aku duduk termenung di balkon kamarku. rasanya tidak mood untuk mengerjakan kegiatan apapun. aku terus saja teringat dengan kejadian kemarim. mama dave, wanita bernama arin, dan anak laki-laki tiga tahun bernama abel yang memanggil dave dengan sebutan papa. mengingat semua itu membuat dadaku terasa sakit. alasan kenapa dave menyembunyikan semua itu, aku masih belum tahu. aku sudah mencoba bertanya pada dave alasan dia dan mamanya tinggal terpisah, tapi dave tidak menjawabnya, malah membalik badannya membelakangiku lalu tidur begitu saja. walaupun aku sebenarnya sangat penasaran dan ingin mencari tahu tentang itu, aku belum ingin mencari tahunya sendiri. aku ingin mendengarnya langsung dari mulut dave, jika dia memang percaya padaku cepat atau lambat dia akan menjelaskannya padaku, aku kan istrinya, sudah seharusnya dia percaya padaku. jika aku memang benar-benar istrinya. maksudku, siapa wanita itu? apa hubungannya dengan dave? kenapa anak itu memanggil dave dengan sebutan papa? kenapa tatapan dave pada arin dan abel begitu lembut dan penuh penyesalan serta kasih sayang?
aku ingat kemarin itu kami akhirnya tetap makan malam disana, bersama mama, arin dan abel. bukan karena dave tidak enak dengan mama, melainkan karena abel yang memaksa dave untuk tinggal lebih lama, akhirnya dave mau makan malam disana. ya, karena anak itu. tidak sekedar makan saja, dave sampai menyuapi abel, mendengarkan cerita abel dan menunggui abel hingga tidur di kamarnya. sialan, aku jadi benci dengan anak itu.
"tumben kamu gak olahraga pagi ini" aku menoleh ke belakang, dave tampak berdiri di ambang pintu dan bertelanjang dada dengan satu tangan menggosok rambut basahnya dengan handuk dan satunya lagi mengik di hp. ternyata dia sudah selesai mandi.
"lagi gak enak badan" jawabku tanpa semangat. namanya juga sakit, bagaimana aku akan bersemangat? kepalaku pusing dan badanku panas akibat acara hujan-hujanan kemarin. dave mendekat dan berlutut di depanku lalu menyentuh keningku. deg, andaikan aku bisa menahan jantungku untuk tidak berdebar, aku akan melakukannya tiap kali dave bersikap lembut seperti ini.
"beneran sakit rupanya, aku akan manggil dokter buat periksa kamu" kata dave lalu beranjak berdiri. aku langsumg menahan tangan dave sebelum dia pergi.
"aku gak mau diperiksa. istirahat aja nanti juga sembuh sendiri" kataku, aku paling malas jika harus diperiksa dan diberi obat. bukan karena takut minum obat, tapi aku terlalu lelah berurusan dengan obat-obatan. sebisa mungkin aku menghindar dari kata obat.
"ok, kalo itu mau kamu, yang penting jangan tambah parah. aku gak mau direpotin kamu" kata dave, aku menghela napas, bingung dengan dave, dia sebenarnya peduli denganku atau tidak sih? normalnya kalau dia peduli, dia akan memaksaku pergi ke dokter demi kesembuhanku, tapi dia.... ah aku lupa, dia kan memang tidak terlalu normal.
"kamu gak kerja?" tanyaku. tiba-tiba wajahnya berubah kesal, apakah ada masalah dengan pekerjaannya.
"gak, capek" jawab dave asal.
"kalo gitu kamu coba duduk sini" kataku sambil menunjuk bagian kursi yang masih kosong di depanku.
"buat apa?" tanya dave.
"duduk aja...." kataku sambil menarik dave agar duduk di depanku. dia tidak protes, kuambil handuk dave dan mulai menggosok kepala dave sambil menyertakan pijatan, dave menutup mata, tampak menikmati pijatanku. "enak?" tanyaku, dave mengacungkan jempolnya. aku tersenyum, baru kali ini dave memuji apa yang kulakukan.
"dulu kalo kebetulan papa gak sibuk sering minta diginiin sama aku, sekarang kamu yang dapet kehormatan dipijit sama aku" kataku.
"oh ya? bukannya harusnya kamu yg merasa terhormat karena bisa nyentuh kepalaku" balas dave, aku mensorong kepalanya pelan.
"gak usah sok deh jadi orang, emangnya apa yg bisa dibanggain dari kamu?" ujarku.
"banyak, aku pinter, aku ganteng, aku kaya, aku...."
"ya ya ya.... kamu emang sempurna, gak kaya aku yg serba kurang ini" kataku sebelum dave lebih menyombong lagi, dia diam dan tersenyum tipis, dasar. huft, memang benar sih apa katanya, minus sifatnya yang buruk itu dia bisa dibilang sempurna, tidak seperti aku yang tidak ada apa-apanya ini. Mendadak aku merasa tidak pantas berada di sisi dave, mungkin Arin memang lebih pantas untuk dave dari aku, dia cantik, dewasa, penyayang, dan entahlah, aku tidak mengetahui apapun tentangnya, tapi aku yakin dia memiliki banyak kelebihan lain yang tidak ku ketahui, aku tidak kaget jika dave sampai sekarang masih memiliki perasaan padanya walaupun sudah ada aku disisinya.
"hape kamu bunyi tuh, kataku pada dave yang sepertinya terlalu menikmati pijatanku sampai tidak sadar handphone nya berbunyi.
dave menatap layarnya, tertera nama diego disana. aku memang tidak bisa melihat wajah dave, tapi dapat kurasakan aura yang berbeda dari dave, dia tidak senang.
"kamu gak angkat?" tanyaku karena dave malah mematikan handphone nya.
"males omong sama orang gak berguna" kata dave dengan nada kesal yang tidak bisa ditutupi.
"kamu berantem sama diego?" tanyaku, dave diam. aku tidak akan kaget jika mereka berdua bertengkar, mereka terlihat sangat dekat, seperti kakak beradik, setiap kali kulihat mereka selalu saja ada hal kecil yang diributkan. tapi kali ini aku mengira, mereka bertengkar bukan karena sesuatu yang kecil.
"kalian berantem gara-gara apa?" tanyaku penasaran.
"kamu gak perlu tau, bukan sesuatu yang penting" jawab dave.
"iya, aku tau aku emang terlalu gak penting buat kamu sampe sesuatu yang gak penting aja kamu gak mau ngasih tau aku, apalagi sesuatu yang penting kaya hubungan kamu sama arin" ujarku agak keras, aku sangat kesal.
"ra, aku udah bilang, jangan bahas itu lagi disini" kata dave dingin, membuatku makin kesal.
"kenapa gak boleh? sepenting itu ya, cewek itu sampe aku gak bisa nyebut nama dia sembarangan disini?!" tanyaku dengan nada tinggi. dave seketika membalik badannya lalu mendorong leherku dengan tangannya hingga aku terbaring di kursi, gerakan yang terlalu mendadak hingga aku tidak sempat untuk berteriak, dan kini aku kesulitan bernapas.
"udah kubilang, gak usah bahas-bahas masalah kemarin disini, kalo udah saatnya kamu juga bakal aku kasih tau, paham?!" kulihat sosok dave yang mengatalan itu dengan nada dan tatapan yang dingin, membuat bulu kudukku meremang, dia sangat menakutkan.
"lepasin" ucapki dengan susah payah sambil berusaha mendorong tangan dave.
"aku bakal lepasin kalo kamu emang paham sama omonganku" gila! dia mengancamku? yang benar saja, manusia apa-apan dia? masa mengancam istri dengan cara seperti ini?
"iya, paham! lepasin!" dave melepas cekalannya, aku memutar tubuhku kesamping dan batuk-batuk hingga air mataku keluar. dave berdiri mengamatiku tanpa ekspresi, tak ada perasaan bersalah ataupun niatan minta maaf padaku, benar-benar seperti dave saat awal kami bertemu.
"kamu, uhuk, kamu jahat ba....uhuk banget!" ujarku kesal.
"itu hukuman buat orang yang gak paham-paham kaya kamu" kata dave angkuh, dasar menyebalkan.
"terserah, tapi kuharap kamu gak lupa sama kata-katamu tadi, kamu harus jelasin ke aku siapa arin sebenarnya dengan mulut kamu sendiri, aku gak akan nyari rau siapa dia, aku tunggu kamu omong sendiri" kataku lalu pergi dari hadapan dave menuju kamar mandi lalu memuntahkan isi perutku. cekikannya benar-benar sakit, apa dia gila? aku benar-benar bisa mati!