Hitam. Mataku berwarna hitam legam dan menawan. Tatapanku begitu tajam, beberapa orang yang tidak mengenalku akan mengira bahwa aku sedang berpikir jelek tentang mereka.
Sebenarnya tidak. Seperti yang aku bilang, tatapanku tajam. Itu saja. Aku mungkin cantik, tapi aku tidak memiliki banyak teman karena tatapan 'api'-ku ini.
Aku tinggal di rumah mungil yang cantik dipinggir desa Greyhose. Desa kecil ini dihuni 549 jiwa, dan tanahnya begitu asri sehingga masih banyak tanah kosong dan hutan, baik yang 'ramah untuk bermain' maupun hutan terlarang.
Seperti namanya, Greyhose identik dengan warna abu-abu disetiap sudutnya. Rumah-rumah yang berbaris di Greyhose berwarna abu-abu pucat dengan atap hitam. Cuacanya senantiasa mendung, bahkan saat matahari bersinar terang. Atmosfernya hampir selalu lembab, dan tingkat hujan sangat tinggi. Banyak sekali tanah kosong yang ditumbuhi tumbuhan liar yang tingginya melebihi tinggi badanku. Desa ini sedikit suram, tapi inilah rumah.
Rumahku berdiri di perbatasan Greyhose dan desa sebelah, Desa Rongdill. Tetapi untuk memasuki Desa Rongdill, harus melewati hutan lebat yang katanya memiliki sihir, yaitu Hutan Hela. Walikota Greyhose menyarankan anak-anak Greyhose tidak bermain didalamnya.
Namaku Jen. Senang berkenalan denganmu. Aku duduk di bangku sekolah kelas 9 di SMP Southeast, Greyhose. Bukan anak yang paling pintar, tapi tentu saja tidak bodoh. Aku menghabiskan waktu dengan membaca buku, baik fantasi atau bahkan buku instruksi membuat ramuan dari tumbuh-tumbuhan hutan. Tidak tahu datangnya dari mana, buku itu tiba-tiba saja ada di rak buku kamarku.
"Baik, sayang-sayangku. Ibu sudah menyiapkan 3 sandwich daging dan keju, dan sekarang Ibu sudah terlambat untuk kerja. Makanlah sarapan kalian, dan segera berangkat sekolah. Maaf Ibu tidak bisa antar."
"Tapi Bu, aku tidak mau makan daging. Aku kan veygan." Adikku, Carson menyahut.
"Makan, Carson. Sapi itu tidak mengorbankan dirinya tanpa alasan."
Ibu sudah mencapai pintu depan, dan sebelum beliau membuka kunci mobil, Ibu melihat kita satu kali lagi, dan berkata:
"Jangan tinggalkan bekal kalian."
***
"Hey Carson. Vegan. Bukan veigan. Kau ini bicara apa tadi?" Aku menggeleng pelan. Carson tertawa riang.
"Kau tidak akan punya teman bila terus mengoreksi perkataan orang lain, Jen."
Aku tersedak mendengarnya. Memang selama aku bersekolah, aku tidak punya banyak teman. Hanya satu teman laki-laki, Matt yang menjadi temanku semenjak kecil. Aku bahkan berpikir dia tidak benar-benar ingin menjadi temanku, tetapi hanya tersangkut padaku karena kebiasaan sejak kecil. Aku tertawa kecil untuk membalas sahutan Carson.
"Oke Carson saatnya berangkat."
Aku kembali memikirkannya. Aku tidak dibenci, aku berteman dengan semua orang, hanya saja aku tidak terjalin kusut dalam hubungan pertemanan. Hanya sekedar "Hey apa kabar?" dan tidak lebih. Aku bercerita hanya kepada Matt, Carson dan Ibuku. Tetapi Ibu sudah tidak dapat menjadi teman cerita semenjak Ayah tiada, beliau jadi sibuk bekerja.
Aku menggandeng Carson keluar rumah dan mengunci pintu.
"Matt! Matt! Ayo kita pergi!" Carson berteriak memanggil Matt, yang sepertinya sudah menunggu lebih dari 10 menit didepan rumah.
"Ayo Carsie! Lain kali pukul kakakmu apabila dia makan terlalu lama. Astaga perempuan butuh bantuan mengunyah rupanya"
Aku memasukkan kunci ke kantongku dan melewati mereka berdua.
"Kenapa kau kesini, Matt? Kenapa tidak langsung saja ke sekolah?" tanyaku datar.
"Woah, Carsie. Kakakmu dingin sekali hari ini. Kau apakan dia?" Tidak menjawab, Matt memilih meledekku bersama Carson.
"Aku bilang dia tidak akan punya teman kalau dia selalu mencoba memperbaiki perkataan orang-orang. Dia sangat menyebalkan. Dasar serba-tahu!" Carson menjulurkan lidahnya kepadaku di gendongan Matt.
Matt adalah anak laki-laki sebaya denganku dengan paras yang, yah, lumayan. Rambutnya pendek-tapi-melambai berwarna coklat terang, kulitnya putih dan matanya coklat, tapi kemerahan. Fitur wajahnya terletak begitu tepat sehingga terlihat sempurna di wajahnya yang oval. Tetapi seperti layaknya teman dari kecil, segala ketampanan Matt tertutup dosa-dosanya ketika kita bersama. Matt begitu nakal dan aktif, sedangkan aku lebih pendiam dan tipe membaca buku. Tetapi setiap Matt berulah, aku juga kena batunya.
Matt tinggal di rumah yang jaraknya 5 jalan dari rumahku, yang kadang membuatku heran mengapa dia terus menjemputku dan Carson setiap harinya kalau malah membuatnya berjalan lebih jauh.
"Tidak benar, Carsie. Banyak sekali yang ingin berteman dengan Jen. Coba saja dia tidak membakar orang yang ingin menyapanya dengan tatapan neraka itu."
Matt dan Carson tertawa terbahak-bahak. Aku tidak. Aku berjalan menuruni tangga teras, meninggalkan mereka. Mataku menatap pemandangan Greyhose yang sangat suram.
***
"Dah Carson! Jumpa lagi saat pulang!" Sahut Matt di koridor sekolah.
"Pulang?" Aku bertanya dengan sinis. Matt tersenyum.
"Kenapa, Jen? Aku bisa mengantar kalian pulang. Kalian masih kecil, dan lagi, kalian perempuan. Bukannya aku bilang kalian lemah, ya. Tapi, um, kalian lemah." Matt menjawab dengan tawa kecil terselip di setiap kata.
"Kita bisa pulang sendiri."
"Hey, kau suram sekali hari ini. Biarkan warna-warna musim gugur yang indah ini masuk ke hatimu, Jen. Oh ya, bicara soal musim gugur, Hutan Hela sebelah rumahmu sangat cocok untuk membangun rumah pohon. Kepemilikannya akan menjadi milikku, milikmu dan milik Carson! Bagaimana?" Matt bersemangat.
Aku menghela napas dan duduk di bangkuku. Matt duduk didepanku, dan dia duduk menghadap ke mejaku.
"Hutan Hela? Kita dilarang masuk kedalamnya, Matt. Itu hutan sihir. Dan lagipula, aku tidak bisa membangun rumah pohon. Itu pekerjaan berat." Aku menjawab dengan ogah.
"Kita tidak dilarang masuk Hutan Hela, Jen. Bagaimana kalau kita ingin bepergian ke Rongdill? Lewat Hela, kan? Dan juga, sebenarnya aku sudah mulai membangun rumah pohonnya, dan sudah selesai. Tinggal sedikit pagar pengaman di kanan kirinya, supaya Carsie tidak tiba-tiba loncat dan mematahkan tulangnya." Matt berkata sambil menyeringai.
"Matt, kau masuk ke Hutan Hale?" Aku bertanya.
Tapi Matt hanya meletakkan telunjuk didepan bibirnya berkata sstttt dan menghadap ke depan, dimana guru kami Ibu Blake berdiri.
"Selamat pagi, semoga hari kalian baik. Baik pelajaran hari ini dimulai dengan..."
Dan hari ini, disekolah berjalan membosankan, seperti biasanya.
***
"Suram, Jen?" Matt duduk disampingku saat aku sedang melamun di pelajaran olahraga. "Kau tahu, selama 11 tahun kita berteman, aku jarang sekali melihatmu berwarna."
Cecunguk ini bicara apa? "Apa maksudmu, Matt?" Tanyaku.
"Lihat dia, Eli? Dia sedang menggiring bola, dan GOAAL! Lihat Jen! Dia menang" Matt menunjuk Eli yang sedang melakukan selebrasi ditengah lapangan. Aku mengangguk.
"Aku melihatnya." Jawabku singkat
"Semangatnya, ambisinya, semua itu terlihat merah dimataku. Tidakkah kau setuju?" Matt kembali duduk setelah memberi tepuk tangan untuk Eli.
"Tepatnya dimana kau melihat merah pada Eli, Matt?" Tanyaku. Aku hanya tidak tertarik dengan pembicaraan ini.
"Dia memancarkannya, Jen. Lihatlah Mary yang menatap Bob tanpa henti. Auranya merah muda." Matt kembali menunjuk orang-orang yang dia kenal. "Setelah kupikir lebih baik kau tidak melihatnya. Cukup menjijikan."
Aku tertawa. Kisah cinta memang menjijikan. Matt tersenyum melihatku tertawa. "Tetapi untukmu, tidak ada. Aku tidak melihat warna."
Aku terdiam. Aku tidak kosong, seperti yang Matt bilang. Aku punya perasaan. Aku punya pikiran yang cukup rumit, bahkan sebenarnya aku ingin bercerita tentang peri-peri cantik dan putri duyung yang kutemui di mimpiku. Tetapi, aku memilih untuk menyimpannya sendiri.
Dirumah, aku sering bercerita tentang isi kepalaku yang begitu indah dan magis kepada Ayahku. Ibu ikut mendengarkan, tetapi hanya sebatas itu saja. Sekarang saat Ayah tidak lagi ada untuk mendengarkan ceritaku, aku memilih untuk menyimpannya saja. Karena kenyataannya, tidak ada yang menghargai ceritaku seperti Ayahku.
"Maukah kau mendengar ceritaku, Matt?"
Matt menoleh padaku. Wajahnya datar, dan sedetik kemudian dihiasi senyuman.
"Seingin apapun aku mendengar ceritamu, maaf harus menunggu Jen. Sekarang giliranku di permainan bola." Matt bergegas lari ke lapangan untuk menghampiri pelatih yang terus meniupkan peluitnya.
Sambil berlari, Matt menoleh sekali lagi kepadaku dan berkata, "Aku akan datang untuk mendengar ceritamu!"
***
Matt tidak mengantar kami pulang. Carson sudah menunggu sepuluh menit dan dia mulai merengek.
"Carson kau tidak bisa terus berharap kepada orang lain. Matt juga punya hal yang harus dia urus." Aku berkata dengan kesal.
Carson masih merengek, tetapi kakinya mulai melangkah untuk pulang. Kami sampai di rumah tanpa banyak bicara.
"Jen, Ibu belum pulang." Carson menyadari garasi kami yang masih kosong. Aku membuka kunci pintu dan mempersilahkan Carson masuk.
"Mungkin hanya hari yang sibuk, Cars. Jangan khawatir." Aku berusaha menenangkannya. Sebelum menutup pintu, aku melihat ke seberang rumah, tempat lapangan kosong yang dipenuhi tanaman liar.
"Hari tanpa warna yang sibuk."
***
Carson tertidur di sofa ruang keluarga setelah aku memberinya makan. Untung saja kamarnya berada didepan ruang keluarga, sehingga tubuhnya yang mungil tidak perlu kuangkat jauh-jauh. Masih terlalu cepat untuk tidur, tetapi hari ini hari yang melelahkan, dan Carson sangat sedih Matt tidak datang untuk menemani kami pulang. Aku merapatkan selimutnya dan menyalakan lampu tidurnya.
Jen kecil mungkin tidak seaktif Carson, tetapi Ia punya warna yang dipancarkan. Jen ingat Ayahnya akan terus menyamakannya dengan batu permata, karena begitu putih sehingga memancarkan warna-warna lainnya.
"Kau begitu bersemangat, Jen. Kau dapat riang dengan waktu singkat, kemudian melihat bunga dandelion yang ditiup angin dan merasa penasaran. Saat bunga dandelion itu tertiup, kau merasa senang bahkan sampai berjingkrak. Tetapi setelah semua bunga dandelion itu hilang tertiup angin, kau akan menangis karena sedih." Ayahnya pernah berkata. "Aku harap aku bisa merasakan banyak hal dalam waktu yang singkat seperti itu."
Sedikit yang dia ketahui, bahwa Jen tidak memiliki kemampuan merasa lagi sekarang. Mungkin hampir, tetapi semuanya Ia kubur dalam-dalam. Tidak ada yang perlu Ia repotkan dengan semua perasaannya yang tidak penting.
Jen mengingat Ayahnya dan tidak terasa satu tetes air mata telah jatuh di wajahnya.
"Baik-baik saja?"
Aku melompat terkejut dan mencari asal suara itu. Matt! Bagaimana dia bisa masuk?
"K-kau masuk lewat mana?" Aku bertanya.
"Pintu dapur." Matt bersandar di dinding dan menunjuk pintu dapur. "Serius, Jen. Apakah kau baik?"
Aku berjalan cepat menuju pintu dapur dan menguncinya.
"Wow, cara yang baik untuk menyapa tamu. Gestur mengunci pintu seperti itu seakan-akan berbicara bahwa kau tidak menginginkan kehadiranku, tahu!"
Memang, bodoh. Aku mengusap lintasan air mataku yang masih terlihat dipipiku.
"Aku, uhm, baik-baik saja." Aku berusaha terlihat tidak peduli. "Kau mau apa kesini?"
Matt mondar mandir di sekitar ruang keluarga sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. "Aku berjanji mendengarkan ceritamu. Kau lupa?"
"Aku sudah tidak ingin bercerita." Aku berkata singkat.
"Ayolah Jen, bukan salahku pelatih memanggilku tiba-tiba" Matt meloncati sofa dan mendarat duduk. "Ayo. Aku sudah datang jauh."
Sesungguhnya aku benar-benar tidak tahu ingin bercerita apa. Perkataanku tadi siang benar-benar diluar perkiraan. Kurasa tadi siang aku benar-benar kesepian dan ingin bercerita.
"Matt, ceritaku bukan curhatan hari-hariku." Aku berkata sambil berpikir.
"Baik, apapun itu aku akan dengar."
"Ini kisah Grogo, si Goblin yang mencari jati dirinya."