Descargar la aplicación
72.22% Patah Paling Parah / Chapter 26: Rencana Sinta

Capítulo 26: Rencana Sinta

Pagi-pagi Atamaji marah, bagimana tidak? Sampai sekarang anaknya tak kunjung pulang. Di mana dia tidur, ah membuat repot saja. Mana perutnya sedari bangun kerucukan.

"Sepertinya aku harus cari anak itu sekarang!" serunya antusias.

Baru saja membuka pintu garasi, ponselnya sudah berbunyi. Tertulis di layar kaca, satu panggilan dari wanita yang disayang. Ya, siapa lagi jika bukan Mitha.

"Halo, ada apa Mith, pagi-pagi telepon?"

"Lagi sibuk ya Mas?"

"Enggak kok, cuman ini Mas mau mencari Ndari karena semalaman enggak pulang."

"Ooo ... pasti Mas belum makan ya, nanti mampir ke rumah ya, Mitha masakin sepesial buat Mas Maji."

Haduh .... jarinya mulai mengaruk pelipis yang tak gatal. Bingung ingin menolak tapi tak enak. Mana dirinya harus menebus kesalahan tadi malam yang dibuat olehnya.

"Mas kok enggak dijawab sih," ujarnya dengan nada sedikit sebel.

"E- maaf sayang. Sepertinya enggak bisa deh, soalnya enggak tahu juga nanti pulangnya jam berapa. Intinya cari Ndari dulu," tolaknya lembut.

"Owhhhh... Oke, kalo mas nolak juga enggak papa kok!".

Tut...tuk... Tuk!

Panggilan tiba-tiba diputuskan. Ahh, malah jadi serba salahkan. Atmaji langsung menghidupkan mobil, memanasi mesin sebentar dan melesat pergi.

"Pokoknya Ndari harus kutemukan!" ucapnya kesal.

Atmaji stres, tak tahu harus ke mana? Setelah cukup lama berputar mengelilingi taman kota. Tak ada tanda-tanda putrinya di sana. Ohh ya, "Makam, pasti anak itu ke makam Mamanya."

Tak lama mobilnya melesat dan berhenti tepat di depan makam. Bergegas langkahnya dipercepat masuk dan di sana, ternyata tak ada Ndari. Lantas ke mana anak itu pergi?

"Apa jangan-jangan dia dibawa oleh Miko?" Atmaji mengeratkan gigi, "Di mana rumah Miko?"

Sial! Refleks kakinya menendang ban mobil setelah keluar dari makam itu. Tampak seorang lelaki paruh baya mengamati tingkahnya yang aneh. Napas Atmaji saling memburu, hatinya masih gelisah ditambah dengan perutnya yang keroncongan.

"Mana laper lagi, apa aku ke rumah Mitha saja ya?'' tanpa berpikir panjang langsung menuju ke sana.

Sinta menyibak tirai jendel dari dalam memperhatikan, "Lho, itukan Om Maji, katanya tadi nolak ke sini?"

Mitha bergegas mendekat turut mengintip, "Cepat kamu beresin itu sampah jajanan di atas meja."

Dengan sigap Sinta membereskannya dan Atmaji melangkah mendekati pintu, mengetuknya perlahan. Mitha yang sudah berada di baliknya langsung membuka.

"Lho, Mas katanya tadi nolak," sapanya langsung.

"Hehehe ... habisnya penasaran, mau coba masakan calon istri," sahutnya genit.

Sinta yang mendengar rayuan gombal pria berkacamata itu, langsung nyengir. Emang ya, cinta itu buta. Enggak mengenal diumur. Buktinya sudah tua-tua begitu, masih saja ragu-rayuan. Apalah daya, dirinya yang jomblo.

"Ohhhh ya, ayo masuk Mas."

"Boleh ini masuk, waktu itu enggak dibolehin lho...."

"Hehehe," Mitha teringat masa-masa itu, karena dirinya harus menyembunyikan Sinta.

"Yakin, boleh masuk?"

"Boleh Mas, boleh banget kok, hehe." Ada geliat aneh dalam dirinya.

Mungkin Atmaji akan menganggap dirinya wanita matre, sebab saat rumahnya bagus saja tak boleh dimasuki. Sekarang rumah jelek kontrak ini malah dipersilakan untuk dimasuki olehny. Ahh, nasib-nasib. Semoga saja pria itu tak berpikir demikian.

"Mitha kok kamu ngelamun, sih."

"Ohhh.. enggak kok Mas, o y sini duduk. Mitha tadi masak opor ayam. Sebentar ya Mitha ambilkan," ucapnya ceria.

Mitha bergegas menuju dapur mengambilkan makan untuk pria itu. Sinta mencoba keluar kamar dan tatapan matanya bertemu langsung dengan tamu.

"Eee- Sinta, ya?'' antusias Atmaji menyambutnya.

Dengan tatapan sinis, Sinta menarik bibirnya menujukan senyum tipis. Pria berkacamata itu, mengawainya untuk mendekat, tentunya sebagai calon Ayah sambung harus memulai pendekatan. Mitha yang barusan keluar dapur mengamati hal itu.

"Sayang kamu dipanggil itu sama Om Maji," tegurnya kalem saat melintas di hadapannya dengan membawakan makanan.

"Ini Mas, ayo dinikmati," ucapnya kalem menyodorkan sepiring nasi beserta lukanya.

"Wah, jadi ngerepotin hehe." Seketika kekesalan pada anaknya sirna karena melihat senyum Mitha.

Sinta hanya melirik pria itu dengan tatapan tak suka. Baru saja tubuhnya membalik hendak melangkah malah Mama memanggil, "Sinta, dipanggil Om kok enggak sopan sih."

"Sinta ke belakang dulu, Ma. Lagain Om Maji masih mau makan."

"Ohhhh, iya ...." Mitha langsung mengalihkan padangan ke Atmaji, "ayo dicobai, Mas."

"Iya, Mit." Matanya masih gadis yang sepantaran dengan anaknya.

Sinta berlalu begitu saja, Mitha mencoba mendaratkan tanganny di atas telapak tangan pria itu, sontak membuatnya kaget. Pandangan Keduanya saling bertemu di satu titik.

"E- Mas, kalo boleh tahu, kapan ya kita nikahnya hehe." Mitha malah memberanikan diri mendaratkan dua tangan.

"Ummmm ... e, kapan ya?"

"Iihh, Mas kok balik tanya sih!" ranjuknya sembari menghempaskan pelan tangan yang semula digenggam.

Atmaji tersenyum mencoba untuk tenang dan menatap netra bening di sampingnya, "Begini Sayang, Mas saat ini masih mencari Ndari. Jadi, mau fokus cari dia dulu."

Seolah tak terima, Mitha menampakkan wajah cemberut. Kepalanya mencoba mengingat-ingat perihal anak gadis itu, seperti tadi malam anak itu tak sendiri. Yah, benar! Ada cowok yang sepantaran melindunginya.

"Jadi sampai sekarang belum ketemu, ya Mas? Paling-paling dirumah cowok itu, yang kemarin belain anak kamu!"

"Miko?" ucapnya memastikan.

"Ohhhh, Miko namanya. Itu ngomong-ngomong siapanya Ndari, pacarnya?" Sedikit kepo.

"Ya kalo memang di sana percuma juga Mitha, karena Mas enggak tahu di mana rumahnya."

"Jangan pesimis gitu dong, Mas. Coba cari lagi, di taman atau di mana gitu. Biasanya anak muda sering jalan-jalan. Nah, siapa tahu Ndari sama si cowok itu jalan-jalan karena takut pulang."

"Benar juga. Oke deh, nanti Mas cari lagi habis makan."

Mitha tersenyum sembari mengangguk kecil. Namun, tiba-tiba saja ia mendaratkan tangan di telapak Atmaji untuk yang kedua kali.

"Mas, e ...." ucapannya tercekat meskipun belum selesai.

Melihat geliat manja wanita yang disayang, membuatnya memberhentikan makan dan meletakan sendok. Diamatinya wanita cantik itu untuk memahami sebelum bertanya.

"Mitha mau ngomong sesuatu, mungkin ini kesannya lancang tapi benar-benar diperlukan sekarang ...." Wajahnya tertunduk kedua tangannya ditarik, tak lagi mengelus pria itu.

Tanpa diminta Atmaji bangkit sontak Mitha bingung, dikira pria itu akan pergi meninggalkan tetapi nyatanya malah merogoh saku belakang. Mengambil dompet dan dikeluarkannya isi lembaran yang ada di sana.

"Ini ambillah," ucapnya menyodorkan.

" Lho, Mas?" Mata Mitha masih membulat bengong, penuh tanda tanya meskipun uang itu sudah beralih digenggam.

Atmaji kembali duduk sembari membetulkan posisi kacamata yang dikenakannya. Lanjut menyuap makanan yang sempat terhenti. Wanita itu masih menyimpan keraguan. Membuat pria berkacamata kembali bertanya, "Segitu apa kurang, Sayang?"

"Ohhh ... E-enggak Mas. Malah lebih dari cukup," sahutnya gelagapan.

Tak menyangka pria itu akan langsung peka atas apa yang diucapkan. Jangan-jangan setelah ini Atmaji akan menganggap dirinya wanita matre dan meninggalkan pergi, waduh bagaimana dong? Giginya menggigit bibir bawah cemas.

"Sayang, bilang saja jika kurang nanti aku ambilkan di ATM." Mata pria itu memancarkan ketulusan.

Mitha meringis, tak tahu lagi harus bahagia atau bagaimana. Sebenarnya dia tidak ingin langsung meminta uang karena mereka baru-baru bertemu lagi. Namun, ini demi Sinta. Anaknya yang mengusulkan ide itu.

'Untuk menguji apakah dia memang pantas Mama pertahankan, coba minta uang padanya. Ajak pria itu ke rumah dan kita lihat bagaimana responsnya' ucap Sinta kemarin setelah berdiskusi.

Awalnya Sinta tak setuju Mamanya dengan pria itu. Malah akan lebih setuju jika menikah dengan Om Burhan. Seseorang yang dikenal semenjak duduk di bangku kelas menengah. Namun, sayang akhir-akhir ini tak melihat di mana pria itu berada. Bahkan nomornya tak dapat dihubungi lagi.

"Sebenarnya bukannya kurang tapi ini kebanyakan Mas. Mitha tadi belum sempat menyebutkan nominalnya, dan lihat itu dompet Mas Maji jadi kosongkan." Lantas diambilkan lima lembar uang berwarna merah dan sisanya kembali disodorkan.

"Maaf Mas, segini aja cukup."

"Mitha kamu jangan merasa enggak nyaman, sebentar lagikan kamu menjadi istriku, tentu berhak dong menerima lebih dari yang kamu minta."

Sinta yang di belakang diam-diam mendengar percakapannya, terlihat bibirnya menyunggingkan senyum. Baik juga ternyata pria berkacamata itu. Buktinya dengan mudah Mama mendapatkan uang tanpa bersusah payah. Hanya modal bersandiwara.

"Pantes Mama mempertahankannya," gumamnya yang kemudian turut keluar.


next chapter
Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C26
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión