selatan. Selatan tidak terlihat seperti ini-mati, sepi dan sunyi.

"Ini bukan Selatan?" Agta mewakili apa yang dipikirkan Eron. "Kita belum tahu, Ta."

"Aku tidak bisa mendengar dan merasakan apa-apa," Kata Agta

"Aku khawatir bahwa kita belum sampai," Jawab Tiero. "Taka, bagaimana menurutmu?"

"Sesuatu terjadi pastinya," Kata Taka. Ia tahu bahwa Selatan tidak akan mengubah sesuatu tanpa alasan yang penting. Ia teringat bahwa dulu Selatan pernah mengubah tujuan pintu ke kota menjadi ke padang hijau secara mendadak. Setelah beberapa bulan lamanya, anak-anak baru mengetahui fakta dibalik hal itu.

Tampaknya banyak yang terjadi selama 3 tahun pengungsian mereka. Selepas insiden 3 tahun lalu, tidak ada kabar yang mereka terima mengenai tempat asal mereka, tidak satupun. Namun hari ini, secara mendadak mereka mendapat paket misterius berisikan cincin dan sebuah surat yang meminta mereka untuk kembali. Apa yang membuat mereka diminta untuk kembali? Setau mereka, Selatan selalu mempunyai cara untuk mengendalikan sebuah situasi kacau. Dan jika Selatan sampai memanggil mereka untuk kembali, ini berarti tanda yang buruk.

"Agta, kau sudah baikkan?" Agta mengangguk-ngangguk lalu bangkit.

"Mana pintunya?" Agta membelalak setelah melihat tidak ada pintu di dekatnya. Hanya pohon-pohon dengan batang berdiameter lebar di sekelilingnya. Ia menatap tempat dirinya bersender tadi yang ternyata adalah akar raksasa.

"Ya ya ya, kami juga bereaksi sama sepertimu tadi. Tidak usah dicari pintunya."

"Tapi kita masuk lewat pintu bukan?" Ketiga temannya mengangguk. Agta takjub. "Pintu itu bisa menghilang. Wah ini semakin luar biasa," Puji Agta.

"lihat, anak itu sudah kembali normal, mari lanjutkan perjalanan." Eron meraih ranselnya, dan berjalan duluan lalu diikuti oleh ketiga temannya.

Masing-masing dari mereka menyalakan senter, mengarahkannya ke segala arah untuk mencari tanda-tanda keberadaan Selatan. Eron memimpin di depan sedangkan Taka mengawasi dari belakang. Mereka berjalan perlahan karena kabut menutupi seluruh kawasan hutan. Sejauh ini mereka tidak menemukan apa-apa. Tempat ini seperti tempat yang mati. Mereka pernah mengunjungi hutan yang gelap, sepi berkabut tapi tidak sampai seperti ini. Bahkan lebih baik, mereka masih bisa menemukan rusa dan kelinci.

"Agta, bagaimana handphone mu?" Eron bertanya, menggoda temannya itu. Agta mengecek handphone nya yang masih menyala tapi tidak ada sinyal. "Yah, begitulah," Kata Agta enggan menjelaskan lebih lanjut. Eron tertawa.

"Tapi aku masih bisa menggunakan kamera kau tahu?" Agta membela diri.

"Sudah kubilang," Balik Eron. "Aku juga sudah bilang bahwa aku hanya mencobanya. Hipotesis kau tahu? Memangnya kau pernah liat handphone di sini? Tidak kan?" Seru Agta.

"Hey, hey coba lihat!" Tiero mengarahkan cahaya senternya pada sesuatu, mengakhiri perdebatan kedua temannya itu sebelum menjadi-jadi. Di balik kabut, samar-samar terlihat sesuatu dari kejauhan.

Mereka menghampirinya. Ternyata itu adalah sebuah gubuk tua. Gubuk itu benar-benar sangat buruk kondisinya. Bau menyengat, kayu-kayu penopang yang rapuh, batu-batu tajam dan robekan-robekan kain yang menurut mereka merupakan bekas orang yang pernah tinggal di sini. Gubuk ini bahkan terlihat lebih memprihatinkan dari gubuk-gubuk tua di kota.

"Siapa yang tinggal di tempat seperti ini?" Eron memandang ngeri tempat ini. "Ssst..." Taka meminta semuanya untuk tetap diam, takut-takut ada seseorang yang masih berada di sini.

"Ini bukan lencana kita," Tiero berkata, menunjukkan sebuah lencana merah hitam yang ia temukan. Lencana itu berbentuk perisai dengan kedua pedang. Di tengahnya terdapat gambar api. Taka mengangguk. "Ya, itu lencana pasukan raja. Ia pasti mengirimkan pasukannya untuk mencari Selatan."

"Mencari Selatan? Mereka sudah memecah belah Sentera! Dasar raja tidak tahu diri!" Eron mengumpat pelan.

Mereka berempat tahu bahwa sejak dahulu, keluarga kerajaan selalu bermusuhan dengan Selatan. Mereka bahkan memecah Sentera-awal mula Selatan-menjadi 4 bagian. Insiden 3 tahun lalu adalah salah satu perbuatan mereka. Pemimpin Selatan terbunuh oleh sekelompok pengkhianat. Alhasil seluruh penduduk di bawah umur 17 tahun diungsikan ke dunia lain, termasuk mereka berempat.

Mereka yang pada saat itu berumur 14 tahun-kecuali Agta yang satu tahun lebih muda-harus kehilangan anggota keluarganya. Lebih tepatnya, mereka tidak tahu apakah keluarganya berhasil selamat atau tidak.

"Tapi ini berwarna merah hitam. Pasukan raja tidak berwarna merah hitam." Tiero menatap ketiga temannya. Hal buruk ada di kepalanya sekarang.

"Kau benar, raja telah berganti sekarang," Ujar Taka seolah membaca pikirannya.

"Wah, sampai berapa keturunan mereka akan terus menyiksa kita?" Tanya Eron.

Mereka pun melangkah masuk lebih dalam. Di dalam mereka menemukan banyak baju armor yang sudah berdebu beserta pedang-pedang yang tergeletak begitu saja. Di sebelahnya terdapat sebuah perkamen merah tua. Tiero meraih perkamen itu, membukanya. Ada sebuah surat di dalamnya. Kosong. Tidak ada yang tertulis di surat tersebut.

"Apa yang terjadi pada mereka?" Tiero bertanya. "Aku tidak tahu."

"Mereka tidak mungkin kabur, bukan? Tidak mungkin mereka akan meninggalkan benda ini," Kata Tiero.

"Simpan dulu saja Tiero," Pesan Taka. Tiero lantas memasukkan perkamen itu ke dalam ransel.

"Tidak mungkin juga mereka mati, tidak ada bercak darah dan tengkorak sama sekali." Tiero menggeledah seluruh penjuru gubuk tua itu. Tidak ada yang aneh, sungguh. Gubuk tua itu sama seperti gubuk-gubuk pada umumnya yang telah lama ditinggalkan.

"Siapa juga yang akan membunuh mereka? Hutan ini mati," Sahut Eron.

"Ya ampun, itu dia." Sesuatu tiba-tiba melintas di kepala Agta. Semua orang menatapnya, memberikan tatapan yang seolah-olah mengatakan, "Ada apa?"

"Kurasa aku tahu kita ada dimana." Agta melihat ketiga temannya. "Kau merasakan sesuatu?" Tanya Eron. "Aku mengingat sesuatu."

"Kalian ingat cerita-cerita lama yang setiap malam didongengkan nyonya Reta saat api unggun?" Mereka berkerut mengingat-ngingat. Cerita yang mana?

"Aku tidak ingat," Jawab Eron.

"Aku juga tidak," Kata Tiero sambil menyengir. Agta mendengus pasrah. "Taka, jangan bilang kau tidak ingat." Ia menatap temannya, berharap. Namun Taka menggeleng pelan sambil menunjukkan tanda V.

"Pohon-pohon berkawan dengan kematian, diselimuti kabut putih yang akan membuatmu melirih." Agta menirukan gaya pendongengnya.

"Itu wajib dihafalkan, bodoh!!"

"Dan kau menghafalkannya?" Eron bertanya. "Aku sih tidak."

"Aku akan mengadukan kalian bertiga, lihat saja nanti," Ancamnya.

"Sudah cepat katakan saja kita ada dimana?" Eron mendesak. "Kita ada di hutan mati!!" Ketiga temannya bingung untuk bereaksi. Apa itu hutan mati?

"Tentu saja kalian merasa asing dengan itu karena kalian tidak mengetahuinya. Wah aku merasa bersyukur bahwa meskipun aku sering bolos api unggun, aku masih dapat mengingat samar-samar tentang cerita itu."

"Memangnya ada apa dengan Hutan mati?" Tanya Taka. "Awalnya, kufikir cerita-cerita itu bohongan, tapi ternyata benar-benar ada," Bangga Agta.

Dulu saat mereka semua masih kecil, Nyonya Reta selalu mengadakan api unggun setiap malam dan menceritakan sejarah-sejarah, mitos-mitos, dan legenda-legenda mengenai Selatan ataupun Sentera. Anak-anak seusianya selalu antusias mendengar cerita-cerita yang didramatisir dengan backsound. Namun tidak dengan mereka berempat. Meski umur mereka masih 8 tahun, mereka berfikir cerita-cerita itu terlalu dibuat-buat. Tapi tampaknya mereka salah.

Hutan mati adalah salah satu mitos yang diceritakan Nyonya Reta-mereka menganggapnya mitos. Nyonya Reta pernah mengatakan bahwa jika Selatan sedang berada dalam bahaya maka hutan mati akan muncul untuk melindungi Selatan. Siapapun yang bukan bagian dari Selatan akan mati di hutan ini.

"Kita akan mati?" Tiero bertanya. Eron menggeleng santai, "Jangan khawatir, kita kan bagian dari Selatan."

"Bagaimana hutan ini tahu bahwa kita bagian dari Selatan?" Tanya Taka. "NAH!!" Agta berujar,"Aku berfikir hal yang sama," Katanya sambil menatap tajam Eron. Enak saja dia bilang begitu seenaknya.

"Apa maksudmu? Kita tidak langsung dikenali? Jangan bercanda." Eron berubah panik. "Eron, bahkan raja Deta pun tidak terlihat seperti orang jahat! Wajahmu lebih sesuai untuk karakter jahat kau tahu?" Agta meledek temannya itu.

"Tidak peduli wajahnya, bocah! Hatinya! Polos-polos jahat!"

"Bagaimana cara hutan ini membunuh seseorang?" Taka bertanya lebih lanjut. "Lebih baik tidak mencari tahu, ka. Itu lebih baik." Agta berjalan keluar dari gubuk tersebut.

Mereka mengarahkan sinar senter pada pohon, akar ataupun dedaunan, mencoba mencari tanda kehidupan. Tidak ada satupun suara yang terdengar. Hutan ini begitu sunyi senyap. Tidak ada suara burung hantu, tokek, bahkan suara kepakan sayap kelelawar. Pantas saja hutan ini dinamakan hutan mati. Tidak ada satupun tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

"Ayo kita jalan lagi saja. Selagi tidak ada yang aneh, kita akan baik-baik saja." Agta menenangkan.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Sejauh ini, mereka masih belum menemukan tanda-tanda mereka akan sampai. Ransel di punggung mereka sudah berkali-kali mereka perbaiki posisinya.

"Jam berapa sekarang?"

"Ta, bagaimana jam di handphonemu?" Eron bertanya setelah mendengar Taka. "Di handphoneku jam 2. Entah benar atau tidak."

Mereka menghela nafas. Jika handphone Agta benar, berarti sudah 6 jam sejak mereka sampai di mall ASA. Kaki mereka mulai mati rasa. Akar- Akar raksasa kerap membuat mereka tersandung. Tidak jarang mereka terjatuh. Kabut yang menghalangi pandangan selalu menutupi apa yang ada di depan mereka. Senter pun tidak terlalu membantu untuk melihat menembus kabut. Energi mereka juga seperti terkuras habis berjalan tanpa henti.

Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak. Taka meminta Eron dan Tiero mengumpulkan ranting-ranting pohon untuk membuat api unggun. Meski jaket mereka sudah sangat tebal, tetapi hawa dingin hutan ini masih dapat menusuk kulit. Mereka beberapa kali mengusap-ngusap badan, mencoba menghangatkan tubuh mereka.

Eron dan Tiero kembali dengan banyak ranting. Taka pun mulai menyalakan api unggun. Keempat anak itu duduk melingkar sambil memeluk lutut. Mereka mengadakan rapat sederhana.

"Mengapa kita diarahkan ke tempat ini?" Tiero membuka obrolan. Semuanya memandang lurus ke arah api unggun, memikirkan hal yang sama. Sebenarnya mereka mempunyai begitu banyak pertanyaan berputar-putar di kepalanya, menunggu untuk dijawab. Mulai dari kenapa dengan hutan mati ini, apa yang terjadi selama 3 tahun ini, apa yang membuat Selatan meminta mereka kembali, dan masih banyak lagi. Mereka tidak bisa memikirkan jika ada orang lain yang juga ada di kondisi mereka saat ini.

"Sudahlah, jangan terlalu bersedih. Kita akan pulang, tidakkah itu sedikit menyenangkan?" Agta mencoba mencairkan suasana.

"Dasar bocah!" ledek Eron.

Mereka melanjutkan obrolan santai, melupakan sejenak segala masalah yang ada. Agta dengan semangat membongkar seluruh hal memalukan Eron, mulai dari salah jadwal, bangun kesiangan yang akhirnya dia mendapat hukuman, terpeleset jatuh saat sedang berlari, dan masih banyak hal lainnya. Taka dan Tiero tertawa lepas mendengar kisah-kisah dramatis temannya itu. Eron yang menahan malu hanya bisa mendengus kesal.

Setidaknya mereka bisa tertawa lepas. Sejak pertama kali mereka diungsikan ke dunia lain, mereka seperti dirundung awan gelap. Tak jarang mereka bersikap dingin terhadap orang-orang yang baru dikenal. Agta pun begitu, dia tidak selepas ini sebelumnya. Ia lebih banyak diam dan mengamati sekitar. Itu kenapa dia sedikit senang saat dirinya dan teman-temannya diminta untuk kembali.

Kebahagiaan pun berlanjut menyatu dengan kehangatan. Keempat anak itu tidak berhenti dengan satu orang. Mereka terus menceritakan kisah-kisah konyol mereka dahulu. Baik Taka, Tiero, maupun Agta.

Tak terasa api unggun mulai memadam, dan alasan kenapa mereka diminta untuk kembali baru akan dimulai.


next chapter
Load failed, please RETRY

Un nuevo capítulo llegará pronto Escribe una reseña

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C2
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión