Descargar la aplicación
3.07% KARASU / Chapter 7: BLONDE BUNNY

Capítulo 7: BLONDE BUNNY

Aku masih terduduk di tepian atap gedung, berkutat dengan angin semilir yang datang dan pergi tidak konsisten. Gagak-gagak yang bertengger di sekitaranku sudah seperti kawanan bagiku, mereka seakan berceloteh, bercanda tak sedikitpun terganggu. Tanganku pelan mengelus dada. Rasa sakit disana yang tak bisa ku jelaskan masih terasa sejak bibi itu ku hentikan kehidupannya.

Ayolah!... dengan gusar aku membuka lembar demi lembar The Book of Joker. Tanganku terhenti di sebuah halaman yang fotonya masih belum aku coret dengan spidol merah, foto seorang pemuda dengan rambut pirang. Hari ini, aku ingin sekali bermain-main. Semoga saja rasa tidak nyaman yang kurasakan bisa hilang.

Yah semoga saja.

Langit malam ini begitu terang, bulan sedang penuh dan bintang-bintang bertaburan. Sebuah pertanda akan ada pertemuan yang indah. Aku membayangkan wajah pemuda itu, berpikir.. dimana bisa bertemu dengannya sekarang juga. Lalu dengan mudahnya aku berada ditempat itu - toko obat. Aku punya sensor yang bisa menemukan seseorang yang ingin aku temui, tolong jangan bayangkan aku punya antena seperti lalat. Aku tidak punya kedua antena itu di kepalaku, kemampuan itu hanya berpusat di dalam pikiranku. Praktis bukan? Ya tentu saja, karena aku Karasu.

Pemuda itu baru keluar dari toko obat saat aku datang. Dia tampak ceria, menyapa seseorang yang bertemu muka dengannya. Aku mengawasi sembari duduk di pembatas jalan, jarakku dengannya hanya 3 meter saja. Tapi, aku yakinkan dia tidak akan menyadari kehadiranku.. tunggu! kenapa dia melihat kemari? Dia terkejut? Lho? Dia berlari kecil kearahku, dan sekarang dia dihadapanku, mencengkram erat lengan bajuku. "Kenapa bisa?!"

"Apanya yang 'kenapa bisa'?" katanya melotot padaku. Seakan aku adalah penjahat yang tertangkap basah

"Kau bisa melihatku?" mataku pelan menatap iris matanya yang coklat terang, begitu jernih. Dia punya mata yang indah. Kalau saja aku manusia biasa, aku akan melebur didalam matanya. Saat ia mengerjap, mata coklat dengan bulu matanya yang panjang bergerak pelan bagai slow motion. Jika aku manusia, aku pasti sudah jatuh cinta.

"Memangnya, kau ninja?! Jelas aku melihatmu. Kau duduk disini sambil terus melihatku. Aku juga melihatmu saat bibi pemilik kedai ramen meninggal, kau pergi begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa, dan semua orang juga seakan tidak melihatmu! Ada yang aneh denganmu!" masih terus melotot melihatku, bicaranya cepat dan suaranya keras. Semua jadi bisa menyadari kami. Aku tidak suka ini.

"'Siapa kau'. Itukah yang ingin kau tanyakan? Naoki hajime?" aku tersenyum, sedikit cara untuk menepis rasa kesal, matanya tambah membola. Genggamannya di kerah lengan bajuku lepas, dia terkejut. Kau tahu? Melihat wajah manusia yang terkejut sangat menyenangkan, apalagi jika dia adalah orang yang paling kau buru.

Dia terdiam masih melihatku dengan sinis dan pandangan-pandangan lain yang tidak aku mengerti, mungkin sedang berpikir. Beberapa menit berlalu, lalu yang dia katakan "Kau, pembunuh bayaran kan?!"

Spontan aku tertawa keras, si bodoh ini. Aku berlalu meninggalkannya yang masih melihatku penuh pertanyaan begitu saja. Dia tidak berniat menghalangiku pergi, jujur saja aku masih ingin berada disekitarnya. bermain-main lebih lama. Tapi, biarlah si kelinci itu aku lepaskan sekarang. Agar aku bisa bermain-main lagi dengannya dilain waktu. Karena menyimpan yang paling favorit untuk disantap saat-saat terakhir itu biasanya akan membuatmu mengingat terus rasanya. iya kan?

***

Naoki menelan beberapa pil sekaligus, dan terdiam memandangi botolnya. Isinya hanya tinggal 5 butir dan itu artinya Naoki harus menebus lagi obatnya. Dia beruntung karena beberapa bulan terakhir dokter hanya memberikan pil, sebelum-sebelumnya ia juga harus menyuntikan beberapa serum obat ke tubuhnya setiap 2 kali sehari. Rasa ngilu yang luar biasa setelahnya akan membekas sampai Berjam-jam. Dia memang sudah pasrah akan hidupnya tapi jika tanpa obat itu rasa sakit yang amat sangat akan mengganggunya.

"Merepotkan... " ia mendesah

Jika penyakitnya kambuh itu akan sangat merepotkan, apalagi ia tinggal sendirian. Meski sebenarnya Naoki bukanlah orang manja yang suka mengeluh. "Sudah tidak ada paman sekarang.. semoga kau tenang di alam sana paman" gumamnya

Ia meraih dompetnya, menuruni tangga dengan buru-buru kemudian menutup pintu rumah tanpa menguncinya, sudah jadi kebiasaan buruk. Baginya kunci adalah hal gaib yang nyata adanya, kenapa? Karena kunci bisa hilang dan muncul dengan sendirinya.

Toko obat hanya berjarak 500 meter dari rumahnya, jalannya santai, beberapa kali ia menyapa tetangganya yang bertemu dijalan. Baginya, berjalan seperti ini pada malam hari membuatnya tenang. Jalanan kota Mita yang tidak terlalu ramai oleh mobil, menjadikan kota yang berada dekat dengan pusat kota Tokyo ini sedikit berbeda.

Yang ia butuhkan sudah di tangan. Wajahnya ceria saat keluar dari toko obat, tapi seketika berubah saat ia menyadari sosok berjubah hitam yang ia fikirkan beberapa hari ini muncul dan hanya 3 meter darinya. Tanpa basa basi, ia melangkah cepat kearah gadis itu-yang juga tampak terkejut. Tangan Naoki reflek menarik kerah lengan gadis itu, matanya melotot marah seakan gadis itulah pembunuh si bibi penjual ramen.

"Kenapa bisa?" gadis itu bicara seakan tak percaya, kecurigaan Naoki makin menjadi-jadi

"Apanya yang kenapa bisa?" mata Naoki lekat melihat mata gadis itu, mata yang redup.. ia menyadarinya. Bulu matanya panjang, meski sipit warna coklat korneanya jelas terlihat. Hanya sedikit orang jepang yang memiliki warna mata coklat madu seperti yang dimiliki gadis itu. Kulit wajah gadis itu begitu pucat seperti warna kertas. Seakan tidak ada darah yang mengalir di bawahnya.

'cantik' pikirnya.

Naoki terus mengoceh, wajah gadis itu terlihat datar tapi Naoki sadar betul bahwa gadis itu kesal. Ada puluhan pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada gadis aneh itu, tapi sedetik kemudian hilang

"Siapa kau, itukah yang ingin kau tanyakan, Naoki Hajime?"

'Dari mana gadis itu tau namaku?!'

"Kau pembunuh bayarankan?!" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Naoki. Gadis itu tertawa dan pergi begitu saja, Naoki hanya diam dan menyadari betapa bodohnya pertanyaan tadi. Kebiasaan buruknya tidak tertolong. Dia suka sekali mengucapkan kata-kata yang terlintas di otaknya dengan spontan. Pertanyaan tadi itu seharusnya hanya sebuah dugaan yang Tiba-tiba saja terucap tanpa bisa direm.

Dia berhasil mempermalukan diri sendiri. Dan sukses membuat 'si gadis jubah hitam' -setidaknya nama itu yang bisa Naoki pikirkan untuk gadis itu- pergi begitu saja.

Setelah sekian menit ia memaki diri sendiri dalam hatinya, sambil terus berjalan menuju rumahnya. Akhirnya otaknya kembali fokus.

Naoki bukanlah orang terkenal sehingga orang asing bisa tahu nama lengkapnya, data pribadinya hanya dimiliki pihak sekolah dan rumah sakit tempat ia cek rutin. Lantas bagaimana gadis itu tahu? bagaimana ia tahu?

"Gadis itu apakah semacam hantu? dia bisa datang dan menghilang secara misterius" ia bergumam sendiri, tangannya sudah mendorong pagar kayu rumahnya, menyusuri jalan setapak yang terbuat dari beton, menaiki 2 anak tangga kemudian membuka kenop pintunya. Seperti biasa pintunya tidak dikunci.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C7
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión