Seorang laki-laki mengetukkan jari-jarinya di atas meja kaca, rambut pirangnya itu terlihat bersinar tertimpa sinar matahari, dari waktu ke waktu ia menghela napas, jam pasir yang ada di depannya itu sudah dua kali dibolak-balik, membuat yang melihatnya merasa bosan.
"Aku tidak bisa diam saja seperti ini." Laki-laki itu, Arthur mendengkus, ia menegakkan tubuhnya dan menatap lembaran kertas yang menggulung. "Aku pikir aku harus pergi."
"Apa kau sudah gila?"
Seorang wanita memakai terusan gaun berwarna merah mengetukkan jari telunjuknya pada gelas teh. "Kota itu adalah sarang monster, ke sana sama saja mengantarkannya nyawamu!"
"Tapi aku tidak bisa membiarkan Leo terbebas dari semua kekacauan itu, posisiku akan terancam di mata Ratu!"
Arthur berdiri dengan gelisah, ia adalah orang kepercayaan Ratu, tapi entah kenapa ia merasa posisinya mulai tergeser.
"Aku pikir, Ratu sudah mencurigaiku sedikit demi sedikit."
"Tidak mungkin." Wanita yang duduk di depan Arthur itu langsung membantah, ia meletakkan sendok ke atas piring kecil. "Kekacauan di kota Dorthive sudah berlangsung selama lima tahun dan Ratu tidak pernah berhasil mengirimkan seseorang untuk menyelamatkan Marquis Leo."
"Kau tidak mengerti, wanita ini … latar belakangnya sulit." Arthur mengambil sebuah dokumen dan membukanya tepat di depan sang wanita, tampak ada beberapa poster lama dari panggung teater Renee yang pernah populer di masanya.
"Ia hanya aktris."
"Tidak, dia tidak hanya sekadar aktris teater." Arthur dengan cepat menggelengkan kepalanya, keningnya berkerut, penuh dengan rasa kesal. "Aku sudah memeriksanya, data dari keluarga Ayahnya bisa aku dapatkan dengan mudah, tapi dari pihak Ibunya aku sedikit kesulitan."
"Apa maksudmu? Tidak ada yang sulit di kerajaan ini dicari, semua data bisa kita temukan di arsip kerajaan." Wanita itu mendengkus, ia tampak tidak senang mendengar keluhan demi keluhan yang keluar dari mulut Arthur, mungkin baginya itu hanya omong kosong.
"Tidak, aku sudah memeriksanya tujuh sampai sembilan kali." Arthur menggertakkan gigi, menahan perasaan jengkel. "Pihak Ibu dari Lady Renee, bersih."
CLANG!
Wanita itu menjatuhkan sendok teh yang ia pegang, kedua matanya membulat penuh ketidakpercayaan.
"Tidak mungkin, bukankan orang-orang itu seharusnya sudah mati?"
"Kau tidak percaya juga, kan? Aku awalnya tidak bisa mempercayainya, tapi semakin aku melihat bagaimana Ratu sangat mendukung semua hal agar Renee bisa pergi ke kota Dorthive, aku menjadi yakin."
"Heh …."
Wanita itu kemudian menatap lembaran kertas yang berisi beberapa gambar orang di dalamnya, matanya yang sewarna batu ruby itu menyipit.
"Aku akan pergi ke sana." Arthur menggerakkan rompi pakaiannya, ia tidak bisa membiarkan begitu saja wanita itu mengacaukan semua yang telah mereka rencanakan dari lama. "Aku tidak akan bisa membiarkan Lady Renee membebaskan Leo."
Arthur tidak tahu seperti apa Renee, ia tidak pernah melihat wanita itu secara langsung kecuali dari poster dari panggung teater, itu pun sudah tua karena Renee tidak pernah lagi menjadi aktris utama dalam beberapa tahun terakhir.
"Aku mengerti," kata wanita bergaun merah itu pada akhirnya dan tangannya terulur menyentuh bahu Arthur. "Apa kau ingin aku melakukan sesuatu?"
Wanita bergaun merah itu menempelkan dadanya ke punggung Arthur, ia tersenyum genit dan bibirnya merah mengkilap terkena air teh dan napasnya mengeluarkan aroma melati yang kuat.
Arthur memegang tangan wanita itu yang melingkari pinggangnya, ia mengeluarkan beberapa koin emas dari sakunya pada wanita itu, bunyi denting koin yang saling bertabrakan terdengar di ruangan yang sunyi.
"Aku punya rencana yang bagus, aku ingin kau menemukan seseorang yang berguna untuk membantu kita."
"Apa pun untukmu." Wanita itu terkekeh, menggesekkan wajahnya seperti anak kucing yang haus belaian. "Berapa lama kau akan pergi?"
"Aku tidak tahu, mungkin sampai aku berhasil mengubah pikiran Lady Renee."
Wanita itu terkekeh dan mendongakkan kepalanya menatap Arthur, matanya menyipit penasaran.
"Bisakah kau memberitahuku bagaimana caranya mengubah pikiran Lady Renee?"
Arthur berbalik, lalu mengusap wajah wanita itu dengan lembut, matanya yang berwarna biru itu memicing.
"Pertama mari lakukan dengan lembut."
Wanita itu tidak berbicara, tapi ia tersenyum dan wajahnya memerah.
"Kalau itu tidak berhasil, maka kita akan cari cara kedua." Arthur membungkukkan tubuhnya dan berbisik, jari-jarinya yang kasar itu meluncur turun ke leher sang wanita, membelainya dengan pelan. "Apakah kau tahu, apa itu cara kedua yang akan aku lakukan?"
"Hm … entahlah …." Wanita itu bergumam lagi, ia bergerak dengan tidak nyaman dan tangan kanannya terangkat ingin menghentikan tangan Arthur. "Mungkin sesuatu yang menggairahkan dan kasar?"
Arthur menyeringai, rambut pirangnya itu berkilauan tertimpa sinar matahari yang perlahan mulai meredup dari jendela yang terbuka, matanya yang tadinya terlihat panas membara, sedetik kemudian berubah.
BRAK!
"Ahk!"
Tubuh sang wanita terhempas ke dinding, diikuti dengan sinar matahari yang terhalang oleh tirai yang tiba-tiba saja jatuh, beberapa hiasan yang ada di sekitarnya bergetar, wanita itu dengan panik meraba lehernya.
"Arthur … apa yang … akh …." Wanita itu berusaha meronta, entah kenapa ia merasakan bahwa tangan Arthur yang mencengkeramnya itu bukan lagi tangan manusia, tapi berubah membesar dan dipenuhi dengan duri.
"Arthur, kenapa …."
Wajah Arthur tidak terlihat jelas karena tirai jendela yang menghalangi sinar matahari, tapi mata yang berwarna biru itu terlihat perlahan-lahan diselimuti bayangan hitam yang mengerikan.
"Caraku seperti ini," bisik Arthur lagi untuk yang kedua kalinya, ia menyeringai puas melihat bagaimana tubuh wanita itu gemetar ketakutan. "Aku akan membuatnya ketakutan, mengoyak leher dan menghancurkannya sampai hancur lebur, sampai tidak ada lagi bagian tubuh yang tersisa dengan kedua tanganku."
Arthur terkekeh, ia melepaskan tangannya dan tubuh wanita itu langsung merosot jatuh ke lantai.
Sang wanita terengah-engah dan tangannya yang mulai gemetar itu menyentuh leher, merasakan aliran hangat yang mulai merembes mengenai pakaianya.
"Apakah kau percaya dengan apa yang kukatakan?" Laki-laki itu terkekeh, angin berhembus dan tirai yang menutupi jendela mulai tersingkap.
Wanita itu membulatkan mata dan langsung menutup mulutnya dengan erat, tangan Arthur terlihat membesar dan runcing, lengan bajunya terkoyak dan warna kulitnya berubah menjadi hitam, tetesan darah mengalir melalui kukunya.
Wanita itu terhenyak dengan tubuhnya yang gemetar hebat, ia perlahan mulai mendongak dan merasa kesulitan untuk bernapas.
Arthur mendengkus, perlahan tapi pasti tangannya kembali berubah kembali seperti sediakala, tangan manusia yang ternoda darahnya.
Laki-laki itu mengambil saputangan dan segera membersihkan dengan mata yang tak lepas dari sang wanita, seperti mata sang pemangsa.
Sang wanita menelan ludah, seakan sudah mendapatkan sebuah rahasia yang membuatnya berada di antara hidup dan mati, bibir merahnya itu bergetar dengan hebat. "Arthur kau … kau … kau … juga … monster?"