Descargar la aplicación
16.27% Married With CEO Playboy / Chapter 14: Bab 14

Capítulo 14: Bab 14

Hai... hula, hula...

Akhirnya up lagi, Happy Reading guys...

Elang menatap Nenek dan Elita bergantian. "Ada apa, Elang?" tanya Mamanya melihat gerak gerik anaknya itu.

"Gak ada, ma," jawab Elang dan menyuapkan makannya.

Saat ini mereka sedang makan malam bersama. Elita merasa begitu canggung karena ini kali pertama ia makan bersama dengan keluarga besar Elang. Biasanya ia makan sendiri atau bergabung dengan para tamu saat ada pesta keluarga Elang.

Selesai makan bersama, mereka pun berbincang-bincang membicarakan kapan mereka akan menikah dan konsep pernikahan seperti apa yang akan di lakukan. Elita pamit untuk pergi ketoilet pada keluarga. Sampai di toilet ia segera mengirim pesan pada Elang supaya mengizinkannya pulang, ia harus segera pergi ke rumah sakit. Elang hanya membalas iya saja, setelah itu Elita mencuci wajahnya. Tidak lama ia kembali, Elang langsung berdiri mengajaknya pulang. Mereka pun berpamitan pulang.

"Pak, turunin saya di halte itu saja, Pak. Bapak kalau mau pergi kemana," ucap Elita sambil menunjuk halte bis yang ada di depannya. Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil dan Elang akan mengantar Elita.

"Saya akan antarkan kamu."

"Enggak perlu, Pak. Saya bisa--"

"Kamu sekarang calon istri saya, jadi menurutlah!" tegas Elang memotong ucapan Elita.

Elita pun langsung terdiam mendengar bentakan Elang. Ada apa dengan bosnya, kenapa begitu marah. Apa tadi saat ia pergi ke toilet ada hal yang membuatnya marah.

"Em, pak turun--"

"Enggak!" tegas Elang sambil melirik kearah Elita.

"Bapak kenapa, sih, marah-marah. Apa tadi saat saya pergi ke toilet ada yang buat bapak marah?" tanya Elita kesal. Awalnya sih ia diam saja, hanya saja setelah di pikirkan lagi, untuk apa dia menurut pada Elang. Kalau masalah kantor iya saja, ini bukan masalah kantor.

"Karena kamu calon istri saya, jadi turuti apa mau saya!" tegas Elang.

"baru calon, kan? Bukan istri?" tanya Elita sarkatis.

Elang segera memberi sen dan menepikan mobilnya membuat Elita kini menatap sinis padanya. "Ngapa berhenti, sih, Pak! Al enggak ada temennya di rumah sakit!" kesal Elita. "Yang membuat ia marah siapa, yang dapat pelampiasan kekesalan siapa," gerutu Elita tidak jelas di pendengaran Elang.

"Kita akan menikah, jadi belajarnya untuk menuruti perkataanku!" tegas Elang.

"Didepan keluarga bapak, saya akan mengikuti apa yang bapak katakan. Namun, tidak di belakang keluarga bapak!" tegas Elita kemudian ia membuka kunci pintu.

Baru juga iya akan membuka pintu, Elang sudah menahan lengannya membuat Elita menoleh dengan ekspresi malas. "Ada apa, Pak? saya mau pulang sendiri saja."

"Saya akan mengantar kamu, ini sudah malam," ucap Elang dengan suara lembutnya tidak meninggi seperti tadi.

Elita menghela napasnya, Elang tipe orang yang keras kepala. Kalau menurutnya A benar ya benar, ia tidak akan mengubahnya. Bahkan ketika pilihannya salah iya tidak akan mengakui kesalahannya. Ia berpendirian teguh dengan pilihanya. "Baiklah, pak," jawab Elita akhirnya pasrah.

Elita mengunci pintu mobilnya kembali. Elang pun kembali melajukan mobil dan selama perjalanan menuju rumah sakit mereka tidak saling berbicara. Sampai di rumah sakit, Elang ikut turun dan menemani Elita sampai masuk ke ruangan Aldebaran.

"Mulai hari ini, semua tanggungan rumah sakit aku yang akan membayarnya. Kamu cukuplah bekerja seperti biasanya," ucap Elang sambil berjalan masuk menghampiri Elita yang sudah berdiri disisi ranjang Aldebaran.

Elita membalikkan tubuhnya untuk menatap Elang. "Bapak masih calon, jadi uang bapak ya uang bapak. Bapak enggak ada hak untuk membayar tagihan rumah sakit!" tegas Elita. Elita tipe orang pekerja keras, ia tidak suka bergantung pada orang lain kecuali ia sudah sangat-sangat tidak ada jalan lain ia baru akan meminta bantuan.

"Kamu calon istriku!"

"Baru calon, kan , pak?" tanya Elita mengulang kembali pertanyaanya di mobil dengan wajah malas.

"Kali ini kamu jangan menolak, karena aku akan menjadi suamimu!"

"Setelah menikah baru bapak bisa bertanggung jawab atas biaya rumah sakit Aldebara!" tegas Elita.

Elang hanya mampu menghela napasnya, bagaiman ia bisa menaklukan Elita jika sikap Elita seperti ini. "Dan iya, bagaimana dengan status saya yang memiliki anak tanpa menikah? Apakah keluarga bapak akan menerimanya? Saya enggak mau, ketika Aldebaran bangun ia akan menjadi bahan olokan keluarga bapak. Sudah cukup penderitaannya saat ia masih kecil, saya tidak mau membuat psikisnya menjadi buruk!" ucap Elita begitu dingin.

"Itu urusanku, kamu cukup menjadi istriku saja."

"Saya harap keputusan bapak tidak akan menyakiti anak saya. Saya menikah untuk kesembuhan anak saya, tapi bukan berarti saya akan membuat anak saya tersakiti dengan pernikahan saya. Saya akan terima jika harus bercerai atau tidak menikah dengan bapak jika mereka menolak kehadiran Aldebaran!" ucap Elita penuh keyakinan.

"Percayalah, apapun keputusannya nanti itu tidak akan menyakiti Aldebaran. Aku jamin itu!" tegas Elang meyakini Elita bahwa ucapannya bisa di percaya.

Elita tidak berkata apa-apa lagi, ia membalikkan tubuhnya untuk menatap anaknya. Cukup lama ia memandangi putranya kemudian ia pergi kekamar mandi untuk mencuci wajah dan mengganti pakaiannya. Selagi Elita pergi Elang berdiri di samping tempat tidur Aldebaran. Ia menatap wajah Aldebaran yang menurutnya tampan. "Kau anak yang tampan," ucap Elang seraya tersenyum.

"Cepatlah bangun supaya ibumu bahagia, karena kamu adalah sumber kebahagiaannya," ucap Elang masih dengan senyumannya.

Elang masih menatap Aldebaran dengan tatapan tidak terbaca. Tiba-tiba saja ia ingat sesuatu hal, "Hah.." desah Elang. "Usiamu mengingatkan aku padanya. Andai aku bertemu dengannya, pasti ia sudah sebesar dirimu," ucap Elang yang tanpa sadar kini mengulurkan tangannya untuk membelai puncak kepala Aldebaran.

Pintu ruangan terbuka, Elita masuk dengan wajah segarnya, kaos oblong yang kebesaran dan celana training panjang. Elang menoleh ke arah pintu dan dirinya di buat terpaku oleh Elita. Penampilan sekretarisnya yang begitu biasa tanpa polesan make up dan pakaian yang digunakan itu membuat dirinya terpesona bahkan ia sudah membayangkan yang tidak-tidak.

Elang menggelengkan kepalanya saat otaknya berpikir yang tidak-tidak kemudian ia kembali menatap ke arah Aldebaran. "Mikirin yang iya-iya itu!" cibir Elita sambil berjalan menghampiri Elang.

"Mana ada!" jawab Elang sewot.

"Kalau enggak mikirin yang iya-iya enggak akan ngegas," ucap Elita dengan santainya.

"Enggak! Mana mungkin aku bayangin yang iya-iya dengan wanita seperti mu!" ketus Elang.

"Memangnya saya bilang saya, 'kan bisa saja bapak lagi bayangin cewek-cewek lain. Wah, ketahuan banget kalau lagi bayangin yang iya-iya sama saya," cibir Elita.

Bicara seperti ini dengan Elang sudah bukan hal yang aneh lagi bahkan terkadang mereka bisa saling menghina satu sama lain jika mereka hanya berdua ataupun sedang bersama orang tua Elang. Saat di depan orang mereka hanya sebatas karyawan dan bosnya saja.

"PeDe banget kamu! apa yang mau dibayangin dari kamu coba?" tanyanya sambil bersedakap dan meanatp malas Elita.

"Iya sih, pak, body saya mah, apa gitu? Apalagi udah punya anak satu, udah enggak enak rasanya," jawab Elita dan berdiri di sebelah kiri brankar Aldebaran.

Elang menghela napasnya, Elita sering sekali merendahkan dirinya sendiri. Padahal, setiap manusia itu memiliki kekurangan, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan.

"Ah, sudahlah. Aku mau pulang saja," ucap Elang yang hanya di jawab iya oleh Elita.

"Aku beneran pulang ya," ucap Elang yang sudah memabalikkan badanya dan melangkah menuju pintu keluar.

"Iya, pak, hati-hati," jawab Elita sambil berjalan untuk pindah posisi dan duduk di samping putranya.

"Seriusan aku pulang, nih," ucap Elang yang membuka pintu.

Elita menoleh tanpa minat menatap Elang. "Ada apa, sih, pak?" tanya Elita karena bosnya itu mengulang terus pertanyaannya.

Elang menatap kesal Elita, "Enggak peka banget, sih! Calon suaminya mau pulang tapi enggak di antar. Nanti kalau udah nikanh, suami berangkat kerja, ya berangkat aja!" sindir Elang.

"Udah ngebet banget nikah, pak? Yang dibahas nikah… mulu?" tanya Elita sambil memutar malas bola matanya. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiri Elang yang masih di ambang pintu.

"Kita kan, memang mau menikah. Besok semua udah harus di persiapkan. Dari foto nikah ngurus KUA ya, walau itu nantinya akan nyuruh orang," ucap Elang.

"Seriusan bapak mau menikahi saya? Walau saya gadis bukan perawan dan punya anak satu?" tanya Elita tidak percaya.

"Memangnya kenapa? Lagi pula ada baiknya punya anak, jadi enggak akan di suruh cepat-cepat punya anak," Jawab Elang begitu santainya sedangkan Elita hanya bisa pasrah dengan keputusan ini. Semoga Ibunya Elang tidak menyetujui pernikahan ini, jadi ia tidak harus menikah dengan Elang.

TBC...

Yuk, yuk merapat. Ramaiakan Komentnya guys... boleh juga tinggalkan Vote dan power stonenya. hehehe...


next chapter
Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C14
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión