"waktu di Indonesia. Aku ingat dadi pernah mengatakan teknik menyerang sambil bertahan seperti yang ku lakukan waktu lomba" ujar junior berusaha membuka memori saat ia masih sangat kecil.
"benarkah? Usiamu waktu itu bahkan baru genap tiga tahun. Anak ibu sangat jenius bisa mengingat hal seperti itu di usia masih kecil" meri memuji putranya dengan bangga. "jika waktu itu dadi mengatakannya, lalu siapa yang bermain bersama dadi?" tanya meri penasaran.
Kerutan tergambar di kening junior. Ia merasa heran mengapa ibunya kini sangat tertarik membahas mengenai dadinya. Padahal dulu ibunya itu akan memilih diam atau mengalihkan pembicaraan jika junior bertanya mengenai dadinya.
Tatapannya penuh selidik. "ibu, apa saat ini ibu merindukan dadi?" tebak junior.
Mata indah meri membesar mendengar ucapan junior seakan menginterogasinya. Wajahnya bersemu merah mendapat tatapan dan senyum tipis penuh pelecehan dari anaknya itu.
"Ahem... Ibu hanya bertanya karena penasaran" kilah meri.
"aku merindukannya" jawab junior singkat sambil membuang nafas. Itu artinya selama ini junior menahan beban kerinduan itu dan bahkan tak berani mengungkapkannya. "dadi bermain dengan uncle randy dan juga kakek" lanjutnya lagi.
"oh" meri tak berani bertanya lebih lanjut karena tak ingin membuat anaknya kembali berspekulasi.
Walau sebenarnya meri sangat ingin tahu siapa pemenang dari kompetisi catur itu. Randy adalah kakak tertuanya dan jauh lebih mahir di banding rido maupun rafa, walaupun imbang dengan kemampuan meri saat terakhir kali bermain bersama. Tapi ia lebih penasaran dengan siapa yang menang antara ayah dan suaminya.
"jika ibu ingin tahu siapa yang menang maka bertanyalah" junior membuyarkan pikiran meri.
Terkejut dengan ucapan junior, meri menunjukkan tatapan aneh pada putranya itu. Apa mungkin putranya memiliki indera ke enam. Atau mungkin dia anak indigo. Raut wajah meri dengan jelas menggambarkan keterkejutannya.
"aku tahu ucapanku benar jadi ibu tidak perlu terkejut" tambah junior lagi.
Meri semakin mendelik ngeri melihat kemampuan putranya. "junior, apa kau bisa membaca pikiran ibu?"
"aku membaca gestur, ekspresi dan nada suara ibu. Bukan membaca pikiran. Aku belum sejenius itu hingga tahu hal yang bisa di lakukan tuhan. Cukup dengan tiga hal tadi, mengekstraknya menjadi suatu kesimpulan. Hanya seperti itu"
"siapa yang mengajarimu?" tanya meri
"dadi"
"dadi lagi? Kapan?" meri sedikit tidak sabar menantikan jawaban junior.
"kapan lagi menurut ibu. Aku hanya bertemu dengannya sebentar di rumahnya, saat kembali ke rumahnya lagi aku hanya tinggal tiga hari dan pergi lagi. Hanya di Indonesia yang cukup lama. Jadi tentu saja waktu di Indonesia" junior menjelaskan dengan gamblang karena ibunya selalu terkejut mendengar ia belajar dari dadi nya.
Rasa tidak percaya masih menyelimuti meri. memikirkan junior diam-diam menghubungi ilham lebih tidak masuk akal. Tapi jika waktu di Indonesia, junior masih terlalu kecil untuk bisa mengingat semuanya dengan jelas.
"junior, besok pulang sekolah ikut ibu" ujar meri tak ingin menanggapi masalah mengenai ilham.
"kemana?" tanya junior heran ibunya tiba-tiba saja mengganti topik.
"kita harus memeriksakan otakmu" jawab meri terus terang.
"ada apa dengan otakku? Aku merasa sehat-sehat saja"
"ikuti saja perkataan ibu"
Junior tidak berani berargumen lagi. Ia tahu ibunya saat ini sedang khawatir karena kekuatan daya ingatnya. Tapi ia merasa itu seharusnya menjadi suatu kebanggaan lalu mengapa ibunya merasa itu sebagai masalah.
Ke esokan harinya saat mengantar junior, meri bertemu dengan dokter fuad dan kakak iparnya.
"kak zahra. Kebetulan kita bertemu di sini" meri yang lebih dulu menyapa dia kakak adik tak sedarah itu.
"dokter ana. Ada apa? Sepertinya kau ada perlu" tanya zahra merasa curiga karena sebelumnya, merekalah yang harus lebih dulu menyapa karena dokter ana terlihat acuh pada orang yang baru ia kenal.
"aku hanya ingin menemui dokter imran. Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan"
"kalau begitu kita bicara di rumah" zahra kemudian masuk ke mobilnya sedangkan fuad mengendarai motornya. Meri mengikuti kendaraan zahra dan fuad berada di belakang mobil meri mengekorinya.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah kediaman dokter imran dan profesor anwar. Hanya sekitar sepuluh menit. Meri duduk di ruang tamu bersama fuad menunggu dokter imran keluar.
"dokter ana. Mengejutkan pagi-pagi sekali kau ada di rumahku. Aku dengar kau mencariku" sapa dokter imran yang keluar dengan setelan jas dan pakaian serba putih, hanya dasi yang ia kenakan yang berwarna biru tua.
"ada sesuatu yang ingin aku tanyakan" ujar meri tanpa basa basi.
"katakan"
"dokter imran pasti tahu mengenai putraku lutfi"
"ah, anak jenius itu" fuad memotong pembicaraan antara kakaknya dan pujaan hatinya itu agar bisa berpartisipasi sedikit.
"terimakasih" meri berterima kasih untuk pujian dari fuad. "kecerdasan yang di milikinya sangat mengagumkan. Aku tidak tahu saat ini harus bangga atau harus khawatir. Tapi dokter imran, aku merasa ada yang aneh pada perkembangan jaringan otak putraku" meri menyampaikan kekhawatiran nya kepada dokter imran.
Dokter imran adalah seorang ahli bedah saraf, karena itu meri merasa dia adalah orang yang tepat. Meri memanglah seorang dokter jenius, tapi untuk berhadapan dengan penyakit putranya ia akan bertindak hati-hati. Sebagai ibu, sikap ke hati-hatiannya akan menimbulkan tekanan karena itulah seorang dokter tidak pernah di perbolehkan menangani pasien yang merupakan kerabatnya. Itu akan mengganggu konsentrasi.
"aku melihat putramu tergolong normal" kata dokter imran menanggapi.
"itu juga yang ingin ku percayai dan menjadi harapanku. Tapi beberapa kali aku merasa dia tampak aneh. Pertama saat di lomba catur melawan putramu, tekhnik itu dilakukan oleh seorang profesional. Walau ia masih melakukan sedikit kesalahan dan amatiran, tapi tetap saja kemampuan itu terlalu baik untuk anak seusianya. Yang lebih mengejutkan, ia belajar tekhnik itu dari daddy nya. Saat aku tanyakan kapan ia belajar karena sudah lama mereka tidak bertemu, dia mengatakan itu saat usianya baru genap tiga tahun. Usianya baru tiga tahun dan dia mengingat semuanya dengan detail"
"dokter ana, terkadang ada manusia yang memang di berikan kecerdasan otak berlebih. Seperti halnya dirimu, ku dengar kau selalu mendampingi seorang dokter bedah saraf dan memberinya banyak masukan, itu bahkan saat kau belum genap setahun kuliah di ege. Itu hal yang luar biasa"
dokter imran berusaha menenangkan wanita di hadapannya itu. Ia tahu di beberapa kasus tingkat kejeniusan berlebih dapat berdampak pada kejiwaan. Tapi ia merasa anak dokter ana masih di batas normal.
"oke, IQ ku 117 poin, itu mengesankan untuk manusia di kalangan asia. Ayah dari anakku memiliki IQ 118 poin. Kami hanya selisih satu poin tapi perbedaan kami sangat jelas. Dan lutfi, ia jauh di atas rata-rata. Kemarin ia bahkan berhasil membaca pikiranku hanya dengan menarik kesimpulan melalui gestur, ekspresi dan nada suaraku. Itu tidak masuk akal kecuali jika dia pengidap LLI, apa dokter imran pernah mendengar istilah Low Litent Inhibition?"
"apa kau yakin semua ciri-ciri pada penderita LLI ada pada lutfi?" tanya dokter imran memastikan.
"belum semua. Aku hanya tahu dia bisa mengetahui jalan pikiran orang lain, mencintai sains dan dia sedikit anti sosial. Aku belum tahu mengenai ketajaman inderanya. Dokter imran, aku yang hanya memiliki IQ 117 saja sudah sering mengalami gangguan psikis karena penalaran yang terlalu tinggi, bagaimana dengan putraku?" meri sangat tertekan dengan kemungkinan yang ada. "dia memikiki kelainan mutasi gen saat masih kecil yang menyebabkan hyperplexia. Saat mengandung, aku juga mengalami PTSD, dia lahir prematur dan ayahnya seorang jenius dengan pemikiran jauh di atasku. Apa menurutmu itu akan menimbulkan masalah pada putraku?"
Fuad yang sejak tadi mendengarkan hanya menyimak ke khawatiran meri terhadap anaknya. Fuad tidak menyangka bahwa terlalu jenius bahkan bisa berdampak buruk. Ia ahli jantung dan hanya memahami dasar dari bagian kedokteran saraf.
Jadi mengenai apa yang di bicarakan ahli bedah saraf di hadapannya itu sama sekali tidak masuk di nalarnya. Satu-satunya hal yang ia pahami adalah betapa besar kasih sayang meri terhadap putra semata wayangnya itu.
"genetik memang berpengaruh besar, termasuk kebiasaanmu saat mengandung. Mengenai ayah lutfi, apa kau melihat sesuatu yang aneh pada sikapnya?"
"tidak ada, selain ia pria yang rumit dan selalu berubah-ubah. Dia terkadang sangat emosional dan terkadang tampak acuh. Terkadang sangat cerdas tapi terkadang seperti orang bodoh. Hanya itu yang ku tahu" jawab meri jujur.
"apa kau tidak pernah berpikir bahwa masalah ini turun dari ayahnya? Suamimu sepertinya memiliki kepribadian ganda, tidakkah menurutmu begitu?" tanya dokter imran lagi.
"mengenai hal itu aku kurang tahu. Saat melahirkan junior, pendarahan parah dan cidera trauma pada otak menyebabkan aku mengalami amnesia. Memori ku sudah kembali hampir seluruhnya tapi masih ada beberapa bagian yang hilang, jadi aku tidak bisa memastikannya. Jika itu LLI, aku setidaknya sedikit bernafas lega. Aku hanya takut itu canavan"
Dokter imran merasa terkejut dengan dugaan meri. Penyakit canavan bukan penyakit biasa yang bisa di sembuhkan dengan obat-obatan. Sampai hari ini, pada dokter ahli bedah saraf bahkan belum berhasil menemukan pengobatan untuk penyakit itu.
"tidak mungkin itu canavan. Harapan hidup penderitanya hanya maksimal lima tahun. Lutfi sekarang sudah berusia tujuh tahun, jadi itu tidak mungkin" ujar dokter imran.
"itu mungkin. Kelainan genetik saat ia berusia tiga tahun awalnya akan di obati oleh seorang dokter terkenal dari paris dengan metode pengobatan baru. Tapi ayah lutfi saat itu menentang dan membawa lutfi ke amerika untuk pengobatan. Aku tidak tahu metode apa yang ia gunakan. Tapi jika itu metode menggunakan gen sehat untuk mengendalikan gen rusak pada tubuh lutfi, penyakit canavan mungkin saja muncul. Dan jika itu benar terjadi, itu artinya putraku hanya bisa bertahan lima tahun setelah pengobatan itu. Ini sudah hampir lima tahun. Hanya kurang tujuh bulan lagi"
"dokter ana, kau sebaiknya tenang. Pertama, kau harus memeriksakan kepala putramu dulu dengan MRI dan lainnya. Kedua, ikutkan ia pada tes IQ dan EQ agar kita tahu sampai di mana ia bisa menghadapi respon penyakitnya. Tapi aku berharap lutfi baik-baik saja" fuad kini berusaha memberikan saran sekaligus menenangkan meri.
"aku tidak mau kehilangan putraku. Bisakah kalian membantuku?"