Anna menggeliut resah di atas tempat tidur. Ia berbalik ke kanan dan ke kiri sembari meremas sprei kasur dengan kencang. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh Anna yang tegang. Tak lama kemudian kelopak mata Anna tersibak lebar.
Ia melonjak bangun dan terduduk tegak. Napasnya agak terburu-buru. Anna mengamati sekeliling kamar dengan waswas. Jantungnya berdetak kencang berada di tempat asing seperti ini. Bibir Anna terkatup rapat.
Bukan kamarnya.
Ini dimana?
Mimpi?
Anna mencoba mengingat kejadian sebelum ia tertidur pulas. Memorinya memutar ulang semua rekaman hari itu. Sedikit demi sedikit Anna menyortir fakta-fakta yang tergambar jelas di otaknya. Detik demi detik pun berlalu dan genggaman tangan Anna di sprei semakin lama semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Setelah menyadari bahwa semua ini adalah sebuah kenyataan, Anna termangu beberapa saat.
"Urgh.."
Sekarang dia sudah terlanjur terperosok ke dalam jurang.
Anna mengusap-usap wajahnya frustasi menggunakan kedua telapak tangannya. Ia menghembuskan napas kasar dan kesal. Selain karena mulutnya yang masih terasa sakit, Anna merasa kepalanya pasti 'sakit' juga.
Demi menghapus hutang yang ada, Anna harus mel*cur.
Perjanjian macam apa itu?
Tapi mau bagaimana lagi. Di antara semua pilihan yang ada, mungkin hanya itulah yang terbaik.
Anna tak punya uang tabungan cukup untuk mengganti. Tak bisa gadaikan rumah, juga tak bisa membiarkan adiknya menderita.
Lari tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi jika lawannya keluarga Cahya.
Keluarga Cahya sudah seperti simbol kekayaan di negara ini. Keluarga nomor satu yang paling berpengaruh di Indonesia. Walaupun mereka tidak menaruh kakinya di politik, tetapi berkat pengaruh ekonomi yang mereka miliki posisi keluarga Cahya menjadi sangat vital. Dengan harta kekayaannya, mereka bisa menggerakkan siapa saja yang mereka mau. Sama halnya seperti mempunyai banyak anak buah yang loyal terhadap keluarga Cahya untuk menjalankan misi-misi khusus. Anak buah inilah yang ditakuti oleh seluruh pejabat negara. Keahlian mereka dalam bela diri, mengumpulkan informasi, dan IQ yang tinggi menjadikan mereka musuh yang sulit untuk ditaklukkan.
Anna membuang jauh-jauh ide untuk melarikan diri.
Yang penting sekarang, dia harus segera menguak siapa pelakunya agar dia tidak dijadikan boneka sex seumur hidupnya.
Hmph.
Rantai yang membelenggu kebebasannya ini cepat atau lambat akan hancur di tangan Anna.
Seolah mengetahui peran batin di dalam diri Anna telah selesai, pintu kamar itu terbuka lebar menampakkan seorang laki-laki tampan yang berdiri dengan memasukkan satu tangan di kantong celana.
Ruan mengamati Anna yang duduk termenung di atas kasur dan tak menyadari kedatangannya. Mata wanita itu membara terang dan mencerminkan tekad kuat, serta memberikan kesan bahwa tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Ruan seakan-akan bisa membayangkan figur Anna nekat menerobos maju demi merebut bendera kemenangan.
Arogan. Penuh percaya diri.
Anna yang ada di depan Ruan sama seperti Anna yang biasa ia lihat di kantor.
Jauh berbeda dengan Anna yang berusaha memuaskannya kemarin.
Seksi, menggoda, dan liar penuh gairah.
Perbedaan itu menggelitik hasrat Ruan. Sudut matanya memicing bak elang, dengan pancaran yang sedingin es kutub.
Ruan harus menekan hasratnya dan mengingatkan diri sendiri kalau waktu yang mereka miliki masih panjang. Bayaran yang sepatutnya ia terima dari wanita ini begitu besar, Ruan harus menagihnya perlahan-lahan.
Bayaran atas pengkhianatan.
"Bangun," ujar Ruan dengan suara rendah yang dingin dan menyesakkan.
"....?"
Anna menoleh dan mendapati Ruan berdiri di ambang pintu.
"Ahhh!" Anna terkesiap kaget.
Angin dingin AC membelai halus permukaan kulitnya. Anna langsung kalang kabut menyabet selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
Ruan menatap tanpa ekspresi Anna yang masih berteriak. Namun, suara derap langkah kaki cepat menggema di lorong. Seseorang sedang terburu-buru menghampiri tempat mereka.
"Ada apa? Ada apa?!"
Muncul Pak Tua berjenggot tipis nan rapi dari belakang Ruan. Pak Tua itu mengenakan setelan jas hitam seperti pelayan dan membawa nampan perak. Begitu datang, fokusnya tertuju langsung pada Ruan. "Tuan Muda, tidak apa-apa??"
Kepala Pelayan bertanya panik sambil memeriksa Ruan dari atas ke bawah. Sedangkan Ruan tak pernah sekalipun menaruh perhatian pada Pak Tua itu. Pandangannya tetap bertahan di Anna yang sedang meremas selimut di tengah dadanya kuat-kuat dengan ekspresi bingung.
Setelah beberapa saat ketiganya terjebak dalam keheningan, Ruan berbalik dan meninggalkan kamar sambil berujar datar, "Setengah jam."
"Ohh. Siap, Tuan Muda."
Anna masih memasang ekspresi bertanya-tanya. Karena terlalu disibukkan dengan pikirannya, Anna baru sadar kalau ia terbangun tanpa busana.
Lalu barusan.... Ruan??
"Selamat pagi, Nona Anna," Kepala Pelayan membungkuk sedikit untuk memberi salam sebelum menegakkan badan lagi. Berbeda dengan ketika dia menghadapi Ruan yang terlihat akrab, kini perangainya berubah. Suasana yang diberikan lebih tenang dan sopan.
"..Ini dimana?" Anna bertanya pelan.
Kepala Pelayan tersenyum. "Saat ini Nona berada di mansion keluarga Cahya."
Setelah berkata demikian, Kepala Pelayan tidak menunggu Anna memproses keadaannya dan kembali berkata, "Nona ditunggu oleh Tuan Muda Ruan dalam waktu setengah jam."
Kening Anna berkerut samar. Ia mengendalikan dirinya untuk tidak panik, lalu menjawab tenang, "Apa ada perlu? Saya mau pulang."
"Maaf, Nona. Saya tidak bisa menjawabnya."
Anna menghembuskan napas pelan. "Kalau begitu, bilang Tuan Muda Ruan untuk menghubungi saya bila membutuhkan jasa saya. Saya pasti datang. Selebihnya, tolong tinggalkan saya sendiri."
Anna menyeret selimut yang menutupi tubuhnya sekalian menggeser badan ke tepi ranjang.
Kepala Pelayan mengambil jeda sejenak sebelum mengatakan, "Tuan Muda akan berangkat ke kantor. Apakah Nona masih ingin pulang?"
Gerakan Anna terhenti tiba-tiba dan wanita itu mematung. Apa yang dikatakan Kepala Pelayan seperti peringatan yang berdering melengking, bahwa jika Anna melewatkannya, tidak ada yang tahu kapan Anna akan mendapat kesempatan lagi.
Apakah itu artinya dia bisa kembali bekerja?
Betulkah?
Harusnya betul. Ruan sudah berjanji akan membiarkan Anna bekerja setelah Anna memuaskannya. Walaupun dia agak ragu apakah pria itu akan menepati janjinya, tapi seharusnya tak ada masalah jika Anna masuk kantor, kan?
Jantung Anna meloncat sekilas dalam ketidakpercayaan.
Anna beralih dan memandangi Kepala Pelayan dengan harap-harap cemas sekaligus waspada. Dia memantapkan hatinya, lalu bertanya dengan nada datar, "Okay. Saya siap-siap dulu. Dimana baju-baju dan barang saya?"
Seingat Anna sebelum ia berlutut di hadapan Ruan, ia masih menenteng tas kantornya.
"Biarkan saya membatu Anda bersiap-siap, Nona."
"Ng--"
Kepala Pelayan meletakkan nampan dengan gerakan terlatih, kemudian berlalu menuju pintu lain dalam kamar. Ketika terbuka ternyata pintu itu terhubung dengan walk-in closet. Kepala Pelayan masuk dan tanpa menunggu lama, keluar sambil membawa baju kantor wanita lengkap dengan high heels.
"Itu.." Anna terheran-heran mendapati Kepala Pelayan begitu sigap. Baju yang dibawakan berbeda dengan yang Anna pakai kemarin, tetapi terlihat sekali mewah dan berkelas dari bahannya.
Ekspresi Anna menunjukkan kalau ia punya banyak pertanyaan soal baju baru wanita yang sudah siap, sebelum ia sempat meminta, ini. Namun seolah Kepala Pelayan sudah mengekspektasi pertanyaan Anna, dia buru-buru mengingatkan, "Silakan mandi, Nona. Pakaiannya akan saya tinggalkan disini," seraya berkata, dia menaruhnya di kasur.
Anna tersadar dan menghentikan Kepala Pelayan yang hendak keluar kamar, "Tunggu! Bagaimana soal ponselku? Bisa tolong berikan padaku sekarang?"
"Ah.. soal itu.." Kepala Pelayan kesulitan menjawab. Wajahnya tampak ragu dan bimbang, tak tahu harus bagaimana memberitahukannya kepada Anna.
Anna mengernyit, "Ponselku, nggak ketinggalan, kan?"
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja kemarin saya tidak sengaja menjatuhkannya lalu layar ponsel Nona rusak, tidak mau menyala lagi. Tuan Muda bilang akan menggantinya dengan yang baru."
"Mohon maaf, Nona," lanjut Kepala Pelayan.
Anna tertegun selama beberapa detik. Firasatnya merasa situasi ini aneh. Masa tiba-tiba ponselnya rusak. Sungguh sulit untuk dicerna. Dan yang merusaknya adalah pelayan pribadi di mansion keluarga Cahya.
Bukannya tambah tidak mungkin?
Begini-begini, Anna tahu kalau lingkungan kerja yang dikelola oleh keluarga Cahya itu menuntut disiplin penuh.
Melihat usia Pak Tua didepannya ini sudah berumur dan masih bekerja di mansion, Anna bisa menyimpulkan dengan mudah kalau pelayan ini sudah bekerja lama dan semestinya sangat telaten sampai bisa bertahan selama ini.
Jadi bagaimana bisa ponselnya rusak begitu saja karena tidak sengaja dijatuhkan?
Anna baru sebentar melek dari tidurnya, dan bahkan tidak sampai sejam ia berada di mansion ini dalam keadaan sadar. Namun, pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya bila dibandingkan maka bisa melebihi jumlah waktu yang ia habiskan. Nyaris mengambil alih seluruh perhatiannya pagi hari ini.
Anna tak lagi berharap banyak, ia cuma ingin mengangkat kaki dari tempat ini. Oleh karena itu ia segera mengambil baju di kasur dan menjingjingnya ke kamar mandi. Sebelum masuk ia memberi tahu, "Nggak usah diganti."
Kepala Pelayan menggeleng-geleng, "Tidak bisa. Tuan Muda sudah mengatakan akan menggantinya."
"Hh.. Saya bisa beli sendiri. Katakan itu pada Tuan Muda-mu," sahut Anna angkuh.
Dia boleh saja direndahkan karena sudah kehilangan kesucian mulutnya. Tetapi Anna tidak mau jatuh lebih dari ini. Dia masih sanggup untuk sekedar membeli ponsel tanpa perlu meminta Ruan.
Kepala Pelayan terdiam. Anna pikir dia berhasil meyakinkan pelayan itu. Dia berbalik melanjutkan jalannya yang terseret-seret.
"Nona."
"...."
Anna tidak menggubris dan terus berjalan. Kebetulan karena selimut yang membungkus badannya itu berat, langkah Anna menjadi pelan.
"Kalau Nona memaksa, Tuan Muda bilang akan memberikan ponsel Nona setelah pulang kantor nanti."
Barulah langkah Anna berhenti total. Wanita itu tak mengerti lagi dengan jalan pikir Ruan. "Katanya rusak?"
Kepala Pelayan tersenyum sopan untuk yang kedua kalinya. "Nona, waktu anda tinggal dua puluh menit."
"Ya?! Dua puluh menit?" pekik Anna. Dia segera meningkatkan kekuatannya untuk menggotong sisa selimut dan berlari terbirit-birit ke kamar mandi.
Kalau tidak begitu, dia tidak akan punya waktu untuk berdandan!
Cek lanjutannya di GoodNovel yaa!
— Un nuevo capítulo llegará pronto — Escribe una reseña