Laki-laki yang bernama Choco itu, seakan tidak puas dengan ciuman pertamaku. Yah, ciuman pertamaku!
Setelah beberapa menit sejak tadi saling membasahi bibir masing-masing, kemudian dia melepaskanku dengan sedikit dorongan yang kuat.
Ada apa? Pikirku dalam hati.
"Rose! Apa kau tidak pernah berciuman sebelumnya?" dia bertanya dengan nada lembut namun ekspresinya seperti sedang kesal.
Aku mengatupkan kedua bibirku, memalingkan pandanganku darinya. Ya, aku memang belum pernah berciuman sebelumnya. Karena aku selalu takut memulainya, aku selalu di hantui pikiran konyol dari zaman nenek moyang bahwa berciuman akan membuat seorang wanita hamil.
Akh, betapa noraknya diriku ini!
"Buka sedikit mulutmu, agar kau bisa merasakan kenikmatan berciuman denganku, dan aku juga bisa merasakan hal yang sama," ujarnya kembali padaku.
Aku menarik napas sedalam mungkin. Rasa malu, rasa kesal, rasa ingin menghardiknya semua jadi satu. Aku sudah mencoba apa yang dia arahkan untuk berciuman bibir dengannya.
"Emh, baiklah. Ayo, kita coba sekali lagi," sahutku dengan lirih.
"Tolong! Lebih rileks, aku sungguh ingin merasakan manisnya bibirmu ini," ujar Choco sambil mengusap bibirku.
Perlahan aku merangkul lehernya, melingkarkan kedua tanganmu di balik lehernya. Ya, seperti itu kira-kira yang pernah aku lihat di drama hollywood sebelumnya, itupun tidak sengaja aku melihatnya.
Bibir kami mulai bertemu kembali, lembut dan hangat. Choco menarik pinggulku untuk lebih menempel erat padanya.
Aku menuruti arahannya, membuka sedikit mulutku, memejamkan kedua mataku, rileks, tenang, dan berusaha nyaman merasakan hisapan bibir Choco.
"Umh..." desahku tanpa sengaja.
Merasa malu setelah mendesah demikian, aku membuka kedua mataku hendak melepaskan ciuman itu. Namun, sepertinya Choco mengerti dan tak ingin membiarkanku melepaskan diri dari ciumannya kali ini.
Dia menarik leherku, terus melumat mesra bibirku. Sungguh, rasanya ada yang ingin meledak keluar dari ubun-ubunku.
Kenapa begitu nikmat? Apakah seperti ini rasanya ciuman yang sebenarnya? Detak jantungku bergetar hebar, sekujur tubuhku terasa tersengat, aku seperti melayang tinggi jauh di awan.
Semakin lama, kami semakin tak ingin melepaskan ciuman ini. Kami saling mensesap penuh makna, ini sungguh nikmat. Choco mendorongku hingga bersandar di dinding kamar, tubuhku terkunci oleh tubuhnya yang tinggi besar.
Sekejap aku merasa ada seseorang yang mengintip di balik pintu kamar yang perlahan di buka oleh seseorang. Seketika aku sadar bahwa kami sedang berciuman di kamar sepupu Choco.
"Kenapa, Rose?" tanya Choco setelah aku mendorongnya kuat.
Aku memejamkan kedua mata sejenak, mencoba mengatur napas untuk normal kembali.
"Co, ada yang mengintip dari balik pintu itu. Kau lupa kita dimana?" jawabku dengan napas terengah-engah.
"Hihihi... Aku lupa, mungkin kak Janet barusan tidak sengaja ingin memasuki kamar ini."
"Ih, kau ini. Aku kan malu mau keluar kamar sekarang. Kak Janet pasti akan berpikir buruk tentangku," imbuhku dengan mendecak sebal.
Tentu saja, aku malu. Bisa-bisanya aku mau berciuman di kamar kak Janet, orang yang sebelumnya dekat denganku bahkan aku menganggapnya sudah seperti kakakku, yang tak lain juga saudara sepupu Choco.
Ini pertama kali kami bertemu setelah saling kak Janet mengenalkan kami, lantas kami saling jatuh hati tanpa bertatap muka sebelumnya, kami sudah berpacaran selama dua bulan lamanya.
"Aku mau pulang! Aku sudah berjam-jam disini, nanti ibuku marah!" ujarku kembali pada Choco.
"Tunggulah sebentar, my Rose. Besok aku akan segera kembali ke kota, entah kapan kita akan bertemu dan bisa berdua seperti ini nantinya."
"Kau berjanji saat liburan ujian semester kedua nanti, akan kemari dan menghabiskan waktu liburan denganku. Apa kau lupa?" jawabku merengek manja padanya.
Choco tersenyum dan mengecup keningku lalu menurunkan ciumannya sampai di ujung hidungku. Aku tersipu malu mendapat perlakuan mesra darinya ini.
"Baiklah. Aku berjanji, aku akan datang kemari saat liburan di sekolah nanti."
Aku mengangguk tegas tanda mempercayainya. Tanpa banyak kata dan tanya lagi padanya. Aku tipikal wanita yang mudah percaya pada seseorang, terlebih jika dia selalu berkata lembut dan memperlakukanku penuh dengan kasih sayang.
Kami keluar bersamaan dari kamar kak Janet, sepupu Choco. Kulihat kak Janet dan suami saling berbincang pelan duduk bersama di ruang tamu.
"Kak, Rose mau pulang!" ucap Choco memberitahu.
"Ehhem, yakin Rose, kau mau pulang sekarang? Adik kakak ini sudah akan kembali ke kota besok, loh..." sahut kak Janet seperti sedang menggodaku.
"Hehe... Gapapa, Kak. Lagipula, selama dua hari kita bertemu dan bersama disini sudah sangat lebih dari cukup bagiku," jawabku melawan rasa canggung di hatiku. Aku tahu, melihat dari senyuman kak Janet barusan, pasti dia lah orang yang sedang mengintip kami berciuman bibir tadi.
Ah, sungguh memalukan!
"Tapi kalian baru pertama bertemu, loh. Yakin nih, sudah cukup waktu kalian bersama?" sambung suami kak Janet, Ikram namanya.
Aku tersenyum paksa dan sedikit meringis. Ya, aku dan Choco saling mengenal melalui kak Janet yang memberikan nomor ponsel dan ID facebookku pada adik sepupunya itu.
Tadinya, kak Janet sedikit menentang saat kami memutuskan berpacaran dan saling jatuh hati tanpa bertatap muka dahulu.
Cinta itu memang aneh, lebih tepatnya lagi cinta itu buta. Aku jatuh cinta pada sosok laki-laki remaja yang sebelumnya kuketahui dia anak yang cukup populer di sekolahnya. Kami sama-sama duduk di kelas 12 SMA. Bedanya, Choco tinggal di pusat kota. Sedangkan aku, hanya tinggal di perkotaan kecil.
Tapi, orang selalu mengenalku dengan sebutan gadis periang. Aku yang anak tunggal dari keluarga yang sederhana, namun tidak pernah kekurangan kasih sayang dan ayah ibuku selalu memberikan semua hal yang aku butuhkan, termasuk perihal materi dan kebutuhan lainnya.
Ayah sendiri, hanya seorang pekerja buruh biasa. Dan ibuku, beliau wanita yang terhebat. Selalu mengurusku dengan baik, menjadi teman, sahabat, dan kadang seorang kakak untukku.
Tapi, tentang Choco... Kami menjalin status berpacaran secara diam-diam. Karena ibu tidak menyukai sosok Choco saat pertama dia datang ke rumah kemarin.