Wanda kembali ke rumah makan Populer dengan wajah kesal, sebab pada akhirnya ia tidak bisa bertemu dengan Khansa dan memastikan kalau Khansa sudah mempersiapkan uangnya. Namun di rumah makan itu, pekerja yang lain memilih tidak peduli kepada Wanda.
"Arvin?" Salma memanggil Arvin.
"Hm?" sahut Arvin yang sedang berselancar di media sosial.
"Bisa kita bicara empat mata saja? Di sana, di kursi kosong itu."
"Boleh, ayo." Mereka berdua lantas menghampiri kursi kosong yang letaknya paling jauh dari pintu masuk dan kasir.
"Ada apa?" tanya Arvin.
"Mungkin ini akan agak sedikit sensitif, tapi aku tahu aku punya hak untuk menanyakannya," ucap Salma.
"Katakan saja, aku akan menjawab."
"Baiklah. Apa ..."
"Apa?"
"Huh." Salma membuang nafas tegang, ia deg-degan untuk menanyakan hal ini kepada Arvin.
"Apa dulu bibi Zemira dan paman Farzin memiliki anak adopsi?" tanya Salma.
Arvin terdiam sejenak. "Ya, kenapa?"
"Tidak apa, aku hanya memastikan."
"Memastikan? Untuk apa?"
"Memastikan ... Memastikan apakah hal itu benar," jawab Salma yang sempat berpikir dulu.
"Oooh, siapa yang memberitahumu? Dan kenapa kau mengatakan kalau pertanyaanmu sensitif?"
"Aku ... Aku ... Aku pernah melihat foto keluarga Dhananjaya ketika kalian masih kecil, dan ada satu anak perempuan yang tergabung di dalam keluarga kalian, dan aku langsung menduga kalau itu adalah saudara angkatmu, kupikir dia sudah mati, makanya aku mengatakan kalau pertanyaanku sedikit sensitif."
"Oooh."
"Boleh aku tahu namanya?"
"Jhana, Rinjhana."
"Ok, Rinjhana, bukan Rinjhana Dhananjaya. Ok."
'Karin jujur soal dirinya,' batin Salma.
"Dhananjaya adalah nama keluarga kami, jika anggota keluarga kami hanya disebutkan nama depannya saja, sudah pasti dia memiliki nama belakang Dhananjaya," ujar Arvin.
"Bukan karena terjadi sesuatu padanya?"
'Huh, ups, pertanyaanku terlalu melebar,' pikir Salma.
"Kau rasa bagaimana?" Arvin bertanya balik.
"E-entahlah," jawab Salma.
"Yasudah. Ada yang ingin kau tanyakan lagi?"
"Tidak."
"Ok, aku akan kembali ke kursiku." Arvin lantas meninggalkan Salma.
"Jika semua cerita Karin benar tentang dirinya, maka reaksi Arvin memang seharusnya seperti ini. Dia terlihat sangat membenci Karin yang asli," gumam Salma.
Di mansion Dhananjaya, Fina yang sudah pulang sekolah, secara tidak sengaja berpapasan dengan Dina di halaman depan. Dina tampak canggung ketika berpapasan dengan Fina, apa lagi hanya ada mereka berdua di situ, semakin menambah rasa canggungnya, mengingat terakhir kali mereka berbicara, ia membuat Fina menangis. Sementara Fina kali ini terlihat biasa saja.
"Hai, kak Dina," sapa Fina.
"H-hai," balas Dina. 'Dia sudah melupakan bagaimana aku membentaknya?' batinnya.
"Lama tidak berbicara, ya? Kakak semakin sibuk saja," ujar Fina.
"Y-ya."
"Ada apa? Apa kakak memiliki masalah?"
"T-tidak, tidak."
"Baiklah, aku pergi ke kamar kak Tantri dulu, ya."
"Ok, ok." Dina lalu membiarkan Fina berjalan menuju kamar Tantri, namun ketika gadis kecil itu masih setengah jalan, Dina menahannya.
"Ada yang ingin kukatakan padamu," ucap Dina.
"Hm? Apa?" tanya Fina yang kini menghadap ke Dina.
"Aku minta maaf soal lima hari yang lalu. Dengar, aku tidak bermaksud begitu, a-aku tahu aku berkata seperti itu dan pastinya aku bermaksud seperti itu, sudah tidak salah lagi, tapi sebenarnya aku tidak bermaksud begitu," kata Dina.
"Astaga, hahahaha. Kakak masih memikirkannya?"
"Tentu, aku merasa sangat bersalah."
"Tidak apa, lupakan saja. Lagi pula, aku dan Shirina sedang berusaha untuk berdamai demi mendapatkan hadiah dari paman Isa nanti."
"Apa? Bagaimana maksudmu?"
"Tanya saja pada paman Isa, padamu dia akan menjelaskan secara rinci, tidak akan serinci padaku dan Shirina pastinya." Fina lantas melanjutkan langkahnya sembari tersenyum.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Dina.
Sementara itu, di kamarnya, Raya mengirim pesan ke Khansa untuk memintanya datang ke mansion Dhananjaya, dan Khansa menjawabnya hanya dengan 'Ok'. Wanita itu pun lalu turun dan pergi ke taman.
Bertepatan dengan Raya yang pergi ke taman, Kevlar pulang dan ia langsung memarkirkan mobilnya ke garasi. Jhana melihat saat mobil Kevlar melewati gerbang dari lantai 3, ia sudah menduga kalau pria itu akan naik ke lantai tempatnya berada sekarang. Dan benar saja.
Jhana memilih cuek dan berpura-pura tidak tahu dengan keberadaan Kevlar yang hanya berjarak 10 meter darinya. Kevlar pun mengernyitkan dahinya dan merasa heran.
"Kau ... Bagaimana bisa?" ucapnya, ia tak habis pikir bagaimana Jhana bisa selamat tanpa berdarah.
"Aku hantu sekarang, kau mau apa? Kumasukkan ke dalam mesin cuci ini?" tanya Jhana.
"Atau sebaiknya kau jangan banyak bicara, Bunga ada di dalam kamar, kau tidak ingin semuanya menjadi jelas di hadapannya, kan?" sambung Jhana.
"Temui aku di hutan dekat kandang kuda nanti," pinta Kevlar.
"Untuk apa? Kau ingin bertanya bagaimana aku bisa selamat? Sudah kubilang aku yang sekarang adalah hantu."
"Itu tidak lucu, temui saja aku nanti."
"Ooh, haruskah aku menurutimu?"
"Kau ingin gambar itu beserta maknanya, kan? Akan kuberitahu padamu nanti." Kevlar kemudian masuk ke dalam kamarnya.
'Apa yang direncanakannya?' batin Jhana. Tak lama setelah Kevlar masuk, Arka muncul dan menghampiri Jhana.
"Arka?" ujar Jhana.
"Kau punya janji padaku semalam," kata Arka.
"Oh, iya, aku akan menepatinya, tapi bukan aku yang akan menjelaskannya padamu."
"Lalu?"
"Lihat ke arah kamar Tuan Kevlar dan Nyonya Bunga selama beberapa menit."
"Dengan begitu aku akan mendapatkan penjelasannya?"
"Tentu saja."
"Ok." Arka lantas melihat ke arah kamar Bunga dan Kevlar. Selang beberapa menit, ia masih tetap dalam posisi yang sama.
"Ini tidak membantu, aku tidak dapat apa-apa," ucap Arka.
"Tunggu saja beberapa saat lagi." Jhana meyakinkan Arka. Kemudian keluarlah Kevlar dari kamar itu melihat mereka berdua.
"Itu jawabanmu," ujar Jhana pada Arka.
"Apa maksudmu?" tanya Arka.
"Tuan Kevlar mengetahui segalanya, jadi tanyakan saja padanya, bahkan yang dia tahu lebih rinci dariku."
"Hah? Kau serius? Tapi dia yang mendorongmu semalam."
"Hmm, Tuan. Arka melihat 'itu' semalam, bisakah anda menjelaskan padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi?" ujar Jhana pada Kevlar yang masih melihat mereka, Kevlar lantas mendecih.
"Oh, ayolah, Tuan. Saya sedang sibuk, jadi saya tidak bisa menjelaskannya," lanjut Jhana. Kevlar lalu mendekati mereka.
"Apa yang kau lihat semalam?" tanya Kevlar pada Arka.
"Paman mendorongnya," jawab Arka.
"Dan bagaimana dia bisa selamat?"
Seketika sepasang mata Jhana terbelalak.
"Dia-"
"Hei, Tuan. Keponakan anda bertanya, jawab dulu pertanyaannya, baru anda bisa bertanya balik." Jhana menyela Arka.
"Ya, itu benar," kata Arka.
"Ok, berjanjilah padaku untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun, ya?" ucap Kevlar pada Arka, bocah itu menjawabnya dengan cara mengangguk.
"Ini sebenarnya masalah orang dewasa, tapi, karena kau memaksa untuk mendapatkan penjelasan, maka, baiklah, paman akan menjelaskannya padamu. Kau lihat dia, Karin namanya. Ada satu hal yang harus kau ketahui tentang dirinya: dia bekerja disini agar bisa mendekati paman, dia berusaha merayu paman dan berusaha memisahkan paman dari bibi Bunga. Dan semalam, dia tiba-tiba berada di kamar paman, lalu dia bersikap genit kepada paman, menarik dasi paman dan berjalan mundur sampai akhirnya dia terjatuh. Secara kasat mata memang paman terlihat seperti mendorongnya, tapi pada kenyataannya dia berjalan mundur sambil menarik paman melalui dasi, itu sangat buruk," papar Kevlar.
"Itu sangat menjijikkan," kata Arka.
"Ya, dan paman sudah berusaha memberontak, tapi dia menjadi gila. Berjanjilah untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun, terutama pada bibi Bunga, ya?"
"Ok, sebaiknya aku pergi dari sini." Arka kemudian turun dari lantai 3.
"Dengan mudah kau berbohong dan mengotori namaku, tapi kau harus tahu, jauh lebih mudah bagiku untuk membersihkan namaku dari pada kau mengotorinya," ujar Jhana pada Kevlar.
"Santai saja, aku menyebut Karin di hadapannya, bukan Jhana. Lagi pula jika aku sebut Jhana, dia tidak akan paham."
"Lanjutkan saja pekerjaanmu, pembantu. Aku tunggu kau," sambung Kevlar, ia lalu turun. Jhana memutar kedua bola matanya.
Masih di mansion Dhananjaya, Khansa akhirnya sampai ketika Jhana pergi ke tempat yang dikatakan oleh Kevlar tadi. Khansa pun langsung tahu keberadaan Raya dan menghampirinya.
"Ada apa? Aku tidak memiliki waktu yang banyak, kau tahu aku memiliki kegiatan rutin untuk jalan berdua dengan adik iparmu," ucap Khansa.
"Hahaha, ini belum waktunya bagi dia untuk istirahat, jadi santai saja. Duduklah dulu," suruh Raya, Khansa kemudian duduk.
"Ada wanita gila yang datang kesini tadi dan menanyai alamat rumahmu," sambung Raya.
"Hah?" Khansa terlihat heran, Raya pun menjelaskan tentang Wanda yang datang ke mansion Dhananjaya dengan detail.
"Siapa wanita itu?" tanya Raya usai menjelaskan semuanya dengan panjang lebar.
"Wanda? Kupikir dia sudah menjelaskan siapa dia padamu," jawab Khansa.
"Maksudku, apa urusannya padamu?"
"Kau menyuruhku untuk datang kesini hanya untuk bertanya tentang hal itu?"
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Apa maksudmu menyuruhku datang kesini untuk bertanya hal itu saja? Aku bertanya padamu di pesan ada apa sebenarnya sesaat sebelum aku berangkat, namun kau tidak membalasku padahal kau sudah membacanya, dan ternyata kau hanya ingin bertanya siapa si Wanda itu? Kau ingin menghabiskan bensinku?"
"Santai, kau orang kaya, kan? Tidak usah heboh kalau soal bensin saja."
"Tapi kau sudah membuang waktuku untuk orang yang bahkan tidak memiliki urusan apapun denganmu. Wanda bukan siapa-siapa dan dia hanya rakyat jelata yang tidak penting! Puas kau?!"
"Kenapa kau begitu marah? Kau datang kesini juga memiliki keuntungan, kita bisa mengobrol dan bersantai."
"Lalu kenapa kau tidak datang ke rumahku saja?! Kau berlagak seolah kau lebih kaya dariku! Kau merendahkanku dan berpikir kalau uangmu lebih banyak dariku sehingga kau bisa menyuruh-nyuruhku! Kupikir ada informasi penting darimu, tapi yang kudapatkan ternyata hanya penghinaan!"
"Khansa-"
"Diam! Kau seharusnya sadar, bahwa disini kau hanya menantu, dan suamimu sudah lama meninggal, jadi kau bukan siapa-siapa lagi disini, kau tak jauh beda dari Wanda, kalian sama-sama rakyat jelata yang berusaha menyamai kedudukanku! Penghinaan yang kau lakukan padaku ini tidak akan pernah kulupakan! Aku pergi!"
"Tapi aku hanya ingin tahu apa urusan wanita itu denganmu, ada apa di antara kalian, kalian saling kenal di rumah makan itu, kan? Jadi pasti urusan kalian ada sangkut pautnya dengan Arvin."
"Urusan Wanda adalah denganku! Bukan denganmu! Jadi tidak usah usil! Dan caramu berusaha ingin tahu, benar-benar tidak bisa dimaafkan." Khansa lalu pergi ke garasi dan pergi dari mansion itu.
"Anak ini keterlaluan, di saat dia mencaciku, aku diam, dan aku masih bersikap baik, tapi dia malah semakin melewati batas," gumam Raya.
'Gadis kecil ini perlu tahu siapa aku sebenarnya,' batin Raya.
Raya dan Khansa pecah nih ...