Ketika mengetuk pintu beberapa kali, Kushina kemudian masuk ke dalam kamar putranya, mendapati setelah itu bahwa anak itu berbaring di atas kasurnya, wajahnya terlihat kelelahan, belum sempat berganti pakaian, bahkan sepatu yang dikenakannya masih membungkus kedua kakinya, anak itu keburu ketiduran.
Pasti banyak kegiatan di sekolah, Kushina amat tahu keseharian putranya, menjadi Ketua Asosiasi di sekolah tidaklah mudah, masuk ke lembaga bimbingan rutin setiap harinya sepulang sekolah padahal nilainya tak pernah berada di titik paling rendah. Dan seingat Kushina, berada di urutan ke sepuluh saja pun tidak, putranya cukup konsisten untuk masuk ketiga besar, menduduki nomor satu seakan menjadi tempat favoritnya.
Belum lagi rasa lelahnya mungkin didapatkan oleh anak itu dari ekstrakulikuler panahan dan juga basket, kedua bidang itu tak pernah ditinggalkan.
Baru-baru ini anak itu juga memenangi sebuah turnamen, mengharumkan nama sekolah dengan meraih medali-medali emas, perak, perunggu, semuanya komplit bersama tim-tim sekolahnya.
Semua pasti sangat tidak mudah, putranya seolah melakukan semuanya sendiri, tapi asal anak itu senang dan tidak memberatkan, Kushina membiarkan putranya melakukan apa pun sesukanya selama batas yang menurutnya masih wajar.
Kushina kemudian mendekati anak ajaibnya. Dan setiap langkahnya mendekati anak itu, Kushina seolah menjadi satu-satunya ibu yang paling beruntung di dunia ini.
Ini cerita yang mungkin semua orang tahu, sebelum pernikahannya, Kushina sudah tahu bahwa dia adalah wanita mandul yang mungkin tidak akan memiliki keturunan. Tapi dia tidak patah semangat, Kushina melakukan apa pun untuk bisa hamil, terapi dan sesuatu yang menyakitkan bahkan dilakukannya di rumah sakit.
Bayang-bayang putus asa tidak akan memiliki keturunan, tidak akan memiliki bayi kecil di gendongannya, menjadikan Kushina frustrasi, ia hampir kabur dan bunuh diri. Dia bahkan mencarikan seorang wanita agar mencintai suaminya dan memberikan keturunan pada laki-laki itu.
Namun Minato tidak berencana meninggalkannya. Laki-laki itu justru menggenggam tangannya dan menerima dirinya apa adanya. Laki-laki bodoh itu bahkan percaya akan datangnya mukjizat, itulah pesan Minato kepada Kushina.
Dan sejak saat itu, Kushina tidak pernah lagi menyebut Minato bodoh, sejak anak itu benar-benar lahir dari rahimnya dengan seluruh ketidakpercayaan yang terjadi. Dokter bahkan berkata itu sesuatu yang tidak masuk akal tapi tidak menutup kemungkinan hanya butuh keajaiban maka akan benar-benar terwujud untuk memiliki seorang bayi.
Naruto lahir dengan berat badan yang sehat, gemuk, tampan, serta menangis sangat keras. "Dia anak kita," saat Kushina memeluknya, merasakan kehangatan tubuh bayinya, dia hampir tidak percaya, di umur tiga puluh tahun akhirnya dia punya bayi yang didamba-dambakan olehnya setelah sepuluh tahun pernikahan yang terasa hampa dan membuatnya nyaris putus asa.
Tepat Kushina selesai melepaskan sepatu, lalu akan menyelimuti anaknya yang penuh dengan keajaiban tersebut, anak itu justru terbangun dengan melenguh lelah. "Ibu bisa suruh pelayan untuk membuat mug berisi cokelat hangat untukmu," bisiknya, kadang-kadang dia merasa begitu kasihan pada anak itu, tapi mencegah mungkin akan membuat Naruto sedih.
"Kenapa ibu tidak mengetuk pintu dulu?" protes anak itu.
"Ibu sudah mengetuk pintu, tapi ternyata kau ketiduran," selagi mengambil duduk di pinggir kasur, Kushina menggerutu. "Kenapa kau tidak turun untuk makan malam? Kita sudah sebulan tidak bertemu, apa ini gara-gara anak perempuan yang kau ceritakan tadi?" anak itu tiba-tiba menggaruk belakang kepalanya, malas menanggapi godaan ibunya. "Kau pernah dengar kata pepatah, jangan pernah memusuhi seorang gadis atau kau akan jatuh cinta kepadanya."
"Ibu ini bicara apa sih?" Naruto merengut. "Itu cuma kata pepatah."
"Ayolah, hampir semua kata pepatah itu benar adanya."
Naruto merasa jijik melihat muka ibunya yang memerah semaunya sendiri, pasti di dalam kepalanya sudah mencetak suatu hal yang tidak-tidak, dia dapat membaca keseluruhannya. "Sudah, ibu keluar saja, aku mau pergi mandi."
"Ya Tuhan, apakah kau mengusir aku?"
"Kalau ibu berisik membahas gadis itu lagi, aku benar-benar akan mengusir ibu."
"Ibu hanya ingin memastikan apakah kau punya pacar, ibu ingin kau memilikinya."
"Percayalah, itu buang-buang waktu, aku hanya mencintai ibu, dan memiliki ibu sudah cukup bagiku," Kushina tersipu malu. "Jadi, aku tidak mau dibuat bingung, apalagi dibuat bangkrut oleh kelakuan gadis-gadis yang selalu menginginkan segalanya, tak mengerti kata puas."
"Hei," ibunya berdiri, mengikuti ke mana putranya pergi untuk melepaskan seragam dan melemparkannya ke keranjang cuci. "Kau tidak boleh pelit," sementara Naruto mengamati ibunya yang marah—itu sangat aneh. "Semua gadis sangat suka dimanja, termasuk ibu."
"Ya sudah, aku akan memanjakan ibu saja."
"Tidak boleh, kau harus memanjakan gadis itu."
"Ibu," Naruto nyaris berteriak. "Gadis itu bahkan buka tipeku."
Kushina tersenyum jahil, Naru baru sadar bahwa dia mulai digiring ke bagian penjelasan siapa gadis itu. "Jadi, gadis seperti apa dia?"
"Kami baru bertemu siang ini di sekolah," meskipun enggan, ia hanya ingin ibunya tenang. "Anak kelas dua, dia baru pindah dari desa, aku pikir begitu," seperti biasa, ibunya menunggu kelanjutannya, dan terlihat lebih antusias. "Aku yakin dia hanya gadis bodoh, tidak ada yang spesial dari gadis itu."
"Tapi kau terlihat menyukainya."
"Ibu, aku tidak menyukainya, kami baru bertemu, dan situasinya aneh."
"Itulah yang terjadi, situasi aneh kadang menjadi hal yang paling indah."
Naruto hampir mengumpat, ibunya terlalu berlebihan, wanita itu tidak tahu soal permasalahan yang terjadi. Gadis aneh nan idiot itu seolah mengenalnya di pertemuan pertama. "Kupikir ibu harus keluar dari kamarku, aku ingin mandi, dan perutku tiba-tiba lapar."
"Ibu akan suruh pelayan untuk segera mengantarkan makan malam ke sini," sebelum ibunya benar-benar pergi dari kamarnya, wanita itu mengecup kedua pipinya, menyalurkan kasih sayang yang hampir sebulan ini tidak diberikannya untuk putra satu-satunya itu.
"Selamat malam, Mum."