Andre kembali ke hotelnya dengan perasaan lelah. Dia tidak menyangka kegagalan demi kegagalan akan terus menyelimutinya. Sudah hampir 20 hari sejak istrinya menghilang dan dia belum menemukan apa-apa.
Keluarga meri terus saja mengeluh dan memarahinya karena kasusnya yang belum juga selesai.
Berjalan menuju lift dan menekan tombol 8 di mana kamarnya berada. Dia bahkan sering melewatkan makannya untuk mendalami dan memecahkan kasus meri.
Sudah pukul delapan saat andre selesai mandi dan hendak menuju restoran. Dia sudah tak bersemangat sejak meri menghilang, makanan yang masuk ke lehernya terasa hambar. Namun demikian ia harus tetap menelannya, butuh energi untuk bisa menunggu dan menemukan wanitanya itu.
Meri dan bibi grace menuju lift, turun ke lantai dua untuk makan malam. Meri memesan foie gras yang menjadi makanan andalannya, itu sangat mudah di dapat karena dia saat ini berada perancis.
Menatap tempat duduk paling pojok yang kosong, meri segera berjalan menuju kursi kosong yang berada di sebelah aquarium. Dia senang melihat air di aquarium itu yang berwarna merah karena lampu. Sangat indah dan mencolok. Itu warna kesukaannya.
Seorang pelayan mendekati meri dan meletakkan pesanannya di meja tepat di hadapannya beserta sendok yang tergulung tisu.
Bibi grace segera menyantap makanannya sedang meri menatap tisu yang menutupi ujung sendok dan garpunya matanya berkaca-kaca. Bibi grace melihat perubahan meri dengan khawatir bertanya.
"ada apa?"
"bukan apa-apa" meri mengelap tetesan bulir bening yang mengalir di sudut matanya dengan tisu yang dia genggam. "bibi grace, aku permisi ke toilet"
"apa kau mau ku temani?"
"tidak perlu, aku bisa pergi sendiri. Dimana letak toiletnya?" meri bertanya pada pelayan yang masih berdiri di sampingnya.
Dengan langkah perlahan penuh kepastian, hatinya bergetar merasakan hangat dan kerinduan yang begitu dalam. Meri menatap lorong sempit menuju toilet yang di tunjuk oleh pelayan restoran dan mendapati sosok tinggi dengan kemeja dan celana yang menunjukkan keagungannya dalam balutan warna hitam.
Langkah perlahan itu berubah menjadi cepat hingga akhirnya berlari dan menabrak tubuh kekar pria yang begitu dia rindukan.
Satu menit, dua menit, tiga menit.
Pelukan itu tak juga usai, dengan suara isak tangis meri yang sedikit tertahan. Dadanya sesak menahan tangis kebahagiaan yang dia rasakan setelah memeluk suami tercintanya.
***flashback***
Andre duduk di restoran menantikan pesanannya sambil menatap aquarium yang berada lumayan jauh darinya. Ia tertarik dengan warnanya karena mengingat wajah istrinya yang menyukai warna merah.
Pandangannya tertuju kepada wanita yang berada di dekat aquarium dan memandangi aquarium itu dengan serius. Andre melihat kepalanya yang masih terlilit kain putih dengan topi lebar yang menutupi hampir seluruh kepalanya.
Saat wanita itu berbalik, hatinya menjadi dingin dan jantungnya terasa berhenti. Nafasnya tercekal hingga suaranya tak bisa keluar.
Andre berdiri dan berniat menghampirinya namun melihat seorang wanita di hadapannya, dia menunda niatnya itu. Dia berdiri menuju resepsionis dan berbicara dengan pelayan pengantar makanan.
"apa itu pesanan wanita yang berada di pojok dekat aquarium?" tanya andre.
"iya"
"bisa sampaikan pesanku? Dia istriku yang sudah lama tidak bertemu. Bisakah kalian membantuku? Dia sedikit marah karena aku agak terlambat datang"
Andre kemudian menuliskan sesuatu di sebuah tisu dan memberikannya
***flashback end***
Andre memeluk erat wanita yang sekian lama ia tunggu, ciumanpun menghujani puncak kepala meri setelah andre melepaskan topi yang menutupi kepala istrinya itu.
"kenapa lama sekali?" ujar meri masih dalam pelukan andre.
Dia mengeluh karena harus menghabiskan waktu liburannya begitu saja tanpa bertemu ataupun sekedar berkomunikasi dengan suaminya itu.
"maafkan aku, jalan menemukanmu agak sulit. Sekarang biar ku lihat istriku yang cantik ini" andre melepaskan pelukannya dan menatap wajah istrinya itu dengan penuh kerinduan. "kau masih saja cantik"
Meri mencubit kecil perut andre karena masih saja bergurau di saat seperti ini.
"aww. Sakit" andre meringis namun kemudian berubah tersenyum.
Hatinya kini di penuhi kebahagiaan lagi, hanya dengan menatap wanitanya itu rasanya tak akan cukup. Andre mencium hampir setiap bagian di wajah meri dan berakhir dengan ciuman lembut di bibirnya.
Tahu jika dia berada di tempat umum, andre hanya melakukannya dengan singkat, kemudian kembali memeluknya erat.
"kamarmu nomor berapa?"
"apa kau akan menghukumku lagi?" meri mengingat malam penuh gairah saat andre mengerjainya hingga berdiripun sulit untuknya.
"haha.. Ini hadiah, bukan hukuman"
"kau memberiku hadiah seperti itu?" meri menunjukkan wajah anak kecil yang permennya di rebut. Sangat menggemaskan.
"kau salah paham. Ini hadiah untukku, bukankah seharusnya akulah yang mendapat hadiah karena berhasil menemukanmu?"
"kau menang" meri kembali memeluk erat andre. "dia akan curiga jika aku terlalu lama di sini. Aku harus pergi sekarang"
Andre memasukkan sesuatu ke saku mantel meri. "pastikan dia tertidur, aku akan menculikmu nanti"
"baiklah. 89. Ingat itu" meri segera berlari menuju restoran sambil mengusap wajahnya yang habis-habisan di serang dengan ciuman suaminya.
Andre menatap punggung wanitanya itu menjauh dan hilang dari pandangan.
"89? Haha lihat bagaimana tuhan bahkan mengirimnya menjadi tetangga kamarku" andre tertawa mengingat bahwa dia tak akan bersusah payah menghindar dari CCTV karena kamar mereka berdampingan.
Meri kembali ke kursinya dan makan dengan cepat. Dia tak ingin membuat suaminya menunggu lama karena dia juga sudah lama menantikannya.
Mereka kembali ke kamarnya, meri meminta bibi grace tidur terlebih dahulu. Dia masih ingin bersantai di balkon, saat akan berdiri, suara bell kamar berbunyi.
Jantung meri berdebar tak beraturan dan menatap jam, 'ini baru jam sembilan mengapa dia begitu tidak sabar' batin meri.
Dia membuka pintu perlahan dan melihat ilham berada tepat di hadapannya.
"kau kemari"
Tak menanggapi, ilham langsung masuk ke dalam kamar hotel itu dan duduk di sofa.
Suasana hati meri seketika berubah, tadinya sangat bercahaya dan kink menjadi mendung. Memikirkan andre yang menunggu lama sangat membuatnya tak nyaman dan ingin segera mengusir ilham keluar. Tapi itu hanya sebatas di pikirannya. Dia tak akan berani melakukan hal itu, menyentuh si pria gunus es itu saja sudah cukup memegangkan baginya. Doa merasa berbeda saat masih sekolah, dia tidak akan segan menempeli ilham terua-menerus.
"aku lelah mengkhawatirkanmu jadi aku kemari"
"bibi grace ada bersamaku, mengapa kau masih saja khawatir?" bukan sebuah pertanyaan, itu lebih mirip sebuah keluhan.
"aku yang akan menemanimu di sini, bibi grace akan pulang ke rumah"
"APA?" meri tersentak kaget mendengar perkataan ilham. 'kenapa dia selalu menggangguku. Andre akan mengamuk jika tahu aku dan ilham tidur sekamar' pikir meri merasa ngeri membayangkan jika hal itu terjadi.
"nona meri, saya harus pulang sekarang. Saya tidak akan khawatir lagi karena sudah tuan di sini"
Setelah wanita tua itu pergi, ilham berdiri menghampiri meri yang masih termenung memikirkan cara mengusir ilham atau pergi ke kamar ilham diam-diam.
"apa kepalamu masih sakit?"
"sudah tidak lagi" jawab meri
"besok dokter lucee akan datang memeriksamu kemudian kau akan pindah ke tempat yang sudah ku siapkan"
"apa terjadi sesuatu? Mengapa aku harus pindah"
Ilham enggan menjelaskannya dan memilih menjawab singkat semua pertanyaan meri.
Meri sangat benci dengan keputusan semena-mena ilham. Tak ingin memperpanjang masalah, ilham mencium bibir dan dahi meri dengan ciuman seperti biasanya.
'astaga meri, kau benar-benar jadi wanita jalang sekarang. Tadi suamimu yang menciummu sekarang pria lain. Dasar rubah' rutuk meri dalam hati.
Satu-satunya hal yang tidak mereka ketahui adalah andre mendengar pembicaraan mereka melalui alat penyadap yang sengaja ia letakkan di saku mantel meri.
Dia mendengar suara ilham dengan jelas dan kehilangan kesabarannya.
Ting nong ting nong (suara bell)
Ilham melepaskan pelukannya pada meri dan berjalan membuka pintu. Sosok saingan terberatnya sudah berdiri di hadapannya dengan wajah memerah menahan amarah.
Andre mendorong tubuh ilham menyingkir dari pintu dan masuk kemudian menarik meri keluar dari kamar itu. Ilham dengan cepat menangkap pergelangan tangan meri yang di genggam andre, dengan sekali hentakan tangan itu terlepas.
Tak ingin kehilangan yang kedua kalinya, ilham menarik meri ke belakangnya dan berdiri tegak laksana perisai perang. Andre geram melihat kelancangan pria itu dan menarik kerah kemeja ilham.
"berhenti. Apa yang kalian lakukan" meri melerai kedua pria itu tapi nampak jelas ia memihak kepada andre dan terus memegangi kedua lengan andre yang lebih nampak memeluk.
Mata ilham tentu saja tidak suka melihat hal itu, dia menarik meri dengan keras tapi lengan andre sudah lebih dulu menahan tangannya untuk menyentuh meri. Dia sudah cukup berbaik hati dengan tidak segera menghubungi polisi dan memperkarakan ilham, kali ini tak akan dia biarkan lagi pria lain menyentuh kulit istrinya.
"dia istriku, kau sebaiknya mengetahui batasanmu" ujar andre dengan suara tegas.
"tak akan lama lagi" balas ilham.
"dua puluh hari sudah membuktikan dia tetap lebih memilihku, dulu, sekarang dan di masa depan itu masih akan tetap sama. Menjauhlah darinya"
"andre, sudah. Kita tidak seharusnya seperti ini. Ilham, sadarlah. Kita berteman sejak lama dan tak akan berubah. Tak akan jadi musuh atau lebih dari sekedar sahabat"
Meri memisahkan kedua pria itu, andre membawa meri ke kamarnya yang berada di kamar sebelahnya.
Ilham hanya bisa berdiri mematung, merasa tak percaya dengan apa yang dia dengar dan ia lihat. Bagaimana bisa meri meninggalkannya untuk kedua kalinya.
'aku pasti akan kembali dan merebutmu' batin ilham.
Di kamar 88, meri duduk di pinggiran ranjang, lututnya masih lemas dan tubuhnya bahkan masih bergetar. Dia terkejut dengan api kemarahan di mata kedua pria yang dulu sahabatnya itu. Kemarahan mendalam hingga ia merasa tatapan itu mampu menghanguskan tubuhnya seketika.
Andre memberinya segelas air putih, melihat tangan meri yang gemetar memegang gelas. Dia tahu meri begitu ketakutan melihat kejadian tak pantas itu.
"apa kau sakit? Apa dia menyakitimu tadi?" tanya andre cemas
Meri hanya menggelengkan kepalanya.
"apa kau terkejut? Kau terlihat ketakutan"
Meri lagi-lagi menjawab dengan anggukan, suaranya seakan tercekal di tenggorokannya.
Andre mengambil gelas dari tangan meri dan meletakkannya di meja. Dia kembali duduk disamping meri dan menarik istrinya itu ke dalam pelukannya.
"semua akan baik-baik saja. Sudah ada aku jadi jangan khawatir" andre mencium dahi meri berharap wanita itu menyerahkan semua masalah di bahunya.
Bab penutup malam ini.
Jangan pada galau lagi reader