Mahani adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Kakak tertuanya Armadi, berusia hampir dua puluh lima tahun. Dia memiliki total lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan. Bapaknya keturunan Indonesia asli dan ibunya murni keturunan Belanda. Mahani lebih mirip siapa? Tentu saja lebih mirip sang ibu. Dia sangat cantik, di masa mudanya.
Usia Mahani masih sembilan tahun saat itu. Dia bersekolah di Sekolah Rakyat Lawang Agung. Hanya anak dari kalangan berada dan keturunan Belanda yang diperbolehkan untuk bersekolah. Saat itu, tahun berapa, Mahani tak mengingatnya. Yang jelas, Indonesia belum merdeka. Jepang saja belum datang.
Menggunakan kebaya dan bawahan jarik, dia memeluk sebuah buku dan sebuah sabak. Waktu itu bolpoin hanya digunakan di kalangan birokrat, kantor, dan hanya untuk orang dewasa. Anak-anak sekolah hanya memakai pensil atau potongan rotan. Sabak, tahu gak? Dia mirip buku, tapi hanya selembar. Kalo sudah penuh, ya dibuka helai lembarannya, dan catatan yang ditorehkan niscaya hilang. Ya memang sangat tidak efektif, tapi jaman itu memang pendidikan belum terlalu penting.
Untuk menuju sekolah, dia ditemani kelima kakaknya yang juga bersekolah di tempat sama, berjalan kaki dengan menggunakan selop. Saat itu masih belum ada yang namanya jalan beraspal. Hanya jalan setapak berbatu. Kanan kiri masih terlihat hijau dengan pohon yang tinggi dan tanaman rumahan milik warga. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar satu kilometer. Terbilang dekat, karena memang orang jaman dulu gemar berjalan kaki tak peduli berapapun jaraknya.
Keluarga Mahani punya mobil? Tentu saja. Bapaknya seorang tuan takur, juga merangkap sebagai carik desa. Luas pekarangan rumahnya saja hampir satu hektar. Sawah dan ladang juga banyak. Intinya Mahani adalah anak sultan, untuk sebutan jaman sekarang.
Banyak yang Mahani pelajari di usia sekolahnya. Membaca, mendikte, mengenal angka, bahkan dia mahir beberapa bahasa asing lainnya seperti bahasa Spanyol dan Portugis. Tentu saja, Bahasa Indonesia-nya sangat lancar. Oiya, dia juga fasih berbahasa Jawa kromo inggil.
Semua kemampuan berbahasanya diperoleh dari pergaulannya dengan lingkungan sekitar. Ibunya setiap hari juga berbicara dengan bahasa Jawa, sesekali berbahasa Indonesia diselingi istilah Portugis juga. Bagaimanapun, pekerjaan Bapaknya sebagai among masyarakat mengharuskan keluarganya untuk lebih akrab dengan bahasa negerinya.
Lantas, kenapa Mahani dan kakak-kakaknya hanya berjalan kaki? Karena mobil milik bapaknya hanya digunakan untuk kepentingan acara tertentu. Selain itu, bapaknya adalah tipikal orang yang berwatak keras namun sederhana. Dia ingin anak-anaknya lebih merakyat daripada harus merasa kaya.
***
Sebuah kereta kuda berhenti di depan rumah Mahani, rumah yang tidak terlalu besar, namun memiliki halaman yang sangat luas dengan pohon pinus di sekitarnya. Kalau jaman sekarang, mungkin kita menyebutnya dengan sebutan andong atau dokar. Tapi jaman itu, kereta kuda itu lebih mirip kereta kuda milik cinderella. Dengan penutup yang berukir, dan ada pembatas antara penumpang dan kusirnya.
Seorang laki-laki berusia dua puluhan turun menenteng koper kecil. Usianya sebaya Armadi, lebih muda satu atau dua tahun. Parasnya sangat tampan dan percaya diri. Dia menggunakan setelan jas hitam melangkah memasuki halaman rumah Mahani.
Iskandar, seorang pengusaha muda. Dia memiliki tanah yang berhektar-hektar luasnya, warisan dari almarhum sang ayah. Dia keturunan Indo campur Timur Tengah. Nah, kebayang kan muka ganteng khas timur tengah itu seperti apa.
Usahanya bergerak di bidang pengolahan besi tua. Selain itu Iskandar juga mewarisi usaha transportasi moda darat. Itu baru dua usaha besarnya, yang usaha kecil-kecilan tak terhitung jumlahnya.
Iskandar dan Mahani telah lama saling jatuh hati. Keduanya berasal dari karesidenan yang sama namun beda kota. Jarak kediaman mereka sekitar dua jam dengan kereta kuda. Kalau naik mobil, mungkin bisa ditempuh sekitar satu jam.
Mahani usia sembilan tahun, jatuh hati pada Iskandar yang usianya terpaut jauh. Iya, itu sudah sering terjadi. Orang jaman dulu memang sering nikah muda. Begitu anak perempuan mendapatkan menstruasi pertama, pasti langsung dicarikan jodoh oleh orang tuanya.
Keduanya bertemu secara tak sengaja di lapangan Lawang Agung di suatu malam. Ada pagelaran layar tancap disana. Mahani dan kakak-kakaknya sedang duduk di tikar, dan tiba-tiba saja Iskandar melintas di hadapannya. Iskandar menoleh karena menyadari ada seseorang yang terus menatapnya. Sejak itu, dia mengajak Mahani berkenalan.
Mahani berambut ikal panjang nan lebat. Hanya saat bersekolah saja dia menggulung rambutnya. Dalam keseharian, dia lebih senang menggerai rambutnya dan dibubuhkan sunggar kupu-kupu di sisi kanan atasnya.
"Assalamualaikum.." seru Iskandar dari beranda rumah Mahani.
"Waalaikumsalam warohmah."
Ibu muda berkulit putih, berhidung mancung dengan ceruk mata yang dalam, menyambutnya. Dia menerima uluran tangan Iskandar dan membiarkan laki-laki itu mencium punggung tangannya. Ibu itu bernama Alysa van Leanders, namun lebih baik memanggilnya dengan panggilan Ibu Siti Aminah.
"Sehat, bu?"
"Yah, beginilah. Sedikit suntuk karena banyak pekerjaan Bapak yang harus saya handle."
Sebenarnya percakapan beliau-beliau ini terjalin dalam bahasa Jawa kromo inggil. Namun, akan lebih mudah dipahami bila langsung menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia, bukan.
"Masuk, Le.."
"Inggih, Bu. Matur suwun."
Iskandar dipersilahkan duduk di kursi teras rumah itu. Lalu Bu Aminah masuk menyiapkan minuman dan beberapa cemilan untuk tamu jauhnya. Sebenarnya bisa saja Bu Aminah meminta bantuan para pembantunya, namun itu tidak ia lakukan.
"Kok tumbenan pagi sudah tiba di sini?" tanya Bu Aminah lagi.
"Mau kirim barang, Bu. Mampir sebentar."
"Mahani ya masih sekolah, Le. Belum pulang."
"Iya, tidak mengapa, Bu. Saya titip salam saja."
Hubungan keduanya memang telah diketahui dan mendapat restu dari orang tua Mahani. Namun untuk menikah, sebaiknya menunggu dia lulus sekolah dulu, kata Ibunya. Sedikit visioner ya ternyata, Ibu Aminah ini.
"Bu, saya ada sesuatu. Tolong sampaikan pada Mahani. Ini untuk dia, dari saya."
Iskandar mengeluarkan bungkusan kotak yang dilapisi kertas coklat dari dalam kopernya. Lalu dia menyerahkan hadiah itu pada Ibu Aminah. Sejenak menyeruput kopi hitam, kemudian dia pamit.
"Salam dateng Bapak Hamid," ucapnya sambil membungkuk.
"Hati-hati di jalan. Kalau tidak sibuk, mampirlah lagi. Mahani pasti akan senang."
"Nggih, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Begitulah, gaya berpacaran orang jaman dulu. Masih lugu dan alami. Beruntung keduanya dengan mudah mendapat restu orang tua. Sehingga juga tidak perlu main belakang.
Iskandar kembali menaiki kereta kudanya, lalu memberi tanda pada kusir agar segera berangkat. Dia menganggukkan kepalanya dari kejauhan, memberi salam pada sang calon ibu mertua. Tatapan matanya kemudian mengarah ke depan.
Sekitar dua jam berlalu, Mahani dan kakak-kakaknya telah pulang ke rumah. Dia masuk ke kamar dan mendapati sebuah kotak di meja riasnya. Dia membolak-balik bungkusan itu. Tak ada tulisan apapun yang dapat dia baca.
"Dari Iskandar, nduk. Tadi dia mampir."
Tiba-tiba saja Ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamar Mahani. Dia berjalan mendekati putrinya dan berbisik pelan, "Semakin tampan saja." Lalu ibunya berlalu meninggalkan Mahani yang tersenyum sendiri dengan pikirannya.
Sebuah selendang sutra bermotif burung merak, teraba begitu halus. Warnanya hijau keemasan dengan rumbai di pinggirannya. Mahani mengalungkan selendang itu di lehernya yang jenjang. Dia mematutkan diri di depan cermin kamarnya. Berputar-putar pelan dengan mengayunkan selendang itu bak gerakan penari handal. Dia sangat menyukai pemberian kekasihnya.
***
Aku, Mikaila. Aku cucu dari Mahani. Aku berani jamin, hanya aku satu-satunya cucu Mahani yang paling bandel dan bebal. Tapi justru aku yang paling disayang diantara cucu lainnya. Parasku sangat mirip dengan Mahani muda. Tapi tidak dengan nasibku, tentunya.
***
hai, selamat datang di book kedua ku.. silahkan kritik dan saran, komen, review dan power stone nya.. hahaa.. terima kasih..