Hari minggu itu sekolah tampak ramai. Tak satu pun guru yang tahu mengenai kegiatan hari ini dan Katerina sudah membujuk Pak Usman untuk merahasiakan hal itu juga.
Di depan gerbang Nita dan Nicky menjadi penerima tamu yang menunggui pintu masuk. Siapa pun yang masuk harus memasukkan uang seribu rupiah ke dalam kotak.
Mereka sangat gembira karena selain murid-murid SMP Matahari, banyak juga orang luar yang datang menonton, hasil promosi cuci mobil kemarin. Acara mereka adakan di dalam aula dengan kunci yang dipinjamkan oleh Pak Usman.
Pertama kali mereka mementaskan drama A Midsummer Night's Dream. Pagi-pagi sekali mereka telah menyiapkan setting-nya sehingga pukul 10 pertunjukan sudah bisa dimulai.
Sara dan Hery memainkan sebagian besar alat musik karena Tri dan Iko bergantian muncul di beberapa adegan sebagai pemain. Tetapi mereka cukup mahir mengambil waktu sehingga musiknya tidak ketinggalan.
Katerina menyaksikan penampilan mereka di antara penonton dan puas sekali dengan hasilnya. Bahasa Inggris yang digunakan cukup sederhana dan naskahnya diadaptasi ulang sehingga kebanyakan penonton mengerti maksudnya. Apalagi ternyata Nicky dan Neill berhasil main dengan sangat lucu sebagai tokoh-tokoh sentral dan membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Adegan terakhir, saat keenam orang desa mempertunjukkan drama mereka di hadapan pangeran, mengundang applause penonton meriah sekali. Akhirnya tibalah saat Nicky masuk panggung membawa sapu dan menutup pertunjukan.
"If we shadows have offended, think but this and all is mended..."
-Kalau kami telah menyinggung, mohon dimaafkan-
Mereka semua keluar dan membungkuk bersama.
Sara kemudian muncul dan mengangkat tangannya meredakan tepuk tangan orang-orang. "Acara belum berakhir karena setelah ini kita akan mengadakan Lelang Budak!" Anak-anak SMP Matahari bertepuk tangan gembira, sedangkan orang-orang luar tampak kebingungan. "Sementara itu buat yang lapar atau haus, kami menyediakannya di stand belakang kalian...harganya terjangkau dan oke punya."
Yang pertama naik ke atas panggung adalah Hery, ia duduk di pinggir dan memainkan harmonikanya sebagai musik pengiring.
"Maksud lelang ini adalah mencari dana untuk biaya pementasan drama kami ke Jakarta. Semua orang yang laku di sini akan menjadi budak pembelinya—eits! Cuma dalam batas-batas yang wajar, lho... misalnya diajak nemenin jalan-jalan harus mau, disuruh ngebawain barang-barang, disuruh-suruh ke kantin ato apa, kek... boleh aja! Nah orang pertama yang kami tawarkan adalah... Hendry!"
Hendry maju membawa bola Basket dan dengan keren sekali mendribblenya di panggung, lalu membungkuk pada penonton dan tersnyum manis sekali.
"Hendry ini jago olahraga, apalagi Basket, bisa diminta jadi pelatih Basket pribadi selama seminggu, atau dijadiin bodyguard karena badannya tinggi besar... disuruh ngangkat-ngangkat barang juga oke... Ada yang mo pindahan, nggak? Lumayan, lho..." Sara tertawa, "Oke... tawaran dibuka dengan lima puluh ribu!"
Seorang anak laki-laki mengangkat tangan. Wajahnya tampak tersenyum jahil.
"Ada yang menaikkan tawaran?" tanya Sara lagi.
"Enam puluh ribu!"
"Tujuh puluh ribu!"
"Tujuh puluh lima!"
Tawaran demi tawaran terus mengalir dan akhirnya Sara mengetuk palu pada penutupan seratus lima puluh ribu rupiah. Hendry terjual pada seorang anak perempuan pendiam dari kelas 2 yang tampaknya menaruh perhatian khusus padanya.
Berikutnya adalah Nita. Ia menarik banyak perhatian orang karena ia memang cantik sekali, terutama dengan kostum Titania yang masih ia pakai. Tawaran dimulai dari lima puluh ribu. Banyak sekali tawaran naik tetapi akhirnya yang mendapatkan Nita adalah sahabatnya dari kelas A.
Katerina curiga Nita sengaja menyuruh Lidya untuk membeli dirinya, malah mungkin dengan uang Nita sendiri. Hal itu membuatnya tersenyum sendiri karena teringat 10 tahun lalu Chris juga berbuat curang dengan meminta Katerina membelinya di lelang budak.
Lelang demi lelang dilakukan dan anak-anak 3C bisa puas melihat hasil penjualan yang sangat menarik. Nikita dijual paling mahal pada segerombolan cewek dari kelas 3 yang ribut sekali. Mereka segera mengerubungi tangkapannya dan mengajaknya menemani ke mal segera setelah lelang. Tapi Sara dengan tegas mengatakan pekerjaan baru dimulai esok hari di sekolah, dengan kecewa mereka mundur.
Giliran Neill tiba. Ia naik ke atas panggung dan membungkuk dengan jenaka, kali ini tampil dengan rambut panjangnya.
"Berikutnya adalah Neill... Dia adalah seorang cowok keren yang bahasa Inggrisnya jago banget, kamu bisa minta diajarin sama dia... Orangnya lucu banget dan buat kamu-kamu yang yang lagi bete lebih baik nyoba ngobrol sama dia daripada nyoba drugs, oke... Lalu..."
Belum sempat Sara menyelesaikan kata-katanya, terdengar suara seruan dari tengah penonton yang mengganggu...
"Hei..! Dia itu kan pembunuh...!!"
Semua orang terkejut memandang ke asal suara itu.
"Apa kamu bilang?" tanya Sara tajam, "Jangan coba-coba merusak acara, ya!"
"Gua ngomong bener... Gua kenal dia di Jakarta. Dia itu pembunuh! Kalo nggak percaya coba cek ke sekolahnya yang di sana..."
Sara, Katerina, dan semua orang menatap ke arah Neill, tetapi panggung sudah kosong. Anak laki-laki itu telah berlari kencang keluar aula, dan menghilang. Nikita yang terkejut sigap mengejarnya, tapi kemudian ia kembali dengan tangan hampa.
"Kamu bicara apa tadi?" tanya Katerina pada anak yang tadi berteriak, "Coba katakan dengan jelas kejadiannya...!"
Anak itu mengangkat bahu, "Di sekolahnya yang lama dia terkenal berandalan... dan dia punya musuh tetap dari geng kelas 2. Suatu kali dia ngajak anak itu ketemuan di puncak gedung sekolah dan mendorongnya jatuh... Anak itu mati setelah koma di rumah sakit seminggu... Peristiwa itu dianggap sebagai kecelakaan dan dia dibebasin tanpa tuduhan karena ayahnya punya banyak uang..."
Katerina sangat terpukul. Demikian pula anak-anak yang lain. Mereka tak pernah mengira masa lalu Neill begitu kelam di balik sikapnya yang selalu lucu dan ceria.
Acara lelang dihentikan karena masing-masing sudah tak bersemangat akibat kabar itu. Aula pun dibereskan dan orang-orang pulang.
Saat hendak menutup pintu, Katerina menemukan wig di samping aula, wig panjang yang selama ini dikiranya rambut asli Neill. Ia bahkan tak tahu bagaimana tampang asli Neill karena ia selalu menyamarkan dirinya... mungkin untuk menghindari hal seperti tadi...?
Tapi Neill, suatu saat pasti rahasia akan terungkap juga... Mengapa kau tidak jujur dari awal...?
***
Katerina berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk Rio tetapi di sana telah ada dua orang polisi preman yang menunggu.
"Ibu Katerina? Saya membawa berita penting untuk anda." kata salah seorangnya. Katerina menjadi was-was.
"Berita...apa?" tanyanya.
"Orangtua dari anak yang dititipkan di depan rumah Pak Rio sudah kami temukan."
"Oh, ya? Di mana dia sekarang?"
"Ibu bayi itu memang seorang pengidap AIDS dan kemarin baru masuk rumah sakit ini dengan kondisi kritis."
Katerina menekap mulutnya terkejut, "Ba.. bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia sedang sekarat, Bu.... dan terus menerus minta bertemu dengan anaknya..."
Katerina mendesah sedih. Ia segera menelepon mamanya agar membawa Chris ke rumah sakit. "Begitu Chris tiba di sini saya akan membawanya menemui ibunya..."
"Kami akan tunggu di luar." Kedua polisi itu permisi. Tinggallah Katerina di dalam kamar Rio, duduk termenung di sisi pembaringannya dengan sedih. Ia belum berhasil menemukan Laura, dan kini Neill tiba-tiba menghilang. Akhirnya ia menangis di tangan Rio.
"Aku butuh kamu, Yo...kasih tahu aku mesti bagaimana.. Aku nggak kuat sendirian..." Ia menangis terisak-isak lama sekali. Tangan Rio sampai basah kuyup oleh airmatanya.
TOK!
TOK!
Mama dan Susan datang bersama Chris. Katerina segera membawa anak itu untuk menemui ibu kandungnya.
"Kalian tolong jaga Rio... aku mau bawa Chris sebentar." Ia menemui kedua polisi itu yang kemudian membawanya melewati lorong-lorong rumah sakit ke sebuah bangsal. Di antara tempat tidur yang berjejer di situ, terbaring seorang perempuan cantik dengan tubuh sangat kurus dan berwajah pucat. Rambutnya keriting panjang indah membalut wajahnya yang tampak kuyu.
"Ibu Donna..." panggil dokter sambil menyentuh bahu perempuan itu. pelan-pelan matanya membuka...dan menatap tepat pada Katerina yang sedang menggendong Chris.
"A.. anakku... anakku sayang... kamu baik-baik saja...?" bisiknya lemah.
Katerina mendekatkan Chris agar bisa dijangkau oleh tangannya yang lemah. "Dia baik-baik saja... Dia sehat..."
"Syu...kurlah..." Donna tidak memegang Chris, melainkan tangan Katerina,
"Tolong...jagalah...anak..saya..baik-baik... Jagalah dia...seperti anakmu sendiri..."
Katerina mengangguk pasti, "Saya berjanji."
"Te..ri..ma..kasih.." Dengan ekspresi kesakitan perempuan itu mencoba terenyum...lalu kepalanya tergolek ke samping.
Katerina membawa Chris cepat-cepat dari situ. Ia tak ingin Chris merekam kejadian itu dalam ingatannya... kejadian mengerikan saat menyaksikan ibu kandungnya meninggal di depan matanya sendiri...
Ia tidak akan mencari tahu apa pun tentang perempuan itu. Latar belakangnya, pekerjaannya, atau apa pun... Ia tidak ingin tahu, biar tak usah menceritakannya kelak bila Chris dewasa...
Itu... bila Chris bisa tumbuh dewasa...
Katerina masuk kembali ke kamar Rio dan menyerahkan Chris pada Susan. Ia menyuruh mereka pulang sementara ia sendiri akan menjagai Rio sampai malam. Sebenarnya ia mau menangis sendirian.