"aku tidak akan melawan lagi. Aku tidak akan menyebutnya lagi, biarkan dia menjalani hidupnya dengan baik" suara meri memecah ketegangan, mencegah ilham melakukan hal buruk kepada andre.
Persahabatan mereka, akan benar-benar hancur jika ada nyawa yang melayang. Jika andre sampai mengalami masalah, ia kembalipun akan jadi sia-sia. Meri berfikir saat ini, menuruti ilham adalah yang terbaik. Tak masalah jika dia bisa kembali setelah berbula-bulan, maka dia akan tetap kembali kepada andre dan itulah tujuannya.
"apa kau berjanji?" tanya ilham masih menggenggam ponsel di samping telinganya.
"Mmm, aku janji. Sebagai gantinya, biarkan dia hidup dengan nyaman"
"itu pertukaran yang seimbang. Aku setuju. Tapi ingat meri, ini terakhir kalinya aku mempercayaimu jika kemudian hari kau melanggarnya, aku tidak akan mendengarkan perkataan mu lagi. Jadilah wanitaku dan aku akan bersikap baik padamu. Hm" ilham duduk di tepi ranjang dan membuka kedua tanggannya agar meri mendekat dan memeluknya.
Tak ada pilihan lain, meri melakukan apa yang di inginkan pria itu. Dia sungguh ceroboh dengan perkataannya. Ingat ketika dia memarahi rafa dan mengatakan apakah semua pria di sekitarnya hanya sampah. Ternyata itu ada benarnya, laki-laki di pelukannya saat ini seperti apa yang dia ucapkan waktu itu.
Hanya memikirkan bagaimana mungkin ilham mencari cara untuk bisa kembali kepadanya dengan begitu egois membuat meri merasa bersalah. Sahabatnya ini adalah pria tegas tapi dia selalu mengetahui batasannya. Dia akan bersikap dingin saat situasi mengharuskannya dan lembut jika itu yang diperlukan.
Entah apa yang merubahnya menjadi lelaki dingin tak bertoleransi. Ke egoisannya membuat dua hati terpisah dan beberapa orang lainnya merana atas kehilangan meri.
"apa kepalamu sakit lagi?" ilham membelai kepala bagian belakang meri yang masih dalam pelukannya.
"Mmm"
"berbaringlah, biarkan aku yang memeriksanya" ilham membantu meri berbaring miring agar dia mudah memeriksa bagian kepalanya yang kembali terbentur ranjang saat ilham dengan kasar melemparnya ke kasur.
Meri hanya bisa diam menerima perlakuan ilham dan meringis sesekali saat ilham menekan kepalanya pada titik yang terluka. Ilham menarik selimut menutupi tubuh meri dan membiarkan wanita itu beristirahat.
"aku akan tidur di kamarku" meri menyingkirkan selimut ilham dan hendak bangun namun tertahan oleh tangan ilham yang menggenggam lengannya.
"meri, aku tidak akan memaksamu tidur denganku. Aku tidak menyentuh mu jika bukan kau yang merayuku. Aku hanya ingin melihatmu berada di sampingku, tersenyum dan menjalani hari-hari mu bersamaku. Aku tidak akan meminta lebih, bisakah kau melakukannya?"
Meri menatap mata ilham yang berbinar dengan cahaya ketulusan saat mengucapkan keinginannya. Dari matanya sangat nampak bahwa dia begitu merindukan meri yang lemah lembut dan memperlakukannya dengan penuh perhatian. Dia ingin melihat senyum dan keceriaan itu kembali di wajah wanita itu.
Lagi dan lagi, takdir buruk selalu mempermainkannya dengan perasaan bersalahnya. Jika sejak awal dia di takdirkan untuk bersama ilham, mengapa dia harus pergi waktu itu. Jika saja ilham bertahan, mungkin dia tidak perlu di landa ke galauan saat ibu dan ayahnya menentang hubungannya dan andre. Tapi itu tak jauh berbeda dengan ilham yang juga anak dari musuh ayahnya.
Kehidupan damai, tenang dan penuh kebahagiaan selalu saja di renggut darinya dengan cara paksa. Dia bersusah payah membangun dunianya bersama andre dan sekarang hancur karena masalalunya kembali. Betapa buruk takdir mereka bertiga.
Seakan tuhan hanya ingin menghukum mereka bertiga, dunia yang begitu luas namun hanya menjadikannya dan kedua sahabatnya sebagai tokoh utama dalam drama yang dia mainkan. Dia boneka bagi pria yang dulu begitu dia kagumi sebagai sahabat dan pengorbanannya melepas cintanya waktu itu. Namun dia tak benar-benar melepaskan, dia hanya menyusun rencana untuk bisa kembali dan memilikinya dengan cara apapun.
"aku rasa butuh waktu untuk itu, jika kau bersabar hari itu mungkin akan tiba"
"aku akan menunggu dengan sabar. Tetaplah di sini, kau kembali ke kamarmu pun aku akan ikut dan menemanimu" ilham menarik meri agar kembali berbaring di sampingnya. Walau hanya bisa melihat punggung wanita itu, sudah cukup melegakan baginya.
"ilham" panggil meri dengan suara lembut dari balik punggungnya.
"Mmm"
"kepala dan leherku sakit lagi" ujar meri lemah.
"itu karena benturan tadi" ilham memijat lembut kepala dan leher meri yang tepat berada di hadapannya. "apa masih sakit?"
"Mmm" jawab meri dengan bergumam
"cobalah untuk tidur"
"itu sulit"
"apa kau mau aku suntik, itu lebih cepat bereaksi" ilham menawarkannya karena dia tahu meri akan menolaknya.
"tidak perlu, aku akan tidur saja"
Senyum simpul tergambar di wajahnya melihat tingkah wanita di hadapannya itu. Begitu benci dengan jarum suntik tapi bercita-cita menjadi dokter. Pembicaraan ringan di tempat tidur membuat perasaannya begitu hangat. Inilah yang dia harapkan saat memutuskan membawa meri kembali ke sisinya.
Dia sudah berusaha menghindarinya, takdirlah yang mempertemukannya di bandara jakarta. Saat dia melihat meri untuk pertama kalinya setelah dua tahun berpisah, hatinya masih merasakan hal yang sama saat meri menyusul ke jakarta untuk mencarinya.
Awalnya ia berusaha percaya bahwa andre yang ia lihat bersama dengan meri saat itu akan menjaganya, tapi insiden jackob membuatnya geram dan memutuskan akan kembali dan melindungi apa yang harus dia lindungi.
Dia sampai harus bersusah payah menyingkirkan semua suruhan margaret yang mencoba menyakiti meri. Berada di samping andre membuat meri memiliki begitu banyak musuh. Morgan yang mengikutinya selama di omaha bahkan harus merasakan ancaman ketakutan agar tak berani menyentuh meri.
Jika andre akan mengatasi masalah meri, ilham lebih memilih mencegah masalah itu dari awal, itulah alasan mengapa meri tetap aman menjalani harinya selama di cambridge.
***
Meri terbangun saat matahari sudah tinggi. Itu wajar mengingat dia menunggu ilham terlelap hingga pukul 4 agar bisa menggunakan ponselnya untuk menghubungi andre. Dia tak menghafal nomor andre, tapi karena nomornya tak pernah terganti dan ilham adalah sahabatnya, dia yakin ilham masih menyimpan kontak lama andre. Tentu saja itu benar.
Dia memutar pandangannya menatap jam dinding yang sudah menunjukkan waktu sarapan sudah lewat. Meregangkan semua otot-otot tubuhnya yang mulai terasa kaku karena tak pernah berolahraga.
Pemulihan cedera pada kepala dan lehernya memaksanya agar tidak melakukan aktivitas olahraga berat. Meri keluar untuk kembali ke kamarnya.
"kau sudah bangun" ujar pria di depan pintu yang tak lain ilham.
"ini sudah siang, apa kau tidak bekerja?" tanya meri heran.
"aku baru akan berangkat. Siap-siaplah dan turun untuk sarapan dan ingat jangan melewatkan makan siangmu. Aku sudah memberi tahu doktermu agar tak menggunakan suntikan sebagai jalur obat, kau hanya perlu minum pil mulai sekarang"
"baiklah. Terima kasih"
"aku akan berusaha pulang cepat" ilham memeluk meri dan mengecup bibir dan dahinya.
"hey, aku belum mandi bahkan cuci muka juga tidak" meri risih jika tiap hari ilham selalu menciumnya sekalipun hanya ciuman singkat tapi tetap mengganggu perasaannya.
Sebagai wanita yang sudah bersuami, kejadian seperti itu bisa di anggap perselingkuhan. Dia tidak mungkin mengatakan alasan sebenarnya kepada ilham karena itu sama halnya dia menyiramkan minyak pada api yang hampir padam.
Tingkah meri yang pemalu membuat pipinya seketika merona mendapat perlakuan lembut dari ilham. Ilham hanya tersenyum menikmati wajah merona di hadapannya itu. Dia berbalik dan menuruni tangga. Tak lama terdengar teriakannya dari lantai bawah.
Penasaran, meri melihat ke lantai bawah dari lantai dua dan melihat seorang pria bersimbah darah. Ilham menggulung lengan bajunya dan menggenggam balok di tangannya. Siap mengayunkannya kepada pria itu.
Meri berlari menuruni tangga, tak perduli dengan denyutan nyeri yang naik dari leher ke kepalanya akibat berlari. Dia tidak akan membiarkan ilham melenyapkan nyawa orang lain. Setelah mendengar dua kali teriakan dari pria itu meri menahan ilham dengan berdiri tepat di depannya.
"apa yang kau lakukan?" bentak meri menatap tajam mata ilham yang begitu emosi.
"minggir, pria ini yang membuat kepalamu terluka. Aku seharusnya menghabisinya sejak dulu"
Meri terkejut, dia menolehkan pandangannya pada pria itu tapi sama sekali tak mengenalnya. Bagaimana bisa pria yang tak ia kenal berusaha mencelakainya.
Bawahan ilham hanya bisa menunduk tak berani menatap wajah bos mereka yang sedang marah besar.
"apa kau memukulinya karena mendengar ku mengeluh sakit kepala lagi?"
Sudah beberapa hari meri melihat ilham lebih tenang dan tak pernah tersulut emosi. Baru semalam dan hari ini, semalam itu karena ia berusaha kabur dan hari ini itu karena pria ini yang memukul kepalanya.
Sepertinya, emosi pria ini hanya akan terbakar jika itu berhubungan dengannya.
"aku tidak akan mengeluh lagi. Berhenti memukulinya, dia bisa saja mati kehabisan darah"
Sunyi sejenak, semua orang terpaku dengan perkataan nyonya besar di rumah itu. Mereka tidak menyangka, wanita yang membuat mereka berdiri gemetar karena menerima kemarahan bos nya jika meri berbuat ulah. Kini membela pria yang bahkan sudah mencelakainya.
"bawa pria ini keluar, kubur dia hidup-hidup atau bakar sekalian" perintah ilham kepada anak buahnya dengan penuh kemarahanan.
"apa yang kau katakan. Kau harusnya mengobatinya" meri berbalik menatap anak buah ilham satu per satu "jangan ada yang berani menyentuhnya" ancam meri.
Para pria itu hanya bisa menunduk dalam kebingungan antara mengikuti perkataan bos mereka atau mengikuti perkataan nyonya besar mereka.
Meri berbalik meninggalkan kekacauan itu, kepalanya semakin nyeri tapi dia sudah mengatakan tidak akan mengeluh. Jika ilham melihatnya jatuh saat ini, maka nyawa pria malang itu pasti akan melayang saat itu juga.
Meri melangkah perlahan menjauh, kemudian berteriak meminta dokternya agar segera ke kamarnya.
Sebelum mencapai lantai dua, meri mendengar ilham memerintahkan anggotanya agar mengobati pria itu. Dan di ikuti dengan anggukan oleh mereka secara kompak. Tepat saat akan membuka pintu kamarnya, meri ambruk dan kehilangan kesadarannya.