Descargar la aplicación
11.11% Petak Umpet Joe / Chapter 3: Aturan Permainan

Capítulo 3: Aturan Permainan

"Nggak ada salahnya berharap. Tapi harus tau kapan harus berhenti."

***

"Lo cepet ambil!! " teriakku pada Rayyan. Haniyah langsung kurangkul dan kuhempaskan ke dinding. Mencoba menahannya. Haniyah mengeram dengan wajah mengerikan.

Berusaha menyerang lagi, aku kembali menahannya menggunakan kayu yang kuambil sesaat, jarak wajahnya denganku hanya berberapa senti. Mencengkeram pundakku dengan kuat, aku balik membalasnya dengan dorongan. "Duh Gusti." Batinku.

"Gue tahan!" teriakku sekali lagi.

Rayyan bangkit mencari lilin yang berserakan entah di mana. Cahaya senternya ke sana ke mari. Tampaknya ia tergesa-gesa. Napasku tersenggal. Sekali lagi kukerahkan seluruh tenagaku sebisa mungkin agar tidak melukai temanku ini. Giginya runcing seperti pisau. Tangannya mengercap ke sana ke mari membuatku harus kembali mendorong lebih keras. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Tanganku dipegang kuat sekali. Ini berbeda dari sebelumnya, kali ini pergelangan tanganku dibuat mati rasa.

"Te-na-g-gaku kalah." Kataku lirih. Mengapa seorang gadis bisa punya tenaga lebih kuat ketimbangku.

Namun, daripada itu pikiranku dibuat kacau oleh perbuatan Rayyan, hingga saat ini cahaya lilinya belum menyala. Apa yang sebenarnya dia lakukan. Aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama. Kutatap sekali lagi wajah Haniyah. Mulutnya terbuka seperti hendak menggigitku. Aku menghindar.

Sudah tidak kuat lagi. Tenagaku sudah diambang batas.

Aku akhirnya roboh tertimpa tubuh Haniyah. Kutendang sekuat tenaga sebagai bentuk perlindungan terakhir hingga terdorong ke belakang. Satu kesempatan kabur. Tapi sayang setelahnya aku diseret mati-matian di sepanjang lorong. Tubuhku lecet akibat benturan batu sekitar.

Braakkk!! Wajahku terbentur palang pintu. Tubuhku linglung. Berkali-kali kuseka wajahku yang berdarah. Sekarang aku berada di balkon dengan kondisi tubuh mengenaskan. Haniyah melihatku dengan tatapan kosong. Ini mungkin akhirku. Dibunuh teman sendiri yang lagi kerasukan nggak jelas.

Ia mendekatiku. Langsung mencekik leherku, mengarahkan keluar balkon. Aku akan terjatuh jika keadaannya seperti ini. Aku harus berbuat sesuatu. Tanganku gesit meronta, kakiku juga demikian. Wajahku berubah pucat.

Kuat banget tai.

Nafasku tertahan.

"Yan!!" Kataku bersusah payah teriak. Satu tanganku menahan batas balkon, sedangkan tangan satunya lagi masih berusaha melepaskan cengkraman Haniyah. Perlawanan terakhir. Tapi tidak semudah itu.

Dari arah belakang. Cahaya senter bergerak cepat. Itu Rayyan. Aku sekilas melihatnya sebelum padanganku mulai kabur.

Dia mendorong tubuh Haniyah dari arah belakang. Hap!! dorongan itu kencang sekali, seperti benda berkecepatan tinggi menabrak sesuatu yang keras. Rayyan mengangkat tubuh Haniyah lalu melemparkannya keluar balkon. Aku jatuh ke samping balkon. Rayyan menyelamatkanku dengan menarik pakaianku. Jika tidak, aku juga ikut jatuh ke bawah bersama Haniyah.

Haniyah jatuh dengan kepala terlebih dahulu menyentuh tanah.

Rayyan terdiam.

Aku juga demikian. Apa yang barusan kami lakukan tidak pernah terbayangkan akan terjadi peristiwa ini. Suasana Hening. Nafasku terpacu tiada henti. Tubuhku masih roboh. Rayyan mematikan senter. Ia juga jatuh.

Saat ini, kondisi kami buruk.

Diperburuk dengan kematian teman kami barusan.

"A-apa yang barusan lo lakuin?" tanyaku masih tidak percaya.

"Patah. Lilinnya patah. Aku terlambat" Rayyan menunjukkan potongan lilin yang terbelah menjadi dua. "Apa maksud lo lilinnya patah?" tanyaku sekali lagi tidak mengerti alasan Rayyan.

Rayyan tidak menjawab. Tentu saja, meski lilinnya patah tetap masih bisa dinyalakan. Yang patah adalah bagian bawahnya, sementara sumbu lilin berada di bagian atas.

"Kalau lo nyalain lilinnya, mungkin Haniyah bisa selam-!"

"Diamlah!!" potong Rayyan frustasi.

"Diam.."

Entah mengapa kali ini aku sedikit tertekan, emosi, dan muak.

"Kita harus lari." Sambung Rayyan, ia bangkit dan mengatakan. "Kita nggak bisa di sini terus."

"Hey!!" aku bangkit berteriak. Tidak tahan dengan perilaku Rayyan. "Haniyah mati di bawah sana. Lo mikir nggak si? lo mikir nggak si kalau elo yang buat dia jatuh, terus sekarang lo mau kabur begitu aja?" aku menunjuk Rayyan dengan tatapan penuh emosi. Rayyan merespon dengan wajah merah. "Eeegggghh!!!!! sini lo bangsat!!" Dia menjambak rambutku lalu membenturkan ke dinding. Rayyan menatapku, wajah kami face to face. Aku tidak terima dan hendak balas menghajar Rayyan. Rayyan menghindar, sialnya aku kembali dibenturkan ke dinding. Kali ini, aku kalah.

Rayyan berkata di depan wajahku. "Lo yang pegang lilin. Lo yang jaga tu lilin. Dan lo orang yang buat lilin patah. Kalau lo nyalahin gue karena nyala tu lilin, sekarang gue tanya. Kenapa nggak elo aja yang nyalain tu lilin? kenapa elo malah ikut ngurusin Haniyah? bukannya elo yang pegang korek apinya?"

Aku tidak mejawab. Rayyan mencengkeram wajahku keluar balkon. Dari sini, aku bisa melihat area bawah. Tapi aku memilih tidak melihat ke bawah.

Ini salahku. Aku baru ingat Rayyan memberikan korek api. Seharusnya Rayyan yang nahan Haniyah, seharusnya aku yang nyalain lilin itu. Aku yang tahu posisi lilin itu. Tapi aku malah menyuruh Rayyan yang mencarinya. Bodoh. Sangat bodoh.

Andaikan nggak ngelakuin hal bodoh ini!!

Rayyan melepaskan cengkeramannya. Membiarkanku perlahan jatuh tidak berdaya. Aku tidak kuat. Haniyah mati karenaku. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Seketika itu kejadian barusan kembali menyerang pikiran, membuatku bertanya-tanya. Siapa sebenarnnya yang salah?

Malam ini adalah malam penuh kejutan.

***

Kami berjalan di lorong lantai dua. Mengendap-endap dengan tenang menuruni tangga menuju lantai satu. Kami tidak bercakap-cakap setelah kejadian sebelumnya. Rayyan lebih banyak diam begitu juga denganku. Dengan balok kayu di tangan kanannya ia berada di depanku, siap menghajar siapa pun yang menyerang kami. Sedangkan aku dibelakang Rayyan diam penuh pikiran.

Kejadian nggak logis ini mulai bermunculan.

Meskipun aku masih tidak percaya permainan roh ini sedang berlangsung, tapi kondisi Haniyah yang kerasukan berubah brutal itu memaksaku berpikir dua kali kalau permainan ini memang benar adanya. Dan kami harus bertanggung jawab menyelesaikannya.

Sejenak Rayyan berusaha melupakan kejadian tadi. Ia mulai menjelaskan segala hal mengenai permainan ini padaku.

Permainan ini bernama Midnight Man.

Permainannya sederhana. Bertahan hidup sampai akhir dalam area permainan. Jika lilin padam kalian harus menyalakannya kembali sebelum sepuluh detik. Jika tidak, sesuatu yang buruk akan menimpa kalian. Karena hanya lilin benteng terakhir yang kalian punya.

1) Tulis nama kalian pada selembar kertas dengan tinta merah

2) Siapapun yang berada dalam area permaian. Mereka adalah peserta

3) Ketuk pintu sebanyak 22x tepat pukul 00.00

4) Putari area permainan, secara detail dan berurutan. Maka kalian akan menang

5) Jangan tertangkap, jika kalian tidak mau menjadi bagian tubuh arwah yang kalian panggil.

6) Jangan keluar arena permainan. mati

7) Jangan provokasi arwah yang telah kalian beri nama sebelumnya

Aku mendengus kesal.

Rayyan berhenti melangkah, kami berada di balik dinding. Mengecek ruangan satu persatu. Apakah ada seseorang atau tidak. Rayyan melirik satu dua kali. Memastikan untuk yang terakhir kalinya.

Aman. Tidak ada tanda-tanda joe.

Kami melanjutkan langkah. Tangan kananku sudah siap korek api. Jika sewaktu-waktu Joe datang, aku dengan sigap akan menyalakan lilin kembali. "A-anu-"

"Ssstt!!" desis Rayyan. Itu tandanya ia menyuruhku diam terlebih dahulu sampai kita menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi. Ruang UKS menjadi pilihan kami saat ini. Selain berada dalam satu bangunan. Di sana masih terdapat pintu yang bisa digunakan. Kita akan membrigade pintu utama dengan berberapa balok kayu (kalau ada), selanjutnya kita akan pikirkan bagaimana menemukan teman-teman dan menyelesaikan permainan ini.

Yang jelas.

Sendirian adalah bunuh diri.

Angin masuk melalui jendela, nyala lilin mendadak terombang ambing. Refleks aku menutupi lilin dengan tangan kiriku dan membelakangi jendela. Bahkan lilin yang menyala dan sinar bulan masuk di sela-sela langit gedung, lorong masih terasa menyeramkan. Memang sedikit terang namun juga mengerikan.

Lagi pula, siapa yang ingin melewati lorong macam ni dengan sukarela. Tidak ada.

Kami akhirnya sampai. Rayyan memeriksa ruangan UKS.

Aku bersembunyi di balik dinding. "Aman." Bisik Rayyan mengarahkan senter ke arahku. Aku keluar, mengikuti dari belakang. Setelah masuk, Rayyan menutup pintu dan mendorong lemari besi samping pintu agar tertahan dari dalam. Terakhir, kami duduk membelakangi lemari besi.

Selesai.

Lelehan lilin menetes di jariku. Terasa panas hingga aku memutuskan untuk meletakannya di permukaan lantai.

"Hufft." Aku menghela napas panjang. Setelah semua situasi mencekam ini aku bisa bersandar sedikit lebih tenang. Rayyan juga demikian. Ia meletakkan balok kayu itu dan duduk di sampingku.

"Jam berapa?" tanya Rayyan.

Aku menyalakan ponsel, tidak dapat signal. Sial betul ini tempat. "Satu." Jawabku.

"Kita nggak bisa lama-lama di dalam sini. Cepat atau-"

"Ya ya ya. Gue tahu. Harus nyari teman-teman kan." Potongku.

"Bagus." Jawab Rayyan.

"Tapi setidaknya biarin gue istirahat dulu." Kataku memegangi leher yang masih sakit. Aku meludah ke samping. Menggeleng-gelengkan kepala juga masih sakit.

"Asuuu (Anjing)" gerutuku.

Rayyan berdiri. Ia melihat sesuatu di luar jendela. Aku meliriknya.

"Sek, sek to su (Bentar, bentar dong su!) " kataku.

"Ada orang." Kata Rayyan. Ia mengamati dari celah bawah. Gerak gerik seseorang dari lantai dua gedung depan. Itu gedung dua. Posisinya di depan gedung satu. Aku ikut bangkit memeriksanya juga.

Seorang bertubuh pendek namun berisi, mengenakan kaos tentara, kempol yang dikenakannya rada besar. Gaya rambutnya yang selalu rapi dari sini terlihat mengangkat meja dan kursi secara diam-diam sambil menundukkan kepala. Berhati-hati agar tidak ada yang melihat. Tapi dari sini kami bisa melihat semuanya. Ia masuk ke suatu ruangan lalu menutupnya. Kemungkinan meja dan kursi itu digunakan untuk membrigade.

"Itu Akmal." Kataku.

"Sepertinya." Sahut Rayyan tidak melepaskan pandangannya mengamati Akmal.

Aku baru menyadari, dari sini ternyata bisa melihat ke arah gerbang masuk asrama. Tempat yang sudah kulalui. Terparkir mobil dan motor di luar dan, tunggu dulu. Aku mengamati sejenak.

"Gerbangnya terkunci." Kataku terkejut.

Rayyan ikut melihatnya. Pertama kali datang kulihat rantai gerbang sudah tercerai berai dan salah satu gerbangnnya terbuka celah. Tapi ini berbeda.

Gerbangnya kambali tertutup rapat dan terkunci rantai tebal dengan gembok menggelantung. Astaga. Ini mustahil.

"Awalnya kebuka, gue udah pastiin."

"Gue juga udah pastiin." Kata Rayyan sependapat.

Sementara kami sibut menerka-nerka mengapa gerbang kembali tertutup, tiba-tiba terdengar suara jeritan.

Aku dan Rayyan mematung. Kami kembali memperhatikan keluar. Itu berasal dari arah semak-semak. Dari semak-semak keluarlah wanita berambut pendek berponi yang tengah berlari terbirit-birit menuju gedung dua. Tanpa melihat kebelakang ia gesit sekali untuk seukuran wanita. Dari arah belakang muncul seseorang lari mengejarnya. Tidak jelas siapa yang sesosok tersebut karena tubuhnya membelakangi kami.

Tapi kalau tentang wanita itu. Sepertinya aku mengetahuinya. Dan teman seangkatan mungkin cepat mengetahuinya. Itu Rachel. wanita yang kerap kali menjuarai lomba lari di berbagai cabang tingkat nasional maupun internasional. Namanya selalu disebut setiap hari senin pasca upacara. Maju ke depan untuk penyerahan piala yang sudah dimenangkannya. Melihatnya sekilas saat berlari sudah dapat diketahui kalau wanita tersebut tak lain dan tak bukan adalah Rachel.

Sssttt!!

Lagi-lagi lilinya padam.

Aku menelan ludah. Kaget, aku langsung menghampiri dan kembali menyalakan lilin.

"Sumpah, bikin orang jantungan." Kataku.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C3
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión