Begitu Velina selesai berolahraga, sudah hampir jam 8 pagi. Eyang dan kakaknya sudah duduk menunggunya di meja makan. Sesibuk apapun bisnis mereka, Eyang mereka mewajibkan mereka untuk selalu makan bersama, minimal makan pagi. Ayah dan adiknya tidak terlihat. Eyangnya memberitahunya jika ayahnya sedang ada negosiasi bisnis di Singapura, dan akan pulang nanti sore untuk memeriahkan pesta ulang tahunnya. Sementara Nadine, adiknya sudah pergi ke kantor pagi-pagi buta. Semalam adiknya pulang sangat larut, sehingga mereka belum sempat bertemu sama sekali.
Suara barang-barang dipindahkan terdengar, namun, para pekerja berusaha sebaik mungkin meminimalkan pembicaraan mereka agar tidak mengganggu mereka yang sedang sarapan. Keluarga Velina mungkin terlihat hangat, tapi bagi orang-orang di luar keluarga mereka, para pekerja itu tahu seberapa kejam keluarga Velina jika ada orang yang berusaha mengganggu mereka.
Setelah selesai sarapan, Velina sibuk dengan laptopnya, melakukan video konferensi dengan para anak buahnya, termasuk Jun dan Jena.
Eropa dan Amerika merupakan pasar yang sangat bagus untuk menjual senjata-senjata ciptaan mereka, sementara di negara Vanesia, penggunaan senjata api dilarang, hanya jenis-jenis tertentu dan kalangan-kalangan tertentu saja yang boleh menggunakannya.
Jena tampak mengantuk, karena di Eropa sana, masih sekitar jam dua malam. Velina melirik Jena yang menguap, mengerti jika ia sangat kelelahan. Tak berapa lama, setelah semuanya memberikan laporan mereka, Velina mematikan laptopnya, berjalan ke arah ruang kerja eyangnya.
Dia mengetuk pelan ruang kerja eyangnya, yang disambut dengan hangat. Velina lalu masuk dan melihat eyang yang sedang bermain catur sendirian.
"Kok main catur sendirian? Marino dimana, eyang?" tanyanya sambil memindahkan sebuah biduk catur.
"Dasar cucu tak berbakti! Marino tak mau bermain denganku karena aku selalu kalah melawannya!" dengus Eyang gusar sambil asal memindahkan biduk catur.
Velina tersenyum lebar. Dia tahu meskipun eyang sering sekali memarahi dan mengata-ngatai Marino, beliau sangat menyayanginya. Hanya saja, eyang Velina memang bukan orang yang bermulut manis.
Dia memindahkan sebuah biduk catur lagi. Kali ini senyumnya semakin lebar. "Marino benar, eyang main sendirian saja kalah, apalagi melawan Marino yang juara satu se-Vanesia" Velina tertawa, melihat wajah eyangnya yang semakin mendengus kesal.
Setelah itu, Velina pamit pergi. Dia ingin mengunjungi butik temannya untuk fitting gaun untuk malam ini. Temannya sempat marah-marah di telepon ketika Velina dadakan memintanya untuk membuatkan gaun yang akan dipakainya di pesta perayaan ulang tahun kakeknya. Fanny, temannya ini sudah menjadi desainer internasional yang sering memenangkan kejuaraan fashion dunia. namanya turut mengharumkan Vanesia, yang memiliki banyak sekali orang-orang kreatif yang terkenal di dunia seni.
Tak lama kemudian, Velina sampai di sebuah butik yang terletak di sebuah Mall elit yang mewah. Orang biasa tak akan berani memasukinya, karena melihat harga barang-barang yang terpampang disana saja sudah membuat mereka terkena serangan jantung. Apalagi jika mereka menyentuh barang-barang disana dan tak sengaja merusaknya, mungkin mereka tak akan sanggup menggantinya meskipun telah bekerja seumur hidup mereka, atau mungkin mereka harus menjual organ-organ tubuh mereka untuk menggantinya.
Mall itu masih sepi, mungkin karena baru jam 10.30 pagi. Seorang pramuniaga menyambutnya, karena bos-nya sudah memberitahunya jika Velina akan datang dan ia pun segera membawanya ke sebuah sudut VIP dimana ia sudah menyiapkan teh dan camilan ringan untuknya.
"Harap tunggu sebentar, nona Fanny sedang menyelesaikan gaun anda" ucapnya sopan sambil tersenyum dan berdiri tak jauh darinya.
Merasa bosan, Velina berdiri untuk melihat-lihat isi butik temannya itu. Pandangannya terpaku pada sebuah gaun berwarna biru gelap. Namun, belum sempat dia menyentuh gaun itu, sebuah tangan segera mengambilnya terlebih dahulu, "maaf, siapa cepat, dia dapat!" ujarnya sambil tersenyum mengejek pada Velina. Gadis cantik di hadapan Velina memandanginya dari atas sampai ke kaki. Velina yang saat itu hanya mengenakan kaus putih, celana jeans biru dan converse putih, terlihat sangat sederhana.
"Meryl?" tanyanya sambil mengerutkan kening. Gadis di hadapannya masih dengan senyum mengejeknya.
"Ya, aku Meryl. Kalau kau sudah tahu siapa aku, enyahlah!" ujarnya sinis.
Velina semakin mengerutkan kening. Lalu, dia tertawa terbahak-bahak. 'Gadis ini lucu sekali' pikirnya dalam hati. Dia semakin mantap untuk menjalankan rencananya.
Seorang wanita gemuk, yang merupakan asisten Meryl, menatapnya dengan kesal. "Hey! kau tahu siapa Meryl? dia adalah pacar pemilik Val Capital! jadi menyingkirlah sebelum kau terluka!" ucapnya kasar.
Velina tak berhenti tertawa. Pemilik Val Capital adalah kakeknya. Sementara Ayahnya, yang bekerja sebagai Presiden Direktur, menggantikan kakeknya mengatur manajemen di perusahaannya. Sedangkan untuk membuat keputusan terpenting, ayahnya akan tetap meminta keputusan kakeknya.
"Baiklah, ambil saja. Aku tak begitu tertarik, kok!" jawabnya sambil menggelengkan kepalanya, kembali ke sudut dimana camilannya berada.
Tak berapa lama, sebuah pintu yang tersembunyi di belakang dinding kaca terbuka.
"Kuda Nil" sapa seorang gadis muda, terkejut melihat Velina yang sedang asik duduk sambil menikmati tehnya. ditangannya, ia membawa sebuah gaun berwarna merah anggur dengan sangat hati-hati.
Dalam sekali pandang, Velina sudah sangat menyukai gaun itu. Dia tersenyum lebar, berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri gadis itu, "Hai Kangguru! aku kangen banget sama kamu!' sapanya sambil mencium kedua pipi gadis itu sambil memberinya senyuman hangat dan memeluknya.
Hayooo tebak, siapa yang udah nggak sabar nungguin face-slap party?
muahahahahahaha
*Tersenyum meledek ala Velina