Mengapa cinta hadir dengan mudah sekali, hanya dengan sebuah pertemuan singkat yang memakan waktu tidak sampai dua jam, atau mungkin pada orang yang telah Irona kenal dalam kurun waktu satu tahun lebih.
Irona termenung berpangku tangan pada dipan jendela kamarnya, ia menatap ke arah rintikan hujan yang semakin lama semakin deras. Sejak semalam Kota Bandung di guyur hujan, untung saja ini adalah hari minggu. Irona memikirkan banyak hal kali ini, tentang perasaan dan hatinya, ia berpikir sebenarnya cinta yang ia rasakan jatuh kepada siapa, apakah Zio atau Aksa?.
Irona menatap balutan perban di lututnya, ia masih ingat seberapa manis dan lembutnya Zio mengobati lukanya itu sampai membuat Irona tertegun dan merasa berhutang budi. Sebenarnya sudah lama ia merasakan perasaan yang berbeda pada Zio, sejak kejadian pingsan di sekolah, hingga saat ia menyumpah serapahi Zio. Semua berbeda, kebencian yang dulu Irona miliki kini memudar sedikit demi sedikit, ia mulai runtuh dan hatinya mulai luluh.
Namun seperti kebanyakan orang, wanita sangat pintar berdalih dan menyembunyikan. Begitupun Irona, ia tidak pernah memperlihatkan rasa simpatik atau rasa sayang nya pada Zio, selain karena hatinya masih bimbang, ia juga bingung dengan hatinya untuk memilih Zio atau Aksa yang sampai saat ini belum menampakan dirinya.
Irona menghembuskan nafas berat, "ternyata cinta serumit ini" gumamnya. Lalu ia melirik jam weker di atas meja, waktu sudah menunjukan pukul lima sore, itu artinya sudah empat jam ia melamun dan memikirkan perkara cintanya. Irona beranjak dari kursi yang ia tempati sejak empat jam yang lalu, ia mengambil handuk dan siap untuk mandi, walaupun cuaca sedang dingin tapi mandi itu wajib baginya.
Setelah selesai dengan ritual mandinya, Irona turun untuk menemui sang mama. Namun ia tidak melihat mama nya, mungkin sedang keluar, pikirnya. Hujan di luar sudah mulai reda, Irona berjalan menuju pintu utama untuk melihat situasi diluar sana atau paling tidak ia bisa menghirup udara luar sebentar saja.
Lagi, matanya melihat satu kotak putih kecil di depan pintu, Irona mengernyit bingung ia melirik kesana kemari untuk mencari tahu siapa yang mengirim ini. Namun ia tidak menemukan siapapun. Irona mengambil kotak tersebut dan langsung membawanya ke kamar, ia membuka dengan ragu kotak tersebut.
Irona terdiam, hatinya mencelos ketika melihat isi dari kotak tersebut. Gelang berwarna hitam dengan kayu berbentuk balok di tengah nya, dan ada nama seseorang di balik kayu tersebut. Aksa, lagi-lagi lelaki itu datang tanpa sepengetahuannya. Irona mulai merasakan panas di kedua matanya dan hujan mulai jatuh di kedua pipi nya.
"Kamu dateng, tapi kenapa ngga nemuin aku," Irona mulai terisak, seseorang yang selama ia tunggu datang, namun tidak menemuinya sama sekali. Ia berjanji akan mengenakan gelang tersebut, terimakasih Aksa, batinnya.
***
Hari senin pun tiba, terlihat seluruh siswa Altamevia memasang wajah muram. Karena seperti sekolah lainnya, mereka akan melaksanakan upacara bendera padahal cuaca hari ini sangat mendukung untuk rebahan, tidak sedikit diantara mereka yang masih menguap.
Begitupun dengan Irona, ia berjalan lesu. Tidak terlihat semangat di wajahnya, mungkin karena mengantuk atau memikirkan hal lain. Berbeda jauh dengan Zio, ia berjalan dari arah yang berlawanan dengan Irona dengan mimik wajah yang penuh semangat. Ia bersiul sepanjang jalan, wajahnya mengandung aura positif dan senyum tidak luntur dari bibirnya.
Zio melihat Irona yang membuat senyum nya semakin mengembang, namun sepertinya ia tidak akan menjahili Irona kali ini. Terlihat ketika Irona berjalan melewatinya, Zio tidak melakukan pergerakan apapun selain sedikit menepi dan membiarkan Irona berjalan melaluinya.
"Tuh anak kenapa ya?," Zio melirik heran pada Irona, ia juga melihat Irona berjalan dengan kaki yang tertatih akibat jatuh kemarin. Mungkin karena itu wajahnya masam, pikirnya. Zio hanya mengangkat bahu acuh dan melanjutkan perjalanannya menuju toilet.
"Ini guru-guru pada ngga masuk kali, ya?" Arin bergerak resah, pasalnya sudah dua jam sejak bel masuk berbunyi tidak ada satu pun guru yang mengajar dikelas mereka.
"Hallo eperibodi.. ternyata seharian ini kita ngga ada pelajaran, karena guru-guru rapat bulanan," si ketua kelas menginterupsi, semua siswa dikelas sebelas ips ini bersoraksorai karena senang, namun ada juga yang mengeluh kecewa karena mengapa tidak diberitahukan sejak kemarin, kan mereka bisa membolos hari ini dan tiduran dirumah. Dasar pemalas.
"Na, gue mau ke kantin, lo mau ikut?," Arin membereskan barang-barangnya dan merapikan seragam serta rambutnya, ia tidak ingin terlihat jelek ketika pergi ke kantin.
"Ngga ah, gue disini aja. Ngantuk banget, hoaamm...."
"Yaudah gue pergi dulu, ya," Arin beranjak dan hanya dibalas dengan anggukan oleh Irona. Rasa kantuk melandanya hari ini, entah kenapa.
Irona menelungkupkan kepalanya diatas kedua tangan yang terlipat, tidak lama kemudian matanya terpejam dan ia mulai berada di alam mimpi. Suasana kelas yang sedikit sepi membuat ia merasa nyaman untuk tertidur, karena tidak ada yang bisa mengusiknya.
***
"Neng Arin!," Daffa memanggil Arina yang sedang mencari meja kosong untuk ia tempati, kedua tangannya membawa nampan berisikan bakso dan juga air mineral.
"Kok lo sendirian? Irona mana?," tanya Zio, keika Arin mendekat dan duduk diantara mereka berdua.
"Irona dikelas, dia mau tidur katanya," Arin meletakan makanan nya diatas meja, dan duduk berhadapan dengan Daffa.
"Kalian ngga makan?" Arin menatap kedua laki-laki di hadapannya, ia tidak melihat makanan apapun diatas meja sejak tadi, sebelum ia datang.
"Kita udah makan, Neng" Daffa menjawab sebari dengan kedua matanya terus menatap Arin.
"Yaudah gue makan dulu" Arin tersenyum ke arah Daffa, manis, bahkan sangat manis. Mereka memang ada perasaan, namun entah mengapa Daffa belum juga mengungkapannya kepada Arin, takut atau belum siap.
"Gue ke kelas dulu, kalian lanjut aja," Zio beranjak dari duduknya, tanpa menunggu jawaban Arin dan Daffa ia pergi meninggalkan kantin, namun sebelum Zio benar-benar meninggalkan kantin, ia membeli beberapa cemilan dan juga minuman entah untuk siapa.
Tida di kelas, Zio benar-benar melihat Irona sedang tertidur pulas. Bibirnya melengkung namun tidak terlalu tinggi, ia berjalan menghampiri gadis yang sedang tertidur pulas itu. Dengan seksama Zio memperhatikan setiap lekukan wajahnya.
"Tuhan pasti sedang berada dalam mood yang baik ketika menciptakanmu," batinnya.
Ia lalu melihat gelang yang melingkar di tangan kiri nya, gelang pemberiannya. Bibirnya melengkung kembali, sedikit tinggi bahkan hampir memamerkan gigi ratanya. Rasa hangat menjalar di hatinya bahkan sampai ke tulang iga, ia senang karena Irona memakai gelang darinya.
Zio meletakan makanan yang tadi ia beli di atas meja tepat di samping kepala Irona. Ia memperhatikan keadaan sekitar, sepi, pikirnya. Zio mengusap lembut rambut Irona, "makasih udah mau pake pemberian dari gue" ujarnya.
Lelaki itu keluar dari kelas, ia takut ada seseorang yang melihat interaksi antara ia dan Irona, walaupun Irona dalam keadaan tertidur. Ia berjalan menuju taman belakang sekolah, tempat untuk orang-orang gabut dan butuh akan kesepia. Disana terdapat sebuah bangku panjang yang terbuat dari besi khas taman-taman kota di luaran. Zio mendudukan bokongnya, pandangannya menerawang, kaki kanannya di lipat dan bertumpu di atas kaki kiri.
"Apa gue bilang aja ya sama Irona?"