Eckart sudah tampil rapi dengan setelan jas yang dikenakannya. Kemeja biru muda dengan setelan abu-abu sangat cocok dengannya. Sedangkan Nuri sudah duduk manis di depan meja makan. Anak kecil ini sudah rapi dan terlihat menggemaskan.
Begitu Eckart keluar kamar, aku segera menyapanya dengan senyuman, "Pagi, aku bikin roti panggang, kamu mau minum apa, kopi atau teh?"
Sambil menyelesaikan kata-kataku, aku meletakkan dua piring di atas meja dengan beberapa roti dan beramacam selai.
Eckart tersenyum dan melangkah ke arahku.
"Pagi, sepertinya aku mau teh saja hari ini.." Eckart diam sejenak dan kemudian melanjutkan kalimatnya, "Kamu juga ikut sarapan ya."
Setelah menyelesaikan kata-katanya, Eckart duduk di depan meja makan. Dia berbincang dengan Nuri sambil menungguku menyiapkan teh untuknya.
Setelah membuatkan teh, aku menyajikannya untuk Eckart dan sesuai dengan permintaannya, aku ikut sarapan bersama mereka berdua.
Sudah lama sekali aku tidak menikmati sarapan bersama orang lain. Sebagian hatiku terasa sakit. Aku rindu, rindu sekali dengan suasana seperti ini.
Kami berbincang cukup banyak sebelum akhirnya ponsel Eckart tiba-tiba berdering. Ia segera mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengecek panggilan masuk sesaat, aku kira dia akan menjawab panggilan itu, tetapi ternyata dia justru mengabaikannya.
Tak lama ponsel itu kembali berdering, sepertinya panggilan dari orang yang sama.
"Kenapa tidak diangkat, sepertinya itu penting." Ujarku asal.
Eckart hanya tersenyum tanpa menjawab panggilan itu. Kami melanjutkan sarapan dan tidak lagi mendengar dering telpon lagi.
Setelah menyelesaikan sarapan, Eckart langsung meninggalkan meja makan dan bergegas ke luar rumah untuk memanaskan mobilnya. Aku membantu Nuri bersiap-siap dan kemudian mengantarnya ke luar.
Nuri berlari menuju Eckart dan dengan sigap Eckart menangkap Nuri, menggendongnya dan megecup kedua pipi menggemaskan milik Nuri.
Sambil berjalan pelan ke arahnya, aku memperhatikan setiap gerakan Eckart, dari dia membuka pintu mobil, mendudukkan Nuri, memasangkannya seatbelt, hingga menuntup pintu mobilnya.
Ku ulurkan tas dan juga kotak bekal milik Nuri sekaligus milik Eckart sendiri, "Nih, kotak bekal biru punya Nuri, yang hijau buat kamu."
Eckart mengambil barang-barang tadi dari tanganku dan tersenyum, "Terima kasih, padahal tidak perlu repot nyiapin bekal untukku, cukup buat Nuri aja."
"Gak apa-apa, kebetulan bikin banyak."
"Aku berangkat dulu."
Sambil menyelesaikan kata-katanya, ia berbalik dan melangkah menuju mobil.
Eckart sudah duduk dan sebelum menutup mobil dia menatapku. Akupun menatapnya heran.
"Kunci mobilnya ada di samping kabinet dekat pintu. Pakai saja buat jemput Nuri."
Aku hanya mengangguk dan Eckartpun menutup pintu mobilnya. Menyalakan mesin dan akhirnya pergi meninggalkanku yang masih tetap berdiri mematung seperti orang bodoh.
Aku mencerna serangkaian kejadian tadi, rasanya aku seperti seorang istri yang melepas anak dan suaminya untuk memulai aktivitas hari ini.
Tersadar akan pikiran bodoh ini, aku menggelengkan kepalaku beberapa kali dan kemudian menepuk pipiku cukup keras.
Sadarlah, semua ini aku lakukan demi pekerjaan dan ini hanyalah sementara. Mustahil semua ini akan terus seperti ini. Akupun melangkah masuk untuk melanjutkan tugasku.
Hal yang pertama aku lakukan adalah Membersihkan setiap sudut ruangan yang sepertinya sudah lama sekali tidak dibersihkan. Tidak lupa aku mencuci pakaian yang sudah menggunung.
Aku juga mengecek persediaan makanan dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Kemudian melaporkan pada Eckart bahwa aku harus melakukan yang namanya belanja bulanan.
Setelah menerima laporanku, ia langsung mengirimkan sejumlah uang yang menurutku terlalu banyak untuk sekedar belanja bulanan ke rekeningku. Setelah aku tanya kenapa mengirimkan uang lebih, untuk jajan Nuri dan aku katanya.
Semuanya pekerjaanku hari ini berjalan dengan lancar dan tanpa terasa semuanya berlalu begitu cepat. Nuri sudah tidur dan akupun sudah melakukan semua tugasku.
Sambil menunggu Eckart pulang. Kuputuskan untuk mandi mumpung hari belum terlalu larut.
Aku melepaskan semua pakaianku dan meletakkannya di keranjang cucian di depan pintu kamar mandi.
Untungya beberapa saat sebelumnya aku sudah mengatur suhu air di bathtub, jadi aku tinggal masuk dan menikmati me-time ku di kamar mandi.
Menyegarkan sekali rasanya dan tanpa ku sadari aku sudah memejamkan mataku.
Sensasi hangat yang menjalar dipipiku membuatku tersadar. Aku langsung terbangun dan menepis tangan yang tadi menyentuh pipiku.
"Eckart!" Suaraku bergetar. Apa yang dilakukan Eckart membuatku takut.
Eckart yang melihat reaksiku juga ikut kaget dan terdiam. Dia segera berdiri tegak dan berjalan sedikit menjauhiku. "Maaf."
Aku mengatur nafas untuk menenangkan diriku. Mataku terus tertuju pada Eckart, aku sedang dalam mode super awas. Eckart tetap menjaga jarak dan memberikan waktu untukku agar mejadi sedikit lebih tenang.
Setelah memastikanku sudah lebih stabil, Eckart mendekatiku dan duduk tak jauh dariku dengan tetap memberi sedikit jarak agar aku merasa nyaman. Aku duduk menghadap Eckart dengan posisi memeluk kedua lututku, sedangkan Eckart menghadap lurus kedepan.
"Kamu tertidur di bathtub." Ujarnya.
Setelah mendengar kalimatnya aku tersadar, aku sekarang sudah mengenakan pakaian lengkap dan berada di atas tempat tidurku. Dengan cepat aku langsung mengecek kondisi tubuhku dan meraba leher bagian belakangku. Sepertinya aku baik-baik saja.
Melihat gerak-gerikku Eckart berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa, hanya mengeringkan tubuhmu, memakaikan piyama dan membaringkanmu, itu saja."
Wajahku memanas dan aku menunduk malu. Eckart sudah melihat tubuhku. Memalukan sekali, ingin rasanya aku mengubur diriku sendiri.
Eckart kemudian mengacak-acak rambutku, "Tidurlah, kamu butuh istirahat."
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Eckart berlalu pergi meninggalkanku.
Tempat tidurku berdecit ketika aku memiringkan tubuhku ke kanan. Aku meraih ponselku yang berada tidak cukup jauh. Setelah menyalakan dan memasukkan password, aku mengecek satu persatu chat yang masuk dan mataku tertuju pada sebuah nama, Mama.
'Lennox, kenapa gak pernah ngehubungin Mama atau Papa? Okelah kalau memang susah buat ngobrol ke Papa, tapi setidaknya kamu bisa ngehubungin mama kan?'
'Oh ya, kemarin orangnya Mama datang ke rumah kamu, tapi katanya rumahnya lagi di renovasi. Kamu pindah kemana? Tolong kasih kabar ke Mama Len, Mama khawatir.'
Ku tekan tombol pengunci layar dan hpku menjadi gelap. Ah, aku kangen Mama, tapi egoku terlalu tinggi untuk menghubunginya. Aku tidak mau lagi berurusan dengan keluargaku. Mereka tidak membutuhkanku, jadi buat apa ngasih kabar. Papa juga tidak akan pernah menganggapku bagian dari Selim lagi.