Naru selesai menikmati kopi penuh energi dari sang dewi kehidupan, lalu keluar dengan langkah perlahan dari kedai tersembunyi tersebut, untuk segera menghampiri Mr. Sakumo, yang sejak tadi dengan pengaruhnya, pria tua berambut putih itu duduk di kursi kemudi—takut jika ada pihak keamanan yang mendatangi, dan menemukan pria itu mungkin telah tewas, karena kekurangan oksigen di dalam mobil.
Melihat Naru mendekati mobil, Mr. Sakumo buru-buru bangun, menghampiri majikan kecilnya, kemudian berkata penuh sesal, "Maafkan saya. Sepertinya saya ketiduran." Naru menepuk pundak pria itu sembari tersenyum memahami, lalu dia masuk ke dalam mobil. "Apakah kita langsung pulang? Atau perlu mampir ke suatu tempat lagi?"
"Pulang saja, aku tidak mau merasa menyesal karena membuatmu ketiduran lagi nanti."
Dalam perjalanan pulang selagi memandangi langit yang terus menyemburkan warna merah, dan awan-awan yang memantulkan warna merah dari langit di sana, semakin membuat perasaan Naru cemas. Dalam kurung waktu lama, dia telah menantikan untuk menjadi manusia sepenuhnya, ia tidak lagi sakit-sakitan, tidak lagi merasa begitu lemah, orangtuanya tidak mengkhawatirkan dirinya dan bisa pergi bebas ke mana pun keduanya ingin pergi tanpa perlu khawatir, apakah anak mereka tidur nyaman di kasurnya atau malah pergi ke rumah sakit.
Ia harusnya meminta Uchiha untuk menghapuskan ingatan tentang Hizashi adalah saudara kembar Hiashi, dan pria itu datang ke tempat persembunyiannya di balik pohon ginkgo. Tapi sayang sekali, kenyataan Hinata sebagai gadis istimewa tidak akan menjadikan gadis itu jauh lebih baik. Naru tanpa mampu berhenti untuk terus memikirkan tentang konsekuensi jangka panjangnya. Kontradiksi yang mengerikan—antara Hinata mungkin menjadi gila, dia tidak sanggup untuk menahan seluruh ingatannya, kepalanya pecah, saraf-sarafnya putus karena dia manusia, bukan lagi setengah dewi. Atau malah jadi kebalikannya, gadis itu mengingat masa lalunya yang kelam karena dibunuh secara keji.
Tiba-tiba, dalam kesedihan itu Naru menunduk, rasa penyesalan, dosa, dia tidak mampu menutupinya sementara Mr. Sakumo hanya memandangi dari spion, apakah anak itu tidak apa-apa? Pikirnya khawatir, tetapi seakan ada seseorang yang berbisik atau memperingatkan dirinya untuk tidak mengganggu anak itu. Mr. Sakumo hanya fokus dalam menyetir, pulang dengan selamat, dan membiarkan anak itu beristirahat di kamarnya.
Dan sesampainya di rumah, tak berbicara, tak bertanya apa yang sedang terjadi, Mr. Sakumo hanya membukakan pintu anak itu, lalu berkata penuh perhatian, "Selamat malam, selamat beristirahat."
Betul, kata Mr. Sakumo, ini sudah malam dan waktunya beristirahat, tubuh manusianya tidak akan tahan untuk terus-menerus memikirkan masa lalu dia dan Hinata bertahun-tahun lalu, seribu lima ratus tahun tragedi yang sudah dia tanam di Okutama, dan kini menjadi besar, dia tidak perlu memikirkannya, karena dia telah terlahir untuk menjadi manusia, meskipun takdir yang ada di pundaknya tak mampu disingkirkan—sampai kapan pun.
"Selamat malam, Mr. Sakumo."
Maaf, baru bisa update, dikarenakan saya banyak kegiatan untuk beberapa hari belakangan ini.
Tenang, masih ada sekitar satu atau dua bab untuk hari ini.