'Apa yang harus kulakukan sekarang? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak ini?'
Luna tertunduk sambil memandangi kertas yang diberikan oleh pihak administrasi rumah sakit. Di mana di dalamnya tercatat rincian biaya rumah sakit dari ayahnya yang kini tengah dirawat karena penyakit kanker hati yang dideritanya.
Padahal semua normal pada awalnya. Karena ayahnya juga bekerja di luar kota, sehingga itu sebabnya mereka sampai tak tahu kalau ada yang tidak normal dengan sang kepala keluarga. Kalau ternyata diam-diam beliau menderita penyakit mematikan ini tanpa memberi tahu keluarga yang hanya bisa dikunjunginya sekali sebulan.
Hingga akhirnya pertahanan beliau runtuh sekitar dua bulan yang lalu. Saat beliau tumbang di tempatnya bekerja, lalu akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Lantas setelah menjalani perawatan selama dua minggu di sana, keluarga pun memutuskan untuk memindahkannya dari Medan ke Jakarta.
Namun masalah terus saja datang.
Setelah melewati rangkaian perawatan seperti operasi kecil dan cuci darah, nyatanya penyakit itu tetap tak bisa dihentikan. Selnya terus saja menyebar, sehingga membuat beliau harus sering menetap di rumah sakit. Yang tentu saja membutuhkan cahaya yang mahal.
Sekarang mereka harus menyiapkan kemoterapi yang ke sekian kali. Namun masalahnya uang asuransi dan tabungan mereka terus saja terkuras. Dan dalam kondisi ini, Luna takut mereka tidak akan bisa bertahan di tengah krisis.
'Aku harus mencari sumber uang yang lain.'
Namun masalahnya dari mana? Ketika nyatanya dia adalah seorang anak tunggal yang hanya bekerja sebagai seorang penyiar radio dengan gaji yang kecil? Sementara Ibunya juga tidak mempunya sumber pendapatan, mengingat beliau hanya bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Solusi apa yang harus dia cari selanjutnya?
Sebenarnya mereka punya beberapa kerabat. Namun sayangnya keadaan mereka tidak jauh berbeda dari mereka. Luna terdiri di sekitar keluarga yang hidup sederhana, sehingga tak ada sumber dana yang bisa diharapkan dari mereka.
'Bisakah muncul keajaiban seperti hujan uang? Karena sepertinya hanya itu yang bisa membantuku sekarang.'
Luna mendesah sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Benar-benar berada di titik yang bingung.
Di saat itulah, secara tiba-tiba terdengar langkah mendekat kepada dirinya. Luna sedikit tersentak ketika seseorang menepuk salah satu pundaknya dengan pelan. Menemukan seorang wanita yang berpakaian sangat formal. Dia mengenakan setelan jas, lalu menyanggul rambutnya. Belum lagi dengan kacamata hitam yang berada di matanya. Sekilas membuat Luna merasa seperti tengah berada di dalam film dengan genre detektif.
"Selamat siang, Nona Luna Diandra."
Luna langsung kaget ketika namanya dipanggil. Padahal dia tak mengenal orang ini. "D-Dari mana Anda tahu nama saya."
"Akan saya jelaskan nanti, namun…." Luna baru menyadari kalau sejak tadi wanita itu memegang ponsel. Benda itu lantas diulurkan pada gadis itu. "Silakan angkat panggilan ini dulu. Ada seseorang yang ingin bicara dengan Anda?"
Luna mengernyitkan dahinya. "S-Seseorang siapa?"
Namun dia tak menyahutinya sama sekali. Terus mengulurkan ponsel tadi pada Luna.
"Bagaimana saya akan bicara dengannya kalau saya nggak kenal—"
Luna mengatakan itu tapi tetap mengambil ponsel itu. Di mana di detik selanjutnya dia terdiam. Saat dia membaca nama yang tertulis di layar. 'Nyonya Abraham' itulah yang tertulis di sana.
'A-Abraham? I-Ini kan nama keluarga….'
Luna tak menyelesaikan pemikirannya itu. Secara alami dia meletakkan ponsel itu ke telinganya. Dia merasakan bagaimana penasaran memenuhi pemikirannya.
"H-Halo?"
'Akhirnya kamu mengangkat panggilan ini. Bagaimana kabar kamu? Kamu masih mengingat suara ini kan, Nona Luna?'
***
'Saya ada di kafe di dekat sini. Ikutlah dengan asisten saya itu – namanya Ratna. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu.'
Luna bahkan tak yakin apa yang membuatnya memutuskan untuk mengikuti ucapan dari wanita itu. Entah karena rasa penasaran di dalam dirinya, entah karena ada semacam harapan untuk masalahnya. Namun yang jelas dia putuskan untuk mengikuti ucapan dari wanita itu.
Omong-omong siapa wanita itu? Kenapa Luna sangat terkejut saat tadi melihat nama keluarganya?
Memikirkan ini membuat Luna mendesah panjang. Dia jadi teringat kejadian sekitar sebelas tahun yang lalu, yang menjadi saat terakhir mereka bertemu. Saat wanita itu mencegatnya di tengah perjalanan pulang dari sekolah. Dengan angkuh memandangnya.
'Saya dengar kamu itu pacar dari anakku, Rafael. Apa benar?' Luna ingat saat dengan angkuhnya beliau berkata begitu. 'Mulai dari sekarang sebaiknya kamu memutuskan hubungan dengannya, karena aku nggak suka anakku berpacaran di saat-saat penting di dalam hidupnya. Selain itu… dia itu layak untuk menikah dengan gadis yang memiliki kedudukan dan martabat yang setara dengan keluarga kami. Bukannya anak dari karyawan rendahan seperti dirimu.'
Luna ingat betapa sangat terpuruknya dia saat mendengar hal itu. Dia menangis semalaman, lalu di hari selanjutnya langsung memutuskan hubungannya dengan sang mantan kekasih yang merupakan cinta pertamanya. Tanpa penjelasan lebih lanjut, karena Luna sudah sangat terhina waktu itu. Dia sudah begitu lelah dan pesimis dengan hubungan ini, sehingga hanya perlu diakhiri secepatnya.
"Kita sudah sampai, Nona."
Luna tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara Ratna. Lantas akhirnya kembali hanya mengikuti saat dia dituntun ke dalam kafe. Katanya di sanalah Alberta Abraham, ibu dari mantan kekasihnya itu menunggu.
'Sebenarnya aku tak mau menemuinya. Apa gunanya dia tiba-tiba mencariku dengan cara seperti ini, ketika kami bahkan hanya bertemu sehari seumur hidup. Namun… aku terlalu putus asa dengan keadaan keluarga kami. Jadi siapa tahu saja ini bisa menjadi sumber uang untukku, mengingat… kelurga mereka benar-benar kaya. Bahkan tak hanya Papanya – Daniel Abraham – saja yang telah memiliki perusahaan besar yang bergerak di bidang properti, Rafael sendiri juga mengikuti jejak dari orang tuanya itu. Kabarnya sekarang dia juga menjadi CEO untuk sebuah perusahaan IT.'
Lagi-lagi Luna tersadar, saat dia diajak Ratna menuju sebuah meja yang terletak di lantai dua, tepatnya di sudut ruangan. Di mana tempat itu cukup terpisah dari yang lain serta ada tulisan VIP di sana. Sehingga siapapun yang menempatinya bisa berbicara dengan tenang tanpa khawatir akan didengar orang lain.
'Kenapa ya dia mengajakku bertemu di sini?'
Hingga akhirnya Ratna menghentikan langkahnya, yang membuat Luna juga berhenti. Dia kemudian memandang ke depannya. Menemukan seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba glamor dan mahal yang masih memberi tatapan yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Tatapan yang minim apresiasi, bahkan terkesan merendahkan.
"Akhirnya kita bertemu lagi. Senang bertemu denganmu, Nona Luna."
Sayangnya Luna tak bisa mengatakan hal yang sama. Di otaknya kini teringat lagi perlakuan kurang menyenangkan yang dia terima dulu. Karena kenangan soal itu sejujurnya tak jauh berbeda dengan yang terlihat di depannya sekarang.
'Bagaimana mungkin dia masih terlihat sama? Usianya tak jauh berbeda dengan Ibuku, tapi dia terlihat awet muda. Mungkin ini adalah khasiat dari perawatan serba mahal yang dia terima kali ya?'
***
Like it ? Add to library!