Liburan akhir tahun telah selesai, dan saatnya seluruh siswa-siswi memulai pelajaran kembali di kelas yang baru. Begitupula di SMA Altamevia hari ini.
Hari ini adalah hari senin, seluruh siswa sudah berkumpul sejak tadi, bukan karena ada kegiatan upacara, tapi penyambutan kedatangan mereka kembali di sekolah tercinta.
"Gue seneng banget masaaa," Arina Calista, sahabat karib dari Irona. Ia gadis berperawakan tinggi, lebih tinggi dari Irona, berkulit sawo matang namun bersih terawat. Ia juga merupakan salah satu gadis yang ceria, sama seperti Irona. Hanya saja Arina lebih sedikit tegas dan kuat, ia akan berada di garda paling depan ketika Irona merasa terusik
"Iya gue juga seneng, akhirnya udah kelas sebelas juga," Irona merentangkan kedua tangannya, menengadahkan kepala dan memejamkan mata. "Bentar lagi gue jauh dari Zio," batinnya. Tak sedetikpun senyum itu luntur dari bibir mungil Irona, menandakan bahwa ia benar-benar bahagia.
"Kita masuk sebelas Ips satu kan, Rin?," Irona menoleh ke arah Arina. "Iya, akhirnya kita sekelas lagi," Arina melayangkan pelukan hangat kepada Irona, baginya tidak ada teman semenyengankan Irona.
"Ngggg..."
"Lo kenapa?," Arina refleks melepas pelukannya.
"Gue sesek bego," dengan lihai nya Irona melayangkan pukulan kecil ke lengan Arina.
"Hehe.. sorry," Arina memamerkan gigi rapi nya dan mengangkat dua jari tengah dan telunjuk.
"Gue harap ngga akan satu kelas lagi sama Zio," Irona tersenyum lebar, benar-benar bahagia karena akan segera terbebas dari Zio.
"Semoga ya," Arina tersenyum, terlihat pijar-pijar kebahagiaan di bola matanya.
Irona dan Arina berjalan beriringan menuju kelas, di selingi canda tawa mereka berdampingan. Koridor hari ini sangat ramai, selain dimulai nya ajaran baru, hari ini juga adalah hari peneriman siswa baru. tidak terasa waktu begitu cepat, padahal baru kemarin Irona merasa kalau ia masih duduk di bangku SMP, tapi lihat sekarang, bahkan ia sudah ada di kelas dua SMA.
Irona bangga dengan dirinya sendiri, karena ia bisa menjalankan fase-fase ini dengan lancar. Fase dimana yang dengan perlahan membuat hidupnya berubah. Pergaulan, jalan hidup, bahkan cintanya. Walaupun ia sendiri tidak akan tahu seperti apa masa depannya kelak, tapi Irona percaya, kehidupan masa depan yang bagaimana yang kita ingin, tidak jauh dari proses seperti apa yang kita lalui.
Irona dan Arin tiba di depan pintu kelas sebelas ips satu, ia membuka pintu dengan senyum ceria yang tak pudar sejak tadi. "What the hell....," dengan tiba-tiba dan tanpa aba-aba, Irona menjerit tatkala melihat Zio dan Daffa berdiri di depan meja guru. "Zio ngapain lo disini?," tak cukup sampai disitu, Irona berjalan dengan langkah lebar mengahampiri Zio.
"Eh ada Irona," Zio mengubah posisi menghadap Irona.
"Gue tanya, ngapain lo disini?," Irona jengah, ia berkacak pinggang seolah menantang Zio.
"Gue kan kelas nya emang disini," Zio melipat tangan di dada dan tersenyum sinis. Sebenarnya Zio senang karena berada di kelas yang sama, kembali bersama Irona. Karena sejak kelas sepuluh, Irona sudah seperti mainannya. Ada kesenangan tersendiri ketika melihat Irona marah.
"Aaarghh.. gue harap di ajaran baru gue ngga satu kelas sama lo," Irona mengacak-ngacak rambutnya frustasi, padahal ia sangat tidak suka jika rambutnya di usik.
"Haha.. jodoh emang ngga kemana," Zio menambahi acakan di rambut Irona.
"Jangan pegang-pegang rambut gue," Irona berbalik mencari kursi kosong untuk ia tempati, mood nya seketika berantakan. Padahal sejak pagi ia merasa kalau mood nya sangat baik hari ini, ah belum sehari, melainkan beberapa jam yang lalu.
"Eh neng Arin, akhirnya kita sekelas lagi," Daffa Agaswa, lelaki yang sedikit kemayu ini memang sudah sejak lama menyukai Arin. Begitupun Arin, ia juga sepertinya memiliki maksud yang sama terhadap Daffa.
"Iya nih aa Daffa, Arin juga ngga nyangka kita bakal sekelas lagi," Arina berubah menjadi malu-malu najis ketika berada di dekat Daffa, entah apa sebenarnya pelet yang Daffa berikan.
"Kalau gitu, aa pergi duduk dulu ya," Daffa berbalik sebari mengibaskan tangannya ke Arina.
"Iyah aa," Arina menjawab sebari tertunduk dan mengulum senyum.
Berada di kelas yang sama, kembali, membuat Irona harus benar-benar berlatih. Membuat jurus terbaru, jurus kesabaran yang paling ekstra dan kuat. Ia sudah lelah, di kelas sepuluh selalu membuat Irona menjadi bulan-bulanan Zio. Entah itu rambut Irona yang di jambak, atau makanan yang di ambil alih. Irona adalah tipe manusia yang tidak suka di ganggu ketika makan, baginya itu adalah hal yang sangat tidak sopan.
Irona menelungkupkan wajahnya di atas meja di tutupi dengan tas di atasnya. Mood nya benar-benar hancur haril ini setelah melihat keberadaan Zio di kelasnya. Ia tidak habis pikir, kenapa bisa-bisa nya guru yang mengacak menyatukan kembali ia dan Zio. Jika boleh memilih, ia ingin berada di kelas yang isinya di huni oleh kaum wanita.
"Na, lo kenapa sih? dari tadi manyun mulu," Arina berbicara tanpa menoleh ke arah Irona, ia tetap fokus memainkan ponsel di tangannya.
"Kenapa sih gue harus sekelas lagi sama tu orang," Irona melirik tajam ke arah Zio, ia benar-benar muak, baginya ini adalah musibah yang besar.
"Yaelah ngga apa-apa kali, kan lumayan di kelas kita ada cowo ganteng," Arin menegakkan kepalanya dan tersenyum, seolah dia bangga karena adanya Zio di kelas mereka.
Zio Aksadana, ia memang termasuk dalam most wanted di SMA Altamevia. Berpenampilan menarik, serta kecerdasan yang tidak di ragukan lagi. Tapi entah mengapa ia justru memilih jurusan Ips dibanding dengan jurusan Ipa yang isinya segerombolan anak-anak pintar.
Zio memang tidak pernah memperlihatkan kepintarannya, ia bersikap normal layaknya siswa yang lain. Tidak ada kacamata tebal, tidak ada pakaian rapi, tidak ada kaus kaki selutut. Justru sebaliknya, ia terlihat urakan. Pakaian tidak pernah rapi, celana ketat, dan sepatu tanpa di lapisi kaus kaki.
Berbanding terbalik dengan Irona, ia adalah perempuan yang sangat rapi. Tidak pernah bau walau semenit pun, bahkan butiran-butiran keringat yang menetes dari tubuhnya saja wangi. Kalau di ibaratkan, butiran keringat dari tubuh Irona itu adalah bibit minyak wangi. Selain aroma tubuhnya yang semerbak, ia juga tidak pernah berantakan dalam berpakaian. Ia selalu memerhatikan penampilan, ia tidak suka melihat orang lain yang sangat tidak mau tahu tentang penampilan. Itu salah satu sebab Irona tidak menyukai Zio.
pluk, tiba-tiba saja bulatan kertas mendarat di kepala Irona. Membuat sang empu terbangun, ia memandangi kertas tersebut, ada tulisan open di bagian luar, Irona membuka kertas tersebut, dan------
"Aaaaaaaaa," Irona menjerit dan bergerak menaiki meja, terlihat ketakutan di raut wajahnya. Arin yang berada di dekatnya sampai terlonjak kaget.
"Apaan sih Na," Arin bangun dan menengadah memperhatikan Irona.
"Itu ada kecoa," Irona berjinjit-jintit, ia merengek teramat ketakutan. Sebenarnya ia tidak takut, hanya saja geli melihat binatang semacam kecoa.
"Nih udah ngga ada, sekarang lo turun," Arin menyapukan kecoa tersebut, dan menjulurkan tangan membantu Irona turun dari meja.
"Huh, siapa sih yang ngirim tuh kecoa," Irona celingak celinguk menatap isi kelas, matanya berhenti diantara Zio dan Daffa, mereka terlihat cekikikan yang entah menertawakan apa. Irona berjalan cepat menghampiri mereka berdua.
"Heh lo berdua, khususnya lo Zio, lo kan ngasih kecoa ke gue?," Irona menggebrak meja Zio, dengan dada naik turun, rona merah di wajahnya menandakan ia benar-benar marah.
"Hahaha.. makan tuh kecoa," Zio tergelak di tempatnya, ia benar-benar puas menjahili Irona hari ini.
"Brengsek," Irona pergi dengan amarah yang menguasai.