Meri menunggu di ruangan ilham sebagai seorang istri dari komisaris rumah sakit tempat ia saat ini berdiri. termenung menatap ruangan yang terasa hampa sertelah kejadian buruk yang memaksa ia berpisah dari junior. Dimatanya yang selalu ada binar kebahagiaan laksana pelangi yang menari-nari, kini tenggelam dalam mendung tak berujung.
klik..
terdengar suara pintu terbuka, tapi tak sedikitpun ekspresi atau gestur tubuh wanita malang itu berubah. mematung, tanpa ekspresi bahkan terkesan tak bernafas karena kaku membisu dalam kepedihannya.
"ayo kita pulang" ilham merangkul pundak meri dan membimbing wanita tak berdaya itu.
Hatinya juga merasakan sakit melihat kehancuran istrinya, tapi dia juga tidak bisa menunjukkan kelemahannya. Hanya dengan bersikap tenang ia bisa berpikir jernih dan mencari jalan keluar.
Di mobil, meri hanya diam memandang kosong ke arah keramaian kota dengan kendaraan yang memenuhi badan jalan. tak ada percakapan di antara mereka hingga mobil itu memasuki pekarangan rumah mewah.
Meri turun dengan sendirinya tanpa memandang atau berbicara sepatah katapun kepada ilham. Tak ada cahaya dimatanya, mata itu kosong tanpa binar sedikitpun. hatinya terlalu sakit hingga berbicara sekalipun rasanya sudah sulit. Hanya air mata yang mengalir tanpa suara isak sedikitpun.
Saat ilham melihatnya, perasaan sakit itu seakan menular ke seluruh tubuhnya. Air mata istrinya bagaikan cambuk kepedihan baginya.
"Bibi grace, jaga nyonya dan pastikan dia makan dengan baik" ilham menitipkan meri saat ia harus pergi mengurus andre.
Sudah dua hari sejak andre menorehkan luka di hati meri dan ilham sudah mendapat informasi bahwa andre membawa junior ke cambridge setelah pergi dari rumah sakit hari itu. Membawa meri ke cambridge dalam kondisinya saat ini bukanlah pilihan yang tepat mengingat meri yang sedang depresi berat dan sangat terpuruk.
saat itu sudah hampir malam saat ilham mendengar pengumuman bahwa pesawat yang ia tumpangi akan segera berangkat. Baru saja kakinya akan melangkah memasuki kabin pesawat, ponselnya berdering.
"halo bibi grace"
"tuan... nyonya..." bibi grace merasa lidahnya terjepit karena gugup, takut bercampur empatinya.
"ada apa dengan meri?" ilham belum mendengar keseluruhan informasi dari bibi grace tapi dia sudah mengetahui hal itu bukanlah berita baik.
Dengan cepat dia berbalik dan keluar bandara, ilham menghubungi asistennya untuk mengurus barangnya yang mungkin sudah berada di pesawat dan akan segera di berangkatkan. Kekhawatirannya membuatnya lupa bahwa dia bisa saja menelfon sopirnya untuk menjemput. seperti berburu dengan waktu, ilham berlari keluar dan segera memanggil taksi dengan terus menanyai keadaan meri kepada bibi grace dan memberikan arahan untuk mengatasi situasinya.
Sopir taksi yang ia naiki menjadi sasaran kekhawatirannya. ilham selalu meneriaki dirinya yang mulai hilang sikap tenang tapi itu sangat sulit ia kendalikan. jika bisa, dia bahkan ingin menghilang dan muncul di hadapan meri. sopir taksi itu mengerti terjadi sesuatu yang mendesak sehingga ia mencari jalan yang terbebas dari macet dan melajukan kendaraannya di luar batas kecepatan rata-rata.
turun dari mobil, ilham memebrikan ongkos taksi tiga kali lipat dan berjalan dengan langkah cepat ke dalam rumah. Untuk menjaga wibawanya, ilham tetap berusaha memperlambat langkahnya dan mengendalikan ekspresinya.
Kamar dengan warna abu-abu mencekam itu kini menjadi semakin horor dengan berbagai barang berhamburan. Bibi grace berdiri dengan lutut bergetar di pintu yang menghubungkan kamar tidur dan balkon.
Isak tangis memenuhi ruangan itu. Para pelayan yang mulai akrab dengan nyonya rumah itu merasa sedih melihat keadaan majikan mereka.
"Nyonya, pikirkan bagaimana tuan muda akan hidup jika nyonya tiada" bibi grace masih berusaha menasehati meri yang sudah berdiri di balkon dengan pisau di tangannya.
Tatapannya masih kosong tanpa raut kesedihan namun jauh dari kebahagiaan yang biasa menghiasi wajah cantik itu. Meri bukan hanya sosok majikan baginya, wanita muda itu sudah seperti putrinya sendiri.
Ilham mendekat ke arah kerumunan itu dan menemukan meri dan pisau dan secarik kertas di tangannya.
"siapa yang memberinya pisau itu?" teriak ilham geram.
Sejak mendengar pernyataan meri di rumah sakit yang merasa tak ingin hidup lagi. ilham mengawasi semua barang yang berada disekitar meri dan menyingkirkan semua benda yang berpotensi menjadi alat untuknya menyakiti dirinya sendiri bahkan pulpen sekalipun.
"tuan, saya yang salah. saya mengupas buah untuk nyonya dan meninggalkannya sebentar untuk ke kamar kecil" bibi grace berlutut tak berdaya dalam tangisnya.
Dia bukan takut akan mendapat hukuman atau di pecat dari pekerjaannya. dia hanya takut kecerobohannya membuat nyonya besarnya itu berhasil menghabisi nyawanya sendiri.
"meri, letakkan benda itu. mari kita bicarakan ini" ilham berusaha berkompromi.
hanya tatapan kosong yang ia dapatkan sebagai jawaban. meri semakin erat menggenggam gagang pisau di tangannya.
"pikirkan junior. dia akan sedih dan merasa sia-sia untuk sembuh. kita akan menjemputnya sekarang jika kau mau. mereka berada di cambridge dan kita bisa menemukan mereka dengan mudah. lepaskan itu"
"kalian membuat aku dan junior sebagai mainan. aku sudah hidup seperti boneka selama tiga tahun dan kau hanya diam" meri mulai bersuara untuk pertama kalinya sejak ilham membawanya kembali ke rumah tanpa junior.
"sayang, tidak akan lagi. aku sudah berjanji menjagamu dan junior agar tetap bersamaku. kau harus percaya padaku" ilham perlahan semakin mendekat.
"surat ini" meri menunjukkan lembaran kertas di tangannya. "kau menyetujui ini sejak tiga tahun yang lalu. dia menitipkan aku padamu dan membuat kesepakatan menjijikkan seperti ini. apa kalian pikir aku pelacur yang bisa di gilir?" meri berbicara dengan berteriak ke arah ilham yang terkejut melihat surat yang di kirim andre saat hari ke seratus andre menghilang.
"surat itu..." ilham kehilangan kata-kata.
"kau tahu andre menjatuhkan talak tiga di surat cerai itu dengan alasan aku berselingkuh dan kedapatan tidur denganmu di hotel tuduhan yang menjijikkan dan lebih mengerikan lagi dengan kau menyetujuinya. kapan? kapan aku tidur denganmu di hotel?"
"meri, aku hanya mengikuti perkataanya karena terlalu menginginkanmu. aku terlalu bahagia karena dengan alasan itu dia bisa menceraikanmu" ilham sungguh merasa malu dengan sikapnya waktu itu.
"menginginkanku katamu? kau juga setuju untuk menikahiku hanya agar dia bisa kembali rujuk denganku dan kau masih bisa mengatakan hal itu? kau suami bang**t"
saat meri menemukan surat itu, ia kesepakatan awal itu. ia hanya berpikir ilham terlalu mencintainya dan bersedia melakukan cara apapun agar bisa bersamanya. tapi saat membaca kesepakatan lanjutannya, dia merasa dunianya benar-benar runtuh. ilham menyetujui untuk berpisah dengan meri dan melepas meri kembali ke pelukan andre.
"aku berubah pikiran mengenai hal itu" kilah ilham
"kenapa?" meri berpikir sejenak. "ah aku tahu, kau pasti berpikir senang untuk menahanku di sampingmu dan menjadikan aku wanita pemuas nafsu begitu? ck ck aku tidak menyangka kalimat nikah adalah pelegalan perkosaan ternyata benar-benar terjadi di kehidupanku"
"aku berpikir kau akan bahagia dengan andre jika aku melepasmu. andre menyesal telah melakukan gugatan cerai kepadamu dan itu sudah terlanjur. dia menyadari perasaannya padamu setelah dia berada di beijing. saat itu kau terlalu terpuruk kehilangan dia jadi ku pikir kau juga berharap bisa kembali dengannya. talak tiga memaksamu harus menikah dengan pria lain sebelum bisa rujuk dengannya lagi. tapi kemudia aku menginginkanmu hari ini, besok dan selamanya. aku sungguh menyesal meri tapi bisakah kita berbicara tanpa pisau di tanganmu? berikan pisau itu padaku"
ilham semakin mendekat hingga berada tiga langkah di hadapan meri dan merebut pisau itu saat melihat konsentrasi meri pecah dan pegangannya pada pisau itu mulai longgar. Dengan satu gerakan, ilham berhasil mengunci tubuh meri agar tak berusaha melompat dari balkon tapi setangkas apapun ilham merebut pisau itu. Spontanitas meri bekerja sangat baik hingga pisau itu berhasil menggores lengannya sebelum akhirnya pisau itu berada di tangan ilham.
Darah segar mulai merembes dari balik piyama biru langit yang mulai berubah merah. langit sudah semakin gelap menambah kelamnya perasaan ilham melihat wanitanya terluka.
"cepat bawakan kotak obat kemari" teriak ilham.
Meri meronta di pelukan ilham, posisi ilham yang berada di belakang meri memudah ia menekan luka gores itu namun tetap memeluk erat meri dan mengunci kedua kakinya.
"aku tidak mau melihatnya lagi. anakku... aku hanya ingin anakku" meri mulai histeris dengan tangisan yang mampu menyayat hati para pelayan yang mendengar itu bahkan pengawal dengan fisik sekuat baja seakan melunak seperti lemas tersetrum oleh aliran yang bernama empati.
kesedihan nyonya mereka terlalu mendalam setelah mendengar kisah miris yang menimpa majikannya itu. tuan dan nyonya besar mereka seakan tercipta untuk menjadi pemeran utama pada takdir buruk mereka.
setelah tubuh meri mulai melemah, ilham memindahkannya kembali ke kamar setelah pelayan membereskan kamar itu.
Di kasur, ilham sibuk mengobati luka di lengan meri sambil mendengar ocehan istrinya yang tidak berkesudahan.
"dia, dia benar-benar hanya bermain denganku saat pertama kami menikah. aku yang bodoh terlalu buta dan tidak menyadarinya...
"apa kau tahu? aku bersikap seakan dia adalah dewa yang harus ku patuhi saat kami baru saja menikah. hidupku, tubuhku bahkan nafasku seakan miliknya...
"dia menyesal karena menceraikanku. hahaha. itu bagus, dia memang harus seperti itu karena jika tidak akulah yang akan gila dan menyesal seumur hidup karena pernah menikahinya...
"Bajin**n itu, dia mengambil putraku pergi dariku. dia hanya menyimpan benihnya dan akulah yang menjaga hingga benih itu tumbuh. semua perjuanganku bertahan dengan pendarahan, penyakit trauma. dia bahkan tidak memikirkan pengorbananku sedikitpun. dia tidak puas hanya dengan mengambil putriku yang bahkan belum sempat menatapku dan sekarang dia mengambil putraku. aku rasanya ingin membunuhnya...
"ayah seperti apa yang memiliki benih seburuk dia. kau hanya menuruni sikap licik ayahmu tapi pria itu, dia licik, pemain perempuan, menelantarkan istrinya dan semua sikap buruk seakan melekat di tubuhnya sejak kecil...
"ibunya pasti salah mendidiknya. bagaimana bisa kau memiliki adik sepertinya" meri terus saja mengoceh, mengeluarkan unek-uneknya dengan di jeda tangis ataupun tawa.
"meri, kami di didik ibu yang sama" potong ilham.
"aku menyalahkan didikannya bukan ibunya. aku juga tahu seorang ibu ingin anaknya tumbuh dengan baik dan sikap mulia. jadi adikmu atau ajarannya yang salah. aku tidak akan membiarkan putraku di didik seorang ayah buruk sepertinya"
"Mmm" ilham hanya bergumam enggan menanggapi karena merasa dia sendiri tak jauh lebih baik dari andre. mereka kurang lebih sama.
"ilham, aku ingin putraku. juniorku, dia belahan jiwaku" meri mulai menangis lagi setelag beberapa saat terjeda karena amarah.
"kita pasti akan menjemputnya. dia akan kembali kepada ibunya, jangan cemaskan hal itu. beristirahatlah" perintah ilham