Ruangan dengan nuansa putih itu kini hanya semakin suram saat kedatangan andre. Meri dengan gugup duduk di sofa tunggal sebagai saksi saat kakak dan adik mulai berbicara setelah sekian lama.
Masih tampak rasa canggung di wajah andre berbeda dengan ilham yang lebih tenang dan sangat terkendali. Menghadapi andre tak lebih baginya seperti saat ia berbicara kepada rekan bisnisnya. Sangat santai tanpa semburat kecemasan di wajahnya.
Postur fisik kedua pria itu seakan terlukis indah oleh tangan sakti dari seniman luar biasa. Dua sosok dengan karakter dan aura masing-masing namun tetap terlihat persamaan di antara mereka.
Seakan di suguhkan dengan pemandangan luar biasa indah dan menyegarkan mata, meri hanya bisa memandangi kedua pria itu bergantian. Sedikit tegang dengan apa yang akan menjadi perbincangan tapi merasa lega karena sikap tenang ilham membuat situasi setidaknya sedikit santai.
"aku pikir kau akan menyerah dengan tujuanmu" andre berbicara tenang namun jelas itu sebuah sindiran kepada ilham.
"aku hanya berpikir belum waktunya bagiku untuk mundur" tatapan ilham seakan menggambarkan sebuah tekad bulat untuk tetap pada pendirian awalnya. "jangan khawatir, saat ini aku tidak akan mempengaruhinya atau memaksa dia pergi denganku. Tapi itu masih tergantung pada sikapmu dan penilaianku. Jika menurutku kau tidak layak maka secepatnya akan ku buat dia bersamaku atau ku paksa kau yang menjauh darinya. Jadi hati-hati dan jaga sikapmu"
Kalimat itu bukan sebuah nasehat namun lebih seperti ancaman yang di lontarkan ilham kepada andre tepat di hadapan meri.
"aku tidak berpikir akan meninggalkannya" ujar meri memotong percakapan mereka.
Tak bisa di pungkiri, meri sejak awal sudah mencintai andre. Karena itu dia sama sekali tak pernah memikirkan untuk meninggalkan suaminya. Perjalanannya selama tiga tahun mengenal andre sudah cukup untuk membulatkan tekadnya.
"kalau begitu akan ku buat dia yang meninggalkanmu"
Ucapan ilham seakan itu sebuah doktrin. Meri berbalik menatap andre seakan meminta pendapatnya mengenai perkataan kakaknya itu. Jika meri berpikir tidak akan meninggalkannya, andre seharusnya juga mengatakan hal yang sama.
"aku juga tidak berpikir akan meninggalkannya" andre menggenggam tangan meri dan meletakkannya di lututnya.
Tatapan ilham sedikit melunak tapi bukan sebuah keputusasaan. Ia menatap tangan andre yang dengan erat menggenggam tangan meri dengan tatapan meremehkan seakan ikatan itu masih sangat rapuh dan sangat mudah di pecah belah.
"pemikiran kalian seharusnya bisa tercermin dalam tindakan. Menggenggam tangannya tidak cukup untuk memcerminkan ucapanmu. Kalian bahkan tidak bisa saling percaya satu dan lainnya. Hubungan seperti apa yang akan kalian bangun"
Ilham mengatakan itu tanpa melihat ke arah meri atau andre, dia sibuk melihat lembaran kertas di tangannya. Meri dan andre terdiam mendengar kalimat itu, mereka merasa perkataan ilham tak dapat di bantah dan sepenuhnya adalah fakta.
"lepaskan tanganmu darinya, dan fokuslah dengan apa yang akan kita bahas" ilham akhirnya melihat ke arah andre dan meri bergantian.
Jalinan tangan itu kini sepenuhnya terlepas dengan raut canggung di wajah pasangan yang baru beberapa jam berbaikan.
"apa yang akan kita bahas?" andre bertanya lebih dulu. Dia datang hanya untuk menjemput istrinya dan mengonfirmasi keberadaan ilham di cambridge.
Kertas yang tadinya berada di tangan ilham kini berada di tangan andre. Dengan teliti andre menatap baris demi baris serta mencerna semua kalimat yang di tandai dengan warna merah.
Pikirannya berkelana menerawang jauh ke arah permasalahan dan memecahkan penghalang untuk bisa menyebutkan satu nama sebagai dalang.
"ini megan" ujar andre dengan mantap.
Ilham mengangguk setuju begitu pula dengan meri. Mereka sejak awal sudah mencurigai megan sebagai pelaku di balik tersebarnya berita itu.
"aku sudah mengatakan, kepercayaan di antara kalian yang seharusnya di bangun lebih kuat. Pemecahan masalah ini bisa kalian lakukan berdua, tapi karena konflik internal kalian jadi tidak bisa melakukan apa-apa dan memilih berbicara kepadaku. Menurut kalian apa yang salah?"
Kedua tersangka yang di maksud ilham saling melempar pandangan dan mengucapkan maaf melalui pandangan itu.
"meri merasa aku lebih bisa di andalkan. Dan kau merasa meri tidak perlu tahu jadi ingin membicarakannya denganku. Komunikasi kalian sangat buruk. Tapi mari singkirkan masalah hubungan kalian karena itu menggangguku. Fokus pada permasalahan ini"
"jika ini ulah megan, apa yang membuat dia begitu bodoh membongkar aibnya sendiri di media?" meri mengeluarkan pertanyaan pertamanya.
"ku rasa dia hanya ingin membuat hubungan kita terekspose sekaligus menyatakan perang denganmu secara terbuka" ujar andre berusaha menarik kesimpulan.
"pikirkan lagi, ini tidak semudah itu" ilham menatap andre sambil menunjuk ke arah kepalanya agar ia berpikir lebih keras.
"apa mungkin dia ingin merusak kepercayaanku kepada meri dengan membuat seakan merilah yang melakukan kecerobohan ini. Dia pasti tahu aku akan marah karena itu berkaitan dengan ayah"
Ilham menggelengkan kepala mendengar analisis andre yang terlalu klasik. Megan jelas bukan wanita yang akan terjun ke dalam lumpur hanya untuk mengotori yang lainnya.
"lalu apa?" andre dan meri kompak menanyakan hal itu.
"andre coba pikirkan mengenai kepribadian megan, aku yakin kau lebih mengenalnya di banding aku" ilham berhenti sejenak karena mlihat perubahan pada ekspresi meri. "bukan karena dia mantan kekasihmu, tapi lebih karena kau seorang psikolog" ujar ilham mencoba memperbaiki suasana hati meri.
"dia wanita yang cerdas dan bertekad tapi tidak mandiri. Dia juga tidak suka di kalahkan dan selalu ingin mendominasi. Sikap egois dan keras kepala membuat gadis itu sangat otoriter. Dia juga termasuk tipe wanita dengan ingatan yang baik membuatnya menjadi pendendam. Tindakannya menampar meri itu artinya dia sangat membenci meri"
"kejadian tamparan itu tak berhubungan dengan artikel itu. Artikel itu sudah lebih dulu naik jadi mustahil itu alasannya. Dia baru tiba tiga hari yan lalu dan dua hari yang lalu dia masih baik-baik saja saat pergi mencari apartemen, tiba-tiba di pagi hari artikel itu di muat, pemicunya pasti terjadi saat andre sudah pulang ke rumah" ujar meri mencoba memahami permasalahannya.
Andre terkesima mendengar pemikiran meri, terlebih lagi dia mengetahui jika dua hari lalu andre menemani megan mencari apartemen. Ilham mengangguk setuju dengan ucapan meri.
"apa kau mengatakan sesuatu saat akan berpisah dengan megan kemarin malam?" meri menginterogasi andre.
Tak merasa mengatakan sesuatu yang salah, andre menggelengkan kepalanya. Dia berada di lema di beri pertanyaan seperti itu. Saat ia mengatakan tidak itu artinya dia sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran megan. Saat jawabannya iya, itu artinya dia mengambil langkah salah dengan menjadi pemantik kemarahan megan.
Meri cukup puas dengan ucapan andre dan tak ingin memikirkan hal rumit seperti yang ada di benak suaminya.
"itu aku"
Terdiam sejenak, ilham melihat reaksi kedua lawan bicaranya itu. Mereka sama-sama terkejut dengan pengakuan ilham.
"apartemennya dan apartemenku berada di gedung yang sama. Kemarin malam secara tidak sengaja aku bertemu saat aku pulang dan megan ingin keluar. Dia melihatku dan kami berbicara sebentar. Pembicaraan yang buruk, sepertinya itulah penyebabnya"
"apa yang kau katakan?"
Meri segera memukul kepala andre dengan keras karena merasa kesal dengan nada bicara andre yang seakan tidak senang mendengar ilham berbicara dengan kalimat buruk kepada megan. Terlebih lagi sikap antusiasnya membuat hati meri semakin gerah.
Mendapat pukulan, andre memegangi kepalanya kemudian berbalik melirik ke arah meri yang terlihat geram. Sementara ilham sedikit terkejut melihat respon meri kemudian mengulum tawanya agar tidak terlepas karena ulah pasangan di sampingnya itu.
"mengapa jadi kau yang marah. Itu bagus jika kakakmu mengatakan hal buruk kepadanya. Kau seperti tidak suka mendengar wanita itu menghampiri kakakmu" ujar meri kesal.
"sudahlah mengapa jadi kalian yang bertengkar. Aku hanya menolaknya lagi dan mengatakan sudah ada wanita yang kupilih sebagai pendampingku"
"kau yang menolaknya lalu apa hubungannya denganku?" meri berusaha menarik benang merah antara ucapan ilham dan hubungan rumah tangganya. "ah aku tahu, dia masih mengejarmu sejak dulu, saat tahu kau sudah memiliki calon pendamping, dia akhirnya menargetkan andre dan berusaha menyingkirkanku" tebak meri.
"tidak tidak. Itu terlalu mudah baginya untuk menyerah. Sampai sekarang dia tetap menargetkan ilham. Dia mengacaukan ku untuk memancing ilham keluar karena tahu ilham pasti akan membongkar identitasnya sebagai dalang ini semua. Dia ingin menunjukkan kepada ilham agar mengalah jika tak ingin keluargaku hancur. Dia sepertinya menganggap aku sebagai kelemahan ilham. Tapi seharusnya dia menemuimu, bukan malah menampar meri" andre sedikit bingung.
Tak ingin langsung mengaku, ilham menatap meri lebih dulu untuk meminta persetujuan. Melihat balasan dari tatapan meri, ilham akhirnya buka suara.
"dia melihatku bersama meri kemarin"
"aah, jadi pria di foto itu kau. Kau ada di sana saat istriku di tampar tapi tak melakukan apa-apa?" sindir andre.
"tanganku merasa kotor harus menyentuh pipinya. Aku harus membasuh tanganku berkali-kali karena memegang tangannya. Kau pikir aku sama sepertimu" balas ilham tajam.
"jadi lagi-lagi aku terjebak di antara permasalahan kalian?" meri melipat tangannya di dada, memandang kedua pria di hadapannya itu dengan tatapan menuduh.
Dia sudah terlibat masalah dendam dan persaingan dua kakak adik itu, dan sekarang ia kembali di paksa terlibat dalam hubungan cinta masa lalu kedua pria itu.
Andre dan ilham hanya bisa saling melempar pandangan mendengar ucapan dan melihat ekspresi meri.
"selesaikan masalah ini secepatnya. Aku tidak ingin terlibat" ujar meri tegas sambil menunjuk artikel di meja.
"sudah terlambat. Sekarang targetnya bukan aku atau andre. Dia merubah targetnya menjadi dirimu"
Terdiam mendengar ucapan ilham, meri mengerucutkan bibirnya sambil mengetuk lengan sofa dengan ujung-ujung jarinya. Dia berpikir keras separah apa masalahnya saat ini. Wanita siluman itu ternuata sangat rumit.
"baiklah, kalau begitu katakan separah apa keterlibatanku dan kemungkinan apa yang akan dia lakukan padaku?" tak ingin terlihat terlalu cemas, meri berusaha bersikap tenang.
Sikap cemas tak akan memberikan hasil apa-apa. Itu bahkan hanya akan menutupi ide brilian yang mungkin muncul di otaknya.