Seminggu kemudian Nina dan Erik sepakat untuk mengambil liburan dari kegiatan kerja mereka khususnya Erik, untuk fokus pada persiapan pernikahan mereka. Hari ini Erik setuju untuk menemui wali Nina yang katanya tinggal di luar kota. Jika mereka pergi ke sana menggunakan bus hanya memakan waktu beberapa jam saja.
Nina menatap dirinya di cermin, pakaian yang tadi dibelikan Erik tampak pas di tubuhnya. Pakaian yang sesuai dengan tren jaman sekarang tapi tetap tertutup dan nyaman untuk dipakai, sangat sesuai untuk Nina. Kali ini Nina sengaja berdandan meski tidak terlalu terlihat karena dia hanya memakai make up tipis. Setidaknya wajahnya jauh terlihat lebih cantik daripada dirinya yang biasa.
Setelah merasa penampilannya cukup memuaskan dia mengambil tas kecilnya dan keluar dari kamar. Di luar Erik sudah menunggu dengan pakaian yang tidak kalah rapi dari Nina. Tadinya pria itu ingin memakai jas agar terkesan formal tapi Nina menghentikannya karena itu terlalu berlebihan.
Keduanya berjalan ke halte dan menunggu bus yang akan membawa mereka ke tempat wali Nina berada. "Kamu bawa apa?" Erik melihat sebuah bingkisan yang ada di pangkuan Nina.
"Cuma makanan buat bibi dan paman di sana, udah lama banget aku nggak pulang, setidaknya harus bawa sesuatu kan?" Nina tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan, melihat apakah bus yang mereka tunggu sudah datang atau belum.
Pandangan Erik masih tertuju pada Nina, dia memperhatikan penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. Cantik hanya itulah kata yang bisa menggambarkan penampilan Nina sekarang. Memang benar apa kata orang "dibalik batu yang buruk pasti tersembunyi udang yang cantik" ahh pribahasa baru ciptaan Erik.
"Kamu gugup, kok wajahnya tegang gitu?" Nina kembali menatap Erik membuat pria itu terkejut dan langsung membalikkan wajahnya ke samping. Nina tidak boleh tahu kalau wajahnya tengah memerah karena memperhatikan penampilan gadis itu. Bisa-bisa julukannya bertambah menjadi si homo mesum tingkat akut.
"Nggak kok, ng ... aku hanya kepikiran apa yang harus dikatakan sama pamanmu biar dia ngijinin kita buat nikah."
"Cup cup cup calon suamiku yang tenang yah, paman hanya wali, dari dulu dia udah ngebebasin aku buat ngelakuin semuanya jadi tenang aja. Asal kamu sopan sama dia aman sih." Nina menepuk pundak Erik, berusaha menenangkan Erik yang gugup, tapi Erik malah melemparkan tatapan tajam padanya. Ayolah kita semua tahu apa pekerjaan Erik, kenapa dia harus gugup hanya untuk meminta restu dari wali calon istrinya?
Setelah perjalanan yang cukup panjang sampailah mereka ke tempat tujuan. Butuh perjuangan untuk sampai ke sana karena letak rumahnya berada di pinggir pantai. Untuk sampai ke sana Nina dan Erik harus melewati jalan setapak melalui hutan.
Matahari tepat berada di atas kepala ketika mereka tiba di depan rumah paman Nina. "Kamu masih gugup?" Nina berbalik menghadap menatap Erik yang tengah menekuk wajahnya yang berkeringat.
"Hah aku cape Nin bukan gugup." Mengabaikan Nina, Erik lalu berjalan menuju ke teras rumah dan duduk di sana. Tanpa Erik sadari ternyata ada seseorang yang juga duduk di sana.
"Ahh anak muda siang yang panas yah." Erik berbalik karena mendengar sapaan di sampingnya.
"Iya pak panas banget untung di sini adem." Menikmati hembusan angin yang datang dari arah laut, Erik memejamkan matanya. Nina baru sampai di sana dan langsung mencium tangan orang yang duduk di samping Erik.
"Paman maaf yah Nina baru bisa datang lagi ke sini ada sesuatu yang mau Nina sampaikan." Nina menceritakan alasan dia datang ke sini. Erik langsung terkejut ketika mendengar Nina memanggil orang itu "Paman" lalu memperbaiki posisi duduknya yang terkesan tidak sopan.
"Mari bicarakan di dalam." Orang itu tersenyum, Erik bergidik melihat wajah orang itu. Matanya yang besar ditambah kumis serta badan yang tidak kalah besar menimbulkan kesan layaknya bapak-bapak dalam film sinetron kesukaan mamanya. Erik hanya bisa mempertahankan senyum lalu ikut masuk ke ruang tamu.
Mereka semua telah berkumpul di ruang tamu lengkap dengan paman dan bibi Nina, ternyata hanya mereka berdua yang tinggal di rumah ini. "Jadi kedatangan Nina ke sini mau minta restu dari paman dan bibi karena ..." Nina mencubit tangan Eik pelan membuat pria itu tersentak.
Glek
Erik menelan paksa salivanya, dia tidak pernah tahu kalau meminta restu akan terasa sulit seperti ini. "Paman saya ingin menikahi Nina, jadi saya datang ke sini untuk meminta restu ..." Erik berusaha terlihat percaya diri, namun kata-katanya langsung dipotong oleh paman Nina.
"Kenapa kamu ingin menikahi Nina?" Pertanyaan menjebak, jika ingin direstui maka Erik harus menjawab dengan baik agar orang ini puas.
"Ka ... karena saya ..." Kenapa disaat seperti ini otak jenius Erik tidak bisa dipakai? Dan kenapa hanya untuk sekedar mengucapkan bahwa dia mencintai Nina terasa sangat berat, mungkin karena Erik tidak bisa berbohong.
Otak Erik berusaha memikirkan segala jenis perkataan yang pernah dia dengar di sinetron kesukaan mamanya, tapi terasa terlalu lebay jika dia berkata seperti itu. "Karena saya ..." Semua mata kini tertuju padanya. Nina seperti memberi kode tapi Erik tidak bisa menangkap apa yang dimaksud oleh gadis itu.
"Karena saya ingin bertanggung jawab, saya tidak ingin dia dicap buruk karena kami telah tinggal bersama." Mendengar jawaban spontan dari Erik membuat semua orang yang ada dalam ruangan itu terkejut. Paman Nina langsung berdiri karena tidak dapat menahan amarahnya.
"Apa jadi kalian sudah tinggal bersama?"
Karena takut Nina dan Erik ikut berdiri, saat seperti ini yang harus dilakukan oleh Erik adalah berlutut dan memberikan sebuah jawaban yang tulus. "Erik berlutut." Nina berbisik pelan tapi cukup untuk didengar oleh Erik. Tidak kenapa hanya untuk menikahi Nina Erik harus mengorbankan harga dirinya seperti ini? Erik menggeleng membuat Nina ingin memukulnya keras.
"Berlututlah." Erik tetap menggeleng.
DUK
Bruk
"Akh."
Erik meringis karena Nina menendang lututnya dan membuatnya jatuh berlutut tepat di bawah kaki Paman Nina. Masih dengan tubuh yang bergetar Erik menunduk berusaha menahan rasa gugup dan malunya.
"Saya tidak bisa berjanji untuk membahagiakannya, tapi saya berjanji tidak akan membuat Nina mengotori tangannya." Erik mengatakan semua itu dengan satu tarikan napas dan semua orang di ruangan itu langsung menatapnya terkejut.
* * *
"Ha ha ha."
Dalam perjalanan pulang Nina terus tertawa mengingat apa yang Erik ucapkan pada pamannya tadi. Erik hanya bisa menekuk wajahnya kesal karena mendapat ejekan dari Nina. Keduanya masih berada di bus. Erik duduk sambil menatap datar ke luar jendela dan Nina duduk di sampingnya tertawa lepas sambil sesekali menepuk pundak Erik.
"Udah sayang ini kan demi kebaikan kita juga biar bisa tidur dalam satu kamar." karena kesal dengan kelakuan Nina, Erik berbalik dan tersenyum menggodanya.
"Dih siapa juga yang mau tidur satu kamar sama homo kaya kamu, ganteng sih tapi kita nggak bakal bisa ginian." Nina menjawab Erik sambil menautkan dua jarinya dan memasang wajah "IYKWIM."
"Oh jadi kamu mau ginian sama aku?" Erik menyeringai sambil menggigit bibir bawahnya dan menaikkan sebelah alisnya. Perlahan namun pasti pria itu memajukan wajahnya mendekat pada Nina yang kini memundurkan kepalanya. Erik memakai sebelah tangannya untuk menahan kepala Nina agar gadis itu tidak mundur lagi. Wajah keduanya semakin dekat sedangkan Nina mulai menahan napasnya dengan wajah memerah.
"Ugh umhh." Mata Erik melebar ketika merasakan sesuatu yang lembut dan basah mengenai bibirnya. Awalnya dia hanya bermaksud untuk menggertak Nina tapi kenapa gadis itu memajukan wajahnya hingga bibir mereka bersentuhan? Malah Nina menutup matanya seolah-olah dia menikmati adegan ciuman ini.
Bus berhenti di pemberhentian selanjutnya, Nina menarik tangan Erik dan membawanya turun dari Bus. Mereka belum sampai di kota bahkan sepertinya masih jauh kenapa Nina mengajaknya turun di tempat seperti ini? Mereka berdua hanya diam dan berdiri di halte setelah bus pergi.
Erik melirik ke samping melihat wajah Nina yang masih memerah karena adegan tadi, untung saja tidak ada banyak orang di dalam bus. Setelah terdiam cukup lama Erik akhirnya sadar bahwa Nina adalah orang yang memencet bel agar bus berhenti di tempat ini. Jadi tadi itu dia bukan bermaksud untuk mencium Erik. Karena dia harus menekan belnya akhirnya dia memajukan tubuhnya dan menyebabkan bibir mereka bersentuhan.
"Kenapa kita turun di sini?"
"Ah iya, ikut aku." Tanpa banyak protes Erik berjalan mengikuti Nina. Matahari hampir tenggelam, Nina mengajak Erik menaiki sebuah bukit yang berada tidak jauh dari halte. Tidak butuh waktu lama untuk mereka berdua sampai di atas. Dari sana Erik dapat melihat pemandangan matahari terbenam di antara lautan.
Angin bertiup pelan, suasananya sangat tenang membuat Erik ingin berlama-lama menghabiskan waktu di sana. Nina berlutut menghadap ke dua buah gundukkan tanah yang tertutupi rumput. Awalnya Erik bingung dengan apa yang dilakukan Nina. Namun ...
"Papa, mama, maaf Nina baru bisa datang sekarang. Nina bawa hadiah buat mama dan papa." Nina menarik Erik hingga pria itu ikut berlutut di samping Nina. "Ini Erik calon suami Nina." Erik terdiam di tempatnya menatap gundukkan yang ada di depannya.
"Salam, maaf karena saya tidak bisa berjanji untuk membahagiakan Nina, tapi saya berjanji untuk tidak menghalangi jalannya."
"Hahaha nggak usah terlalu formal gitulah." Nina berbalik lalu bersandar di gundukkan tanah tersebut. "Kamu udah janji yah." Erik ikut tertawa. Hari ini merupakan hari yang cukup melelahkan untuk keduanya. Semoga kedepannya semua rencana mereka dapat berjalan dengan baik.
* * *