Descargar la aplicación
29.03% Menikahi Bening / Chapter 18: Obrolan Om Om Rasa Oppa

Capítulo 18: Obrolan Om Om Rasa Oppa

"Lam!" Teriakan Mario membuyarkan kegiatanku. Aku menggeram menahan hasrat yang mulai memuncak. Mengumpat adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan saat itu. Istriku terbatuk-batuk ketika aku melepas pagutanku. Meraup oksigen sebanyak mungkin ketika aku mengeksplore kemanisan bibir serta mulutnya dengan rakus. Bibir yang membengkak itu mengapa terasa begitu seksi sehingga membuat aku hilang kendali dan ingin mencicipinya lagi?

Tanpa sadar tubuhku bergerak untuk mendekatinya lagi, menenggelamkan tubuhku ditubuh mungilnya dan hampir saja aku melakukan yang ingin aku lakukan saat ini; melummat habis bibir ranum itu, ketika pada akhirnya aku duduk terpental sebelum mencicipinya lagi. Pelakunya malah dengan santai membelakangiku dan begitu cemasnya ia pada istriku. "Bey, kamu gakpapa?"

Aku berdiri dengan kepala yang semakin terasa sakit. Sakit karena rasanya hasrat ini sudah berada di ubun-ubun. Aku menarik baju Mario hingga tubuhnya terjungkal.

"Apa-apaan lo!" Bentakku saat itu.

"Apa yang lo lakuin barusan?" Mario balas membentakku. Ada kemarahan dalam manik matanya. Mario yang aku kenal tak pernah semarah ini.

Aku tertawa sarkasme. "Apa-apaan lo bilang?"

"Lam, udah Lam. Yo, udah!" Rudy mencoba melerai kami. Apalagi ini?

"Memangnya apa yang kalian pikirkan? Sebagai seorang suami yang mencium istrinya, di mana letak salahnya, hah?" Karena sibuk meladeni hal yang seharusnya aku abaikan saja seperti biasanya, aku melupakan istriku yang kini sudah dibantu Edwin untuk berdiri. Tangan sialan itu, mengapa berani-beraninya menyentuh istriku? Aku menepis tangan Edwin dengan kasar.

"Lam, gue cuma bantu bini lo." Edwin menyela.

"Diam lo!" Hah, mengapa aku semarah ini?

"CUKUP!" Bening berteriak. "Sudah cukup!" Ia mengatur nafasnya. "Bang Iyo, tolong anterin Mas Aslam pulang," pintanya.

Aku hendak menyela ketika Bening mengangkat telapak tangannya padaku, "Ayok, kita pulang, Mas!" ajaknya pergi meninggalkan kami para pria yang tiba-tiba saja menjadi bodoh.

***

"Kita pulang barengan aja, Bey," ujar Mario saat kami tiba di parkiran.

Berapa kali aku melepaskan diri dari rangkulan Mario yang sebenarnya berniat membopongku yang sudah benar-benar tak bisa berjalan dengan tegap. Pada akhirnya istriku Bening yang menopang tubuhku ini dengan tubuh mungilnya. Tangannya merangkul tubuhku dan tanganku dengan senang hati merangkul pundaknya dengan sikap yang possesif.

Tak sedikitpun aku mengalihkan pandanganku memandang wajahnya sedekat ini. Apalagi mata sialan ini berfokus pada bibirnya yang terlihat begitu menggoda. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Dia, perempuan yang baru sah menjadi istriku dua hari yang lalu. Tak pernah terbersit dari bayanganku akan mempunyai istri seperti dirinya. Manis...Dia perempuan yang begitu cantik walaupun tanpa riasan. Berbeda jauh dengan Erina yang tak pernah percaya diri jika tanpa memakai riasan walaupun itu cuma bedak ataupun lipstik merahnya.

"Tolong anterin Mas Aslam ya, Bang. Aku ngikutin dari belakang." Bening melepaskan rangkulannya ketika ia berhasil mendudukanku di dalam kursi mobilku. Aku menarik tangannya, tak ingin aku menjauh dengannya. "Mas pulang sama Bang Iyo, ya. Aku ngikutin kalian dari belakang." Ia melepaskan tanganku pada lengannya. Aku lupa, aku memegang lengan tangan yang masih terdapat memar. "Hati-hati, Bang!" Serunya seraya menutup pintu mobilku.

"Kamu juga hati-hati, Bey!" teriak Mario kemudian melajukan mobilku.

*

"Mau aku anterin gak? Ini udah malem, lho. Bahaya anak gadis masih keluyuran di jam segini." Edwin menawarkan diri saat Bening hendak menghampiri motor matic yang terparkir bersebrangan dengan parkiran mobil.

"Gak usah, Om. Makasih," Bening tersenyum. "Aku bisa jaga diri baik-baik, kok. Lagipula, aku ngikutin Bang Iyo dari belakang," jelasnya kemudian.

"Namaku Edwin." Mengulurkan tangan saat Bening sudah duduk di motornya. Bening melirik sekilas uluran tangan itu.

"Oh, ya," tanggap Bening tak membalas uluran tangan itu. Ia men-starter motornya, "Maaf, sebaiknya kalian cepat ganti baju. Kalian bisa masuk angin," sesalnya lalu pamit pergi meninggalkan Rudy dan Edwin yang melongo atas perlakuan Bening padanya.

"Sabar..." sebuah tepukan di bahu Edwin tak membuat ia menoleh. "Mari, silahkan bekerja kembali. Om." Rudy tertawa meninggalkan Edwin dengan kekesalannya.

"Sialan lo! Gue bukan om om!" teriaknya. Tak menyurutkan tawa Rudy yang terus berjalan memasuki kelab miliknya. Edwin berlari menyusulnya. "Stop ngetawain gue! Lo gak sadar apa kalo lo juga om om. Om beranak satu!" Seketika Rudy terdiam.

Ya, Rudy memang mempunyai anak laki-laki hasil dari pernikahannya dari istri yang telah meninggalkannya setelah melahirkan buah hati mereka ke dunia, lima tahun yang lalu. Ada titik sendu di mata Rudy ketika Edwin membahas soal anak. Edwin menyadari ucapannya yang mungkin menyinggung perasaan temannya itu.

Hening...

Mereka berada di dalam lift saat ini. "Sorry." Hanya itu yang bisa Edwin katakan. "Tapi ada satu julukan lagi buat lo!" Rudy mengernyitkan dahinya. "Om pemilik kelab yang irit listrik! Wkwk..." Edwin keluar mendahului Rudy setelah lift itu berhenti di lantai yang mereka tuju dengan tawanya yang membuat Rudy pun ikut tertawa pada akhirnya. Mereka berjalan masuk ke dalam lalu duduk di depan meja bar.

"Gak dingin, Bos?" tanya seorang bartender ber-name tag Irwan yang meringis melihat keadaan Rudy dan juga Edwin. Rudy dan Edwin tertawa hambar saat melihat kondisi mereka sendiri.

"Eh, btw kenapa juga lo bisa nurutin apa maunya bini si Aslam?" tanya Edwin.

"Lo kan tau, kelemahan gue adalah cewek cantik apalagi manis dan imut kayak doi..." Irwan terpesona. "Oh! Cewek imut tadi bininya Bang Aslam?" pekik Irwan ketika menyadari dan tak percaya apa yang didengar sebelumnya.

"Lo pikir siapa?" Rudy menyesap brandy yang diberikan Irwan padanya.

"Yah...ilang deh kecengan gue..." Irwan kecewa. "Gue pikir tuh cewek kenalan lo, Bos. Ya...gue pikir tuh cewek calon relaxing berikutnya yang lo bawa. Kan, gue bisa ngantri gitu buat nyicip tuh cewek, Bos. Ato kalo perlu nih ya, gue rela bawa kabur tuh cewek sebelum lo ato para pria berdompet tebal nyicipin tuh cewek duluan!" Irwan mulai menggebu. "Gue, bakalan jadi kesatria pelindung buat tuh cewek! Bahkan, gue bakalan jadiin tuh cewek belahan jiwa gue seutuhnya!" Memukul dada dengan kepalan tangannya, semangat 45.

"Wuihhh Irwan..." Edwin bertepuk tangan. "Kalo Aslam ampe denger lo ngomong kek gitu, udah pasti lo bakalan dilemparnya ke segitiga bermuda."

"Bang Aslam kagak ada di mari," Irwan terkekeh. "Tapi gue serius, Bos. Gue gak bakalan lepasin tuh cewek, kalo dia masih single."

"Ya...ya...seterah lo dah, Wan!" Rudy menyahut. "Yang jelas, jangan ampe lo ngomong gitu depan Aslam. Lo liat tadi gimana Aslam meremukan gelas dengan tangannya yang kosong?"

"Jadi bener? Aslam kayak tadi gara-gara lo ngomong yang nggak-nggak soal bininya?" Edwin menyesap brandy-nya.

"Gue bercanda."

"Tapi candaan lo keterlaluan, Bos."

"Mang lo denger apa yang gue omongin sama Aslam?"

"Ya...suami mana yang gak marah kalo temennya sendiri pengen nyicipin bininya? Apalagi tadi lo ngeremehin Bang Aslam gegara dia gak bisa straigth meskipun tadi lo kasih relaxing," ujar Irwan.

"Seriusan nih, Rud? Wah...gue telat buat nyaksiin adegan drama kalian..." Erdwin antusias.

"Sudahlah, lupakan! Ya, gue pikir Aslam kayak gitu karena Erina. Tapi gue rasa Aslam bakalan nemuin kebahagiaannya."

"Tapi beneran nih, Bos? Cewek tadi bininya Bang Aslam?" Rudy mengangguk. "Gak pake bo'ong?" kali ini dibantu Edwin. "Bener-bener dah, pupus sudah harapan gue..." Lemas Irwan.

"Dasar halu!" cibir Edwin.

"Gue emang tukang halu. Apalagi menyangkut soal cewek cantik. Hati gue luluh ketika doi minta bantu gue bawain aer juga es batu tadi..." Irwan menerawang kilasan kejadian saat Bening meminta bantuannya. "Tapi gue gak ngira ternyata tuh aer bakal siram lo lo pada. Wkwk...Pake es batu pula!" Irwan tertawa. Dan tawanya menulari Erdwin dan Rudy.

"Lo bener, Wan. Gak nyangka ternyata bininya Aslam seorang power ranger! Lihat ini akibat sikap barbar dan keberaniannya. Haha...Dan tadi lo denger gak, Wan? Doi manggil si Rudy Om pemilik kelab yang irit listrik!" Edwin dan Irwan tertawa terbahak-bahak.

"Lo juga!" Rudy menyanggah. Merasa harga dirinya terluka. "Om Edwin..." Ledeknya kemudian.

"Haha gokil...gokil..." Edwin geleng-geleng kepala. "Dia, cewek yang bisa bikin gue ketawa lepas kayak gini. Harusnya Aslam bangga, bukan? Kalo gue berada di posisi Aslam, gue bakalan lupa sama Erina. Karena cewek polos kayak dia, bisa bikin gue lupa diri." suara Edwin melunak. Suasana terasa syahdu dan hening walaupun suara musik tetap menggema.

"Ya...lo bener. Gue harap begitu," timpal Rudy. "Melihat bagaimana begitu bergairahnya Aslam padanya membuat gue tau diri. Secara gak sadar sebenarnya ada perasaan yang mulai bertumbuh dalam diri Aslam sama bininya. Sikap possesif yang doi tunjukin begitu jelas. Dan gue bakalan tobat kalo punya bini kayak dia."

"Sok alim lo!" Edwin.

"Cowok bakalan alim kalo udah nemuin jalannya yang benar." Rudy.

"Pikirin berapa banyak cewek yang lo jadiin relaxing!"

"Bukan gue yang mau, mereka sendiri yang memlih jalan seperti itu!"

Edwin mengangguk. Diikuti Irwan yang sebenarnya kurang mengerti obrolan mereka.

"Gue ganti baju dulu. Bisa masuk angin gue kalo kayak gini," pamit Rudy.

"Oke, Om. Gue juga mu ganti baju dulu sebelum lanjutin kerjaan gue," sahut Edwin.

"Elu tuh yang Om!" Sembur Rudy.

"Gue bukan om, tapi oppa...wkwk," tawa Edwin.

Mereka pun bubar untuk mengganti pakaian mereka yang sudah mulai lembab.

***

EPILOG

Hatiku terus bergemuruh ketika mengingat bibir tebal nan hangat itu mencium bibirku. Ada aroma vodka di sana. Ciuman itu bergairah dan sialnya rasa itu terus menempel.

Lupakan! Mas Aslam lagi mabuk. Dan aku harus tau diri!

Aku mengikuti mobil yang dikendarai Bang Iyo dari belakang. Mobil sport hitam itu berjalan pelan. Mungkin Bang Iyo khawatir padaku, maka ia melambatkan laju kemudinya. Sejurus kemudian aku memberi kode pada Bang Iyo agar mempercepat laju mobilnya karena membawa motor pelan-pelan malah akan memperlambat sampai ke rumah. Terlebih orang-orang yang membawa kendaraannya di belakang kami pastilah merasa kagok.

Aku menyalip mobil Mas Aslam, mendahuluinya. Sekilas Bang Iyo merasa terkesiap karena aku menyalip cepat mobilnya. Dan kurasa ia pasti sedang mengumpatiku.

"Bey!! Jangan ngebut!! Hati-hati!!!" teriak Bang Iyo membuka kaca mobilnya. Yang aku lakukan hanyalah melambaikan tangan padanya.

TBC


next chapter
Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C18
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión