Nyonya besar kedua menggoyang gelas wine memandang langit dengan perasaan lebih baik. Ini sudah larut malam. Tak ada kabar dari Javi atau lainnya. Senyumnya tak habis di wajahnya tersungging mendapatkan kesenangan yang diberikan Dady sepanjang hari kemarin.
Tak ada kabar dari siapapun yang masuk kedalam ponselnya. Berusaha mencari seseorang yang tepat di kontak ponsel untuk membantu memuluskan jalannya ambisi sebagai calon ibu mertua sekaligus kekasih Jordan.
Tangannya lincah mengulirkan nama-nama di ponselnya. Tak satupun nama yang bisa menggugah pikirannya hingga satu nama muncul mendadak. Namun, ia ragu orang tersebut mau menerima dirinya.
Ting....
Sebuah notifikasi muncul di ponselnya. Mata terbelalak membacanya. Spontan ia berdiri. Tak mungkin. Dady baru saja bersamanya dan sekarang mati. Dibacanya lagi pesan yang masuk tanpa ada nama pengenalnya.
"Waktumu tinggal sedikit lagi. Jangan buat aku menunggu. Kamu tak mau merasakan dinginnya malam saat hujan dan gelapnya malam."
Dilemparnya ponsel keatas tempat tidur. Pucat pasi di wajah. Keringat dingin keluar dengan cepat.
"Ini siapa? Aku harus segera mencari orang untuk membereskan bayi itu. Dady...tidak! ini pasti tidak benar" ucapnya sambil bergerak menarik baju dan celana panjang dari lemari. Ia harus mengecek di kamar mayat rumah sakit.
Butuh waktu dua puluh menit dirinya berhasil memakai pakaiannya. Tangannya menyambar kunci mobil. Terlalu panik, nyaris tak dapat menyalakan mobil. Tarikan nafas satu.... dua.... tiga.... klik.... akhirnya nyala. Perlahan dikeluarkan dari garasi, ia tak mau mati konyol di tabrak. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit Cipto yang ada di Jakarta pusat. Korban kecelakaan atau korban tak ada tanda pengenal selalu masuk kedalam rumah sakit itu. Gelapnya malam menambah rasa khawatir nyonya besar kedua, mungkin ia harus menjatuhkan harga dirinya sekali lagi pada orang itu.
Dibelakang mobil nyonya besar kedua, mobil hitam metalik mengikuti santai. Asap rokok membumbung di dalam mobil. "Menurutnya berapa lama dia bisa lolos dari pengawasan tuan besar?" tanyanya menghisap lagi rokoknya. "Tugas kita hanya mengawasi bukan menjadi pengkhianat" Tawa sumbang dikeluarkan olehnya. Berbulan-bulan mengawasi wanita di depannya tanpa bisa menyentuh, sungguh sangat disayangkan. Juniornya seringkali membengkak bagaimana wanita itu bercinta dengan pria-pria di matanya.
"Aku akan mendekati dari dekat. Tugas mengawasi dari dekat tampaknya diperlukan" ujarnya membuang rokok keluar jendela. "Jangan bodoh. Ingat anak dan istrimu, Jack" sergah cepat disampingnya. "Tenang. Demi penyelidikan berhasil sempurna, aku rasa tak masalah berkorban sedikit". Tanpa mau mendengarkan lagi kata-katanya, ia turun dari mobil begitu di parkiran dekat kamar mayat.
Kakinya secepatnya melangkah ke arah dimana nyonya besar kedua berada tapi sebelum itu tangannya merogoh botol kecil didalam saku celananya. Botol berisi cairan obat perangsang yang kuat. Jika tercium seseorang atau terkena cairan akan cepat bereaksi. Obat buatannya yang terbaru, tak ada salahnya ia mencoba sebelum dipasarkan. Tak lama kemudian netra miliknya melihat gerakan syok badan nyonya besar kedua keluar dari kamar mayat. Buru-buru ditangkapnya masuk kedalam pelukannya, pada saat itulah cairan itu dioleskan ke lengan tangan nyonya besar kedua. Bingung, nyonya besar kedua menatap mata paling bening yang pernah dilihatnya. Berulangkali menggerjap takut salah melihat tapi tak ada yang salah. "Kamu tak apa?" tanyanya lembut. Dalam hati tertawa-tawa buruannya langsung tertangkap tanpa bisa berlari. "Tidak.... aku--" ucapnya kebingungan. Masalahnya gerakan jari tangan pria ini sangat menganggu dirinya. "Lebih baik ibu duduk dulu di bangku itu" katanya sambil perlahan menuntun kearah bangku yang dimaksud. Jack meneliti sekeliling mereka berdua duduk. Sepi. Tangan satunya memasukkan lagi obat kedalam saku celana. "Ibu habis mengenali orang di kamar mayat? kok datang malam-malam" tanyanya pelan mengusap tangannya. "Eh, iya baru sempat. Terimakasih sudah bantu. Kalau tidak ada bapak mungkin saya jatuh tadi" Nyonya besar kedua mengeryitkan keningnya. Usapan lembut dan posisi terhalang oleh tembok dan pohon besar menyebabkan hal-hal tak diinginkan terselip.
"Tidak apa" ujarnya. Suara seraknya menarik keingintahuan nyonya besar kedua. "Bapak menunggu siapa, kok bisa lewat sini" tanyanya dengan wajah polos, ini salah satu trik yang biasa dipakainya ketika nyonya besar kedua mencium berbau masalah. "Saya sedang menunggu saudara yang sakit. Mau pulang mengambil barang. Mobil saya diparkir disitu" Jarinya menunjuk ke arah parkiran, nyonya besar kedua melihat mobil warna hitam metalik. Sesaat ia menghembuskan nafas berarti perkiraannya salah. "Saya ambilkan air di mobil kalau tak keberatan. Wajah ibu terlihat pucat" ujarnya berusaha terlihat bersimpati dengan kondisinya. "Ah, tidak perlu. Bisa bantu papah saya ke mobil" pintanya tak mau berlama-lama dengannya. Instingnya mengatakan untuk segera kabur tapi badannya berkhianat dengan cepat. Jack senyum-senyum ketika usapannya membuahkan hasil. "Baik Bu" katanya berusaha membangunkan nyonya besar kedua untuk berdiri. Namun, kaki terasa lemah pada saat itu jari Jack menyentuh pepaya milik nyonya besar kedua terasa kenyal ditangannya. "um...itu" suaranya terputus saat tiba-tiba terdengar suara roda mendekat. Otomatis Jack berusaha melepaskan diri. "Sebaiknya nyonya duduk dulu hingga rasa syok hilang. saya panggil suster untuk membantu" usulnya mendadak.
Jack berfikir tak mungkin ada orang yang akan melewati tempat ini tapi nyatanya ada. Suara roda di dorong bertambah dekat, ada rasa tak nyaman dalam diri nyonya besar kedua. Jack ingin bangkit berdiri tapi tertahan karena nyonya besar kedua bersandar di dadanya dengan cepat. Ia gugup seketika. "Jadilah orang ku. Kamu akan aku bayar dengan tubuhku disetiap misi yang kuberi jika selesai" ucapnya pelan. Jack menundukkan wajahnya kebawah melihat wajah nyonya besar kedua.
Tak ada lagi percakapan ketika suster dan petugas kamar mayat mendorong bangkar tempat tidur ke arah kamar mayat.
"Bagiamana kamu tahu?" selidiknya cepat. Jack benar-benar merasa perhitungannya meleset, mengira nyonya besar kedua tak akan menyadari siapa dirinya tapi nyatanya ia kecolongan. "Tak ada yang mau bersusah payah mendekati kamar mayat jika tak ada hal penting" bisiknya menarik wajah Javi lembut dan menciumnya. Nyonya besar kedua tak tahan lagi dengan reaksi tubuhnya yang seperti ribuan jarum menusuknya.
Jack tersentak. Namun, dibalasnya dengan kecepatan gairah yang sama. Perhitungan meleset ditambah tawaran yang memiliki nilai jual, bukankah ini menarik daripada upah yang diberikan oleh tuan besar.
"Maaf tuan dan nyonya. Ini rumah sakit, sebaiknya dilanjutkan saja dirumah" tegur petugas jaga yang kebetulan lewat. Sontak keduanya berubah kikuk. Cepat Jack membantu nyonya besar kedua berjalan ke arah mobilnya tanpa mengatakan apa-apa kepada petugas jaga rumah sakit. Mereka masuk kedalam mobil tapi posisinya berubah. Jack yang menyetir sementara nyonya besar kedua duduk di samping.
"Bagaimana?" tanya lirih nyonya besar kedua sengaja membuka sedikit pakaiannya untuk memuluskan keinginannya. "Aku tak tahu tapi beri aku waktu" jawabnya meremas benda yang mengganggunya sejak tadi. Mobil melaju sangat cepat menebus malam panjang untuk mereka berdua. Jack lupa dengan temannya yang ditinggal.