Descargar la aplicación
31.25% PARTNER IN CRIME / Chapter 5: 004 Bersinku Bersinmu

Capítulo 5: 004 Bersinku Bersinmu

Dilihatnya wanita paruh baya yang sama cantik dengannya, Dita cengengesan dibuatnya. “Eh.. Mah? Assalamualaikum,” ucapnya sok sopan sembari mencium punggung tangan mamanya.

“Waalaikumsalam. Ini kenapa Dita.. bauk banget!” sergap mamanya sembari menutup lubang hidungnya dengan tangan.

“Yaelah Mah, namanya juga baru pulang sekolah pasti kan—”

“Itu kenapa basah semua dari atas sampai bawah? Cepet sana mandi! Nanti masuk angin,” potong mamanya cepat.

Dita tersenyum sangat lebar mendengarnya. “Siap bos!” ucapnya sembari hormat ala-ala Paskibraka dan segera berlari menuju kamarnya.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Radit yang baru saja mandi segera berjalan melangkahkan kaki menuju kamarnya dilantai atas. Dibukanya pintu balkon yang mengarahkannya pada balkon terbuka, itu adalah tempat favoritnya.

“Dita mana ya?” gumamnya ketika melihat balkon kamar Dita yang bersebelahan dan hanya berjarak lima meter itu tak tampak menghuninya. “Dit!!! Dita!!!” panggilnya di pinggiran pembatas semacam pagar pada balkonnya itu. Namun tak ada sahutan sama sekali. Ia segera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. “Dit!” ucapnya ketika orang di seberang sana menerimanya.

“Apaan?” jawab Dita sembari membuka pintu balkon kamarnya. Ia tahu pasti tujuan teman kecilnya itu menelepon di malam hari, tak lain tak bukan hanya menyuruhnya untuk menuju ke balkon. “Ngape lu?” sungutnya ketika melihat Radit berdiri di balkon kamar.

“Dit, gua mau nyanyiin elu nih,” ucap Radit setelah menutup panggilannya. Ia duduk dipinggir balkon menghadap utara sembari membawa gitar kesayangannya. Dita pun segera duduk di pinggiran balkonnya menghadap selatan, di mana Radit duduk menghadap dirinya.

Hal semacam ini sudah sering sekali terjadi, biasanya sih Dita yang suka memaksa Radit memetik gitar sembari bernyanyi lagu untuknya tapi kali ini laki-laki itu berinisiatif sendiri karena ingin menghibur gadis itu yang dalam keadaan unmood. Dasar ya perempuan.

Petikan senar gitar mulai mengalun indah. Dita selalu saja terpukau mendengarnya padahal ia sudah sering mendengar Radit menyanyikan untuknya. Diambilnya selembar tisu pada kotak tisu di sebelahnya, bukan ia terharu dengan petikan senar gitar yang dimainkan Radit tapi sepertinya flu akan melanda dirinya.

Namun entah mengapa petikan gitar itu berubah ketika Radit mulai memainkan lirik lagu tersebut.

“Heli.. guk guk guk...

Kemari.. guk guk guk...

Ayo—”

“Terkutuklah kau!” umpat Dita sembari melempar tisu yang sudah basah itu pada Radit dan hinggap di lengan laki-laki itu.

“Anjir! Ingus lu ya ini?! Jorok banget sumpah!” gerutu Radit kesal dan segera membuang tisu yang sudah basah menjijikkan itu.

“WOY!!!” seketika keduanya menundukkan kepala ketika seseorang berteriak dari bawah.

Dilihatnya Liam sedang mengangkat tinggi-tinggi tisu yang dibuang Radit tadi, ia pun memegang rambutnya yang ikut basah. Liam segera mendongakkan kepala dan melihat dua anak pembuat onar tengah duduk di balkon kamar mereka masing-masing. “Ingus siapa nih?! Anjir lu pada!” sergapnya sembari melempar kembali tisu itu ke atas.

Dita segera bangkit dari duduknya sembari berteriak. “Radit.. Bang! Ingusnya adek lu!” ucapnya sembari berlalu masuk ke dalam kamar.

“Sialan lu Dit! Bukan gua Bang! Dita itu.. Dita!” ucap Radit tak terima dan ikut masuk ke dalam kamarnya.

“Sialan lu pada!” gerutu Liam marah di bawah sana.

Radit terbangun dari tidurnya ketika alarm alaminya membangunkan dirinya, siapa lagi kalau bukan suara mamanya. “Iya Mah.. aku bangun,” gumam Radit sembari menggeliat.

Seketika pikirannya teringat pada Dita, tumben anak itu tak datang pagi-pagi hanya untuk mengganggu tidurnya dengan berbagai hal gila. Sesegera mungkin ia bersiap-siap.

“Sarapan dulu Dit,” ucap mamanya ketika dilihat anak bungsunya turun menyusuri tangga tergesa-gesa.

“Dita belom kesini Mah?” Radit malah melontarkan pertanyaan itu.

“Iya ya.. tumben, biasanya dia yang paling rajin bangunin Radit,” gumam mamanya. Tanpa menunggu aba-aba Radit segera berlalu menuju rumah Dita. “Eh.. Dit, sarapan dulu!” teriak mamanya.

“Di rumah Dita aja!” teriak Radit tak kalah menggelegar.

Sesampainya di rumah teman kecilnya itu, seperti biasa Radit langsung menyelonong masuk begitu saja karena baginya keluarga Dita juga bagian dari keluarganya begitu pun sebaliknya. Sae ae lu Dit.

“Dita mana Mah?” tanya Radit pada ibunda Dita. Satu lagi, mereka tak sungkan memanggil ibu dari salah satu mereka dengan panggilan mama lebih tepatnya ‘Mah’.

“Eh.. tumben kamu rajin, udah jemput Dita.” Eri, ibunda Dita menyapa kedatangan anak temannya itu ramah, sudah seperti berbicara dengan anaknya sendiri.

“Dita masih molor Mah? Kenapa tuh anak?” tanya Radit sembari mencomot nugget di atas piring.

“Tadi sih udah bangun tapi nggak tahu belom turun-turun juga. Kamu susulin gih,”

Radit pun segera melangkahkan kakinya menuju kamar Dita di atas. Eri melihatnya sembari tersenyum, ia tak menyangka bisa membuat anak sahabat kecilnya itu bisa menganggap dirinya ibunya pula, begitu pun dengan Dita yang menganggap ibunda Radit seperti ibunya sendiri.

Tanpa mengetuk atau apa pun, Radit segera memutar kenop pintu kamar Dita namun terkunci. “Dit! Lu masih molor ya? Jangan-jangan lu tenggelam lagi di bathroom. Ck, bahasa gua sok iya aja dah,” gumamnya di akhir kalimat. “DITA!” teriaknya sembari mengetuk em.. lebih tepatnya seperti mendobrak pintu tersebut.

Tak segera mendapat respons dari dalam Radit mulai berpikir yang macam-macam. “Dit! Lu denger gua nggak sih? Jangan-jangan lu mati lagi di dalem. Woy.. Dita!!!” pergerakannya terhenti ketika kenop pintu bergerak dari dalam.

Setelah pintu dibuka, Radit dikagetkan dengan sesuatu hal. “Hasyimmmmmm!” bersamaan dengan bersin itu, ia refleks memundurkan langkahnya namun naas wajahnya sudah mengenai semburan itu.

“Anjir!!! Bangsat!” umpat Radit tak karu-karuan.

“Eh.. sorry Dit, abisnya elu nggak sabaran ngetok-ngetok pintu padahal kan tadi gua mau bersin dulu,” ucap Dita sembari mengelap hidungnya dengan tisu.

“Lu bersin nggak kira-kira! Anjir sumpah!” sungut Radit sembari mengambil tisu pada sekotak tisu yang digenggam gadis itu, dibersihkan wajahnya dari sesuatu yang basah keluar dari mulut Dita tadi. “Lu ngapa? Sakit? Bisa sakit lu?” tanya Radit memberondong.

“Gara-gara elu kemaren, pinter!” Dita segera melayangkan timpukan bola-bola tisu bekasnya itu pada wajah Radit.

“Etdah, lu nggak usah berangkat aja deh mendingan.”

“Eh.. jangan, hari ini gua ulangan matematika,” sergap Dita cepat.

“Terus?” Radit menatap Dita dengan satu alis yang naik.

“Kalo gua nggak berangkat, besok gua ulangan sendiri dong! Lu bisa bayangin kan gua ulangan matematika sendirian di ruang guru, diawasi sama guru-guru kan pastinya—”

“Lu nggak bisa nyontek?” potong Radit cepat.

Dita tersenyum lebar. “Pinter!” ucapnya sembari meletakkan ibu jari tangannya di kening Radit.

“Lu hari ini bikin mading lagi?” tanya Nona ketika melihat teman semeja sekaligus sahabatnya itu tengah sibuk dengan beberapa kertas warna-warni dengan berbagai macam kata-kata mutiara yang tengah dihias itu.

“Enggak, gua cuman nyumbang beberapa lembar doang. Sekarang kan jatahnya anak tari yang buat dan mereka minta gua ngasih beberapa contoh,” jawab Dita yang masih fokus pada pekerjaannya.

Sebenarnya mading itu program kerjanya anak bahasa yang berkolaborasi dengan OSIS tapi nggak cuman setiap kelas saja yang mendapat jatah, juga beberapa anak-anak ekstrakurikuler seperti tari, musik, rohis, bahkan kepramukaan.

“Emang the best dah elu! Siapa pun yang kedapatan jatah buat mading, pasti nama elu juga ada di mading itu. Anak puitis lu,” ucap Nona dengan mata yang berbinar-binar.

“Apaan sih lu! Lebay banget deh, udah ah gua mau ke lab bahasa dulu. Mau ikut nggak?” ajak Dita yang sudah siap dengan kertas-kertas di tangannya.

“Enggak ah, mager gua.”

“Ye.. dasar lu! Ya udah gua ke lab bentar yossh!” tanpa menunggu jawaban, Dita sudah berlalu melangkahkan kakinya menuju lab bahasa.

Ruangan yang ia sukai ketika di sekolah, kedua setelah toilet adalah Lab Bahasa. Wajar saja sih, kelas itu bukan satu-satunya tempat favorit di sekolah karena ya tahu sendirilah kalau ada pelajaran yang tidak disukainya ia pasti akan beralasan ke toilet tapi ujung-ujungnya ia akan pergi ke lab bahasa atau perpustakaan. Wajar si, Dita kan anak bahasa, cinta Indonesia dan produk-produknya.

Bruk! Ah.. ia segera tersadar dari lamunannya ketika menabrak seseorang. Kertas-kertas yang tadi dibawanya pun berserakan di lantai. “Eh.. maaf.. maaf..” ucapnya berulang-ulang kali sembari menundukkan kepalanya. Ceroboh sekali ia.

“Eh.. sorry nggak sengaja.” Ucapan orang yang ditabraknya membuat Dita mendongakkan kepalanya untuk menatap orang tersebut.

Mampus, ganteng banget! Produk lokal, batin Dita sembari menelan salivanya.

“Gua minta maaf ya, biar gua bantu,” ucap laki-laki itu sembari memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai itu.

Dita segera tersadar dari lamunannya. “Eh.. Kak, nggak usah. Biar gua aja, nggak papa kok,” ucapnya sembari ikut memunguti kertas tersebut.

“Nih,” laki-laki itu memberikan kertas yang sudah diambilnya pada Dita.

“Makasih ya Kak,” ucap Dita sembari menerima kertas tersebut, namun pandangannya sedikit buyar sehingga ada beberapa lembar kertas yang kembali jatuh. “E—eeh..”

Modus lu Dit! Modus!

Laki-laki itu segera mengambilnya lagi, dilihatnya kertas tersebut. “Ini buat mading ya?” tanyanya.

“Iya Kak.”

“Lu anak tari?” tanyanya lagi.

“Bu—bukan! Gua anak bahasa, kelas dua,” jawab Dita bersemangat. “Ah.. shit!” seketika ia segera mengumpat lirih sembari menutup mulutnya.

Kenapa segala ngaku kelas berapa sih? Emang dia nanya apa? Aduh.. bodohnya gua!, gerutu Dita dalam hati, memaki dirinya sendiri yang dengan PD nya sok akrab pada laki-laki yang ia yakini kakak kelasnya itu.

“Pantes bagus banget. Nih,” puji laki-laki itu sembari menyerahkan kertas tersebut.

“Ah.. enggak Kak, biasa aja,” ucap Dita malu-malu.

Ini menjijikkan Dita!, batinnya lagi.

Laki-laki yang ditabraknya itu tersenyum manis. “Ya udah, gua duluan ya. Dah..” ucapnya dan berlalu dari hadapan Dita.

Dita hanya tersenyum sembari menatap jauh kakak kelasnya itu. “Namanya siapa ya?” gumamnya.

“Ngapa lu kepo namanya?!”


next chapter
Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C5
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión