"Ini hari beruntung buatmu Bryan."
Lucas terdengar kesal di belakang sana. Aku tak mempedulikan itu dan memilih menuruni lantai, memenuhi panggilan Mrs. Sarah yang tampaknya baru saja pulang.
Di lantai bawah, tepatnya di dapur, aku mendapati Anna tengah membantu ibunya menata piring-piring di atas meja persegi panjang. Meski terkesan memiliki sifat rebel seperti anak remaja lain, tetapi Anna selalu membantu ibunya. Entah apa yang Mrs. Sarah ajarkan pada anak-anaknya hingga mereka semua menurut —tak terkecuali Lucas— aku tak pernah melihat mereka dipukul atau apapun. Ku rasa ini adalah resep rahasia yang tak pernah diketahui oleh remaja lelaki seperti ku.
"Mrs. Sarah, biar aku saja.." kataku sembari mengambil alih seikat sayuran yang sedang di cuci. Sebagai tamu, aku harus berinisiatif membantu sang tuan rumah. Itu peraturan tak tertulis mengenai kesopanan.
"Oh, Bryan, kau sangat membantu.." Mrs. Sarah menyeka sisa air di telapak tangannya pada kain lap yang tergantung di samping wastafel. "Tidak seperti Gorilla satu itu," tambahnya lagi. Aku tak perlu bertanya pada siapa ucapan tersebut ditujukan, karena dengusan berat seorang pemuda terdengar setelahnya.
"Mama! Kenapa ikut-ikutan memanggilku Gorilla?" Bass-bariton milik Lucas menggema di seluruh ruangan. Aku tak akan menyangkal jika dia terdengar seperti gorila yang sedang mengamuk.
"Yeah, sekarang saja persis seperti gorila~" Anna menanggapi. Bisa ku bayangkan wajah gadis remaja itu tengah meledek sang kakak dengan menjulurkan lidah, seperti biasa.
"Ini pasti ulahmu kan?! Kau yang mengatakan hal-hal aneh pada Mama?!
"Oh my.. Berhentilah berkelahi atau tak ada makan malam untukmu Lucas." Mrs. Sarah menengahi atau terkesan menghakimi anak lelakinya.
"Kenapa hanya aku?! Kenapa tidak dia juga?"
Lalu perdebatan sengit tanpa akhir menjadi musik latar saat aku menyibukkan diri dengan mencuci seikat sayur dan beberapa lainnya. Rumah keluarga Templeton tak pernah sepi, lebih tepatnya hampir selalu ramai oleh perdebatan dua bersaudara templeton, teriakan Mrs. Sarah, dan terkadang ketikan ayah mereka pulang, Mr. Henry, keadaan akan semakin berwarna dengan candaan konyol tidak jelas tetapi mampu membuat kami terbahak-bahak saking garingnya.
Hal yang tidak pernah ku rasakan di rumah. Hanya ada kesendirian dan rasa sepi menanti di sana. Makanan instan dingin yang harus dipanaskan lebih dulu. Benar-benar hening sampai suara nafasmu akan terdengar lebih jelas.
Bisa dibilang inilah alasan kenapa aku selalu mampir ke rumah Lucas jika sempat. Terlebih ketika suasana hatiku terlalu buruk untuk tinggal sendirian di rumah. Walau sebenarnya aku tak ingin terlalu terlihat mencolok soal melampiaskan perasaan sedih pada keluarga ini. Bagaimanapun aku bukanlah anak kecil, dan ini membuat keadaan semakin menyulitkan untuk orang dewasa. Tidak ada tempat bebas untuk mengungkapkan perasaan sebenarnya. Hanya berusaha menutupi dengan senyuman, itu lebih baik.
"Bagus! Aku benar-benar terlihat seperti anak pungut di sini!"
Saat aku meletakan sayuran di atas keranjang berlubang, Lucas tengah menyilangkan tangan di depan dada, alis tebalnya sudah menyatu. Sebuah bentuk pertahanan diri yang terkesan kekanakan. Memang hanya tubuhnya saja yang berubah, tetapi jauh di dalam, Lucas kecil masih berada di sana dan akan muncul sewaktu emosinya tidak stabil.
"Daripada menggerutu tidak jelas, lebih baik kupas bawang ini saja." Aku meletakan satu bungkus bawang merah di hadapannya juga sebilah pisau berukuran kecil tetapi memiliki tepian paling tajam. Lucas memberikan tatapan protes, selain alisnya semakin menyatu, kerutan juga mulai muncul di dahinya. Tentu saja itu bukan hal menakutkan untukku, Lucas tak pernah terlihat menakutkan meski wajahnya memiliki pahatan kuat.
"Bagus.. bagus sekali.."
Lucas masih menggerutu, namun dia tetap mengambil pisau dan mulai mengupas kulit bawang. Well, perlukah aku berbangga diri? Karena selama ini hanya aku lah yang bisa membuat Lucas berhenti bertingkah.
"Aku senang kau di sini, Bryan~" puji Mrs. Sarah setelah selesai memasukkan sesuatu ke dalam panggangan, aku tak terlalu melihatnya, mungkin satu ekor ayam.
"Terimakasih Mrs. Sarah," balasku sambil tersenyum simpul.
"Benar, kau harus selalu bermain di sini Bryan!" Anna lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku sebelum melanjutkan kalimatnya dengan bisikan. "Si gorila itu selalu tenang jika ada kau di sini. Kau benar-benar seperti penjinak hewan buas—"
"HEY! Aku dengar semuanya!"
Lucas kembali mengaum, namun tentu saja hal itu tak menyulutkan niat Anna untuk semakin menggodanya. "Upsie~ Tolong aku Bryan~ Ada gorila mengamuk!"
"KAU—"
"Selesaikan bawangnya Tuan Templeton." Aku menyela sebelum dia sempat melayangkan protes untuk kesekian kali. Dan kesekian kali pula aku memenangkan perdebatan dengan Lucas.
Pria itu masih bersungut-sungut namun ada yang sedikit berbeda dengannya kali ini. Wajahnya tampak memerah, kelopak matanya dipenuhi oleh embun yang siap menetes kapan saja. Dan kemudian aku dapat mendengar suara ingus di sedot. Saat menolehkan kepala, aku mendapati wajah Lucas benar-benar kacau dengan lelehan air mata di kedua pipinya juga ingus meler.
"Berhenti!" Aku bisa merasakan otot-otot leherku menegang ketika mengucapkan satu kata bernada seruan. Tepat sebelum Lucas menggunakan tangan kiri —yang sebelumnya dia pakai untuk memegang bawang— untuk mengelap derai air mata di wajahnya. Tentu itu akan berakhir sangat buruk, lebih buruk ketimbang merasakan aroma bawang dari jarak lumayan jauh saja. Tubuhku seolah bergerak dengan sendirinya, meraih beberapa lembar tisu yang terletak di dekat wadah sendok. "Jangan gunakan itu, matamu akan lebih pedih nanti."
"Trims—"
"Tidak!" Aku menjauhkan lembaran tisu dari jangkauan Lucas saat tangannya hendak menjangkau. "Biar ku bantu, tanganmu masih belum dicuci."
Aku tak mengerti apa yang membuatku melakukannya. Mungkin karena wajah Lucas terlihat amat menyedihkan, membuatku tak tahan untuk membantu, atau ini adalah bentuk balas budi karena Lucas sering sekali membantuku dalam hal apapun. Tubuhku mengingat bagaimana kebaikan pria beralis tebal ini, dan tanpa ku sadari aku telah membersihkan keseluruhan wajahnya tanpa ada satupun perkataan keluar dari mulut kami. Dari jarak lumayan dekat ini, aku bisa melihat bagaimana kulit wajah Lucas yang bersih. Meskipun lebih gelap daripada kulitku, tetapi dia memiliki pori-pori kecil, tanpa bercak merah. Dan aku semakin iri dengan kulit tubuhnya.
"Wah~ Andaikan Aku memiliki suami seperti Bryan~" celetuk Anna di sela-sela mengupas kentang.
"Hahaha.. Kenapa bisa berpikiran begitu?" tanyaku. Sedikit penasaran juga dengan pendapat gadis remaja seperti Anna tentang pria biasa-biasa saja seperti ku. Barangkali dari sudut pandang dan pendapatnya, aku bisa memperbaiki diri atau meningkatkan daya tarik. Sesungguhnya aku jarang memikirkan tentang penampilan, dan ini lumayan menurunkan kepercayaan diriku. Bagaimana aku bisa mendekati si pria bermata biru shappire? Aku tak boleh terlihat payah jika bertemu lagi dengannya. Saat itu mungkin saja menjadi titik balik kedekatan kami. Ku harap begitu.