Descargar la aplicación
50% Hujan Di Planet Mars / Chapter 9: Perubahan

Capítulo 9: Perubahan

"Cita-cita kamu sebenernya apa sih Mir?"

"Ummm, cita-cita aku jadi arsitek, komikus, dan aku mau banget bisa punya sekolah sendiri."

"Punya sekolah? Kenapa?"

"Yaaa, aku kurang suka aja sama kebanyakan orang di indonesia yang nyogok buat masuk sekolah. Aku juga kurang suka sama guru yang memanipulasi nilai dan pilih kasih, apalagi guru-guru yang masukin anaknya pake jalur orang dalem."

"Udah jadi rahasia umum sih Mir, tapi kenapa harus bikin sekolah?"

"Karna, aku mau ada seenggaknya satu sekolah yang semua murid dan guru nya itu ngerti betapa jahatnya kolusi, korupsi dan nepotisme di pendidikan kita."

"Pasti beruntung banget ya murid yang bisa masuk sekolahmu nanti."

"Hehehe aku harap begitu. Lagipula kan itu cita-cita aku, gak tau terwujud apa engga. Emang, kalo kamu cita-cita nya apa?" Tanya Amira.

"Jadi orang baik." Jawab Satria.

Satria pun menatap Amira seraya tertawa tipis, Sedangkan Amira justru memasang wajah masam.

"Ishhh kamu nih, kamu tuh udah baik Satria!!! Kenapa sih dari dulu aku nanya ke kamu jawabannya selalu itu!?"

"Yeuu ngambek, kamu aja dulu ketawa pas denger jawaban aku kayak gitu."

"BODO AMAT!!!"

"ngambekan dasar! nanti cubit nih ya pipinya!?"

Satria pun hendak menyentuh pipi Amira, namun Amira justru menolak dan berpaling dari hadapannya.

"Ciee ngambek...kamu tau gak kalo kamu ngambek, gula aren minder sama kamu!?" Ujar Satria.

"Au ah, mau gula aren kek, gula pasir kek, gula batu kek, gula darah kek, Males ah sama kamu!!!"

Satria pun tertawa seraya mengelus kepala Amira. Ia pun menghampiri Amira lebih dekat. Kini, mereka duduk berhadapan.

"Cita-cita aku, aku mau banget bisa jadi menantu nya pak Hafiz Mir." Ujar Satria.

Mendengar perkataan Satria, Amira pun seketika tersenyum lebar, Pipinya memerah dan matanya bersinar. Sore itu menjadi sore yang tak terlupakan oleh Amira, karna akhirnya ia tahu bahwa cita-cita Satria adalah menikahinya.

°°°

     Amira semakin hari semakin bahagia. Kini ia mulai memiliki banyak teman dan kehidupnya pun perlahan membaik. Sepulang sekolah, Amira sering bermain dengan teman-temannya hingga malam. Meskipun begitu, Amira masih menyempatkan diri Berkunjung ke rumah Satria di hari weekend. Satria pun sering berkunjung ke rumah Amira untuk setidaknya mengobrol beberapa menit sekaligus membawakannya makanan. Ketika mereka berdua sudah saling bertemu, mereka sering lupa ingin melakukan apa dan mau ngobrolin apa. Biasanya mereka berdua cuma gabut-gabutan dan endingnya streaming film bajakan di laptop. Terkadang, karna kegabutan itulah mereka hanya bisa diam dqn saling menatap. Ketika moment tersebut tiba, biasanya Satria akan menggegam tangan Amira dan mulai bicara random. Misalnya,

"Mir, kenapa sih kamu cantik? Kalau kamu jelek kan aku gak harus jagain kamu dari cowok lain, Karna gak akan ada cowok lain yang suka sama kamu." Ujar Satria.

"Kalau aku jelek, berarti kamu juga bakalan gak suka dong sama aku!?" Balas Amira.

"Kan aku Cinta sama kamu, bukannya suka. Kalau pria lain mungkin bisa suka sama kamu, tapi belum tentu dia mencintai kamu."

"Kalau kamu mencintai aku, tapi aku gak mencintaimu gimana!?"

"Cinta itu tentang apresiasi Mir, terkadang gak berbalas, tapi selalu indah bagi yang merasakan dan mengerti tentang prinsipnya."

Amira pun selalu tersenyum setiap kali pertanyaan buntunya di jawab oleh Satria dengan jawaban yang di luar dari fikirian pria pada umumnya. Sedangkan bagi Satria, ia merasa bahwa dirinya semakin yakin untuk menjadikan Amira sebagai tujuan, arah dan alasannya untuk tetap hidup di bumi. Tiap kali melihat Amira tersenyum, Seketika waktu berjalan semakin lambat, membuatnya berfikir untuk tak ingin mengakhiri hari itu untuk selamanya. Baginya, moment dan memori bersama Amira lah yang tak akan pernah bisa terhapus. Setiap kali Satria bertanya siapa yang bangga dengan dirinya yang tak punya prestasi apa-apa dan gak punya keahlian apa-apa, disaat itu lah selalu ada Amira yang berkata dengan hatinya,

"aku bangga kok sat sama kamu, Percaya ya, please!!!"

Mata Amira selalu bersinar acap kali ia berkata demikian. Perkataannya itu selalu membuat Satria tak pernah takut untuk di cap bodoh oleh orang-orang. ia juga tak pernah takut disebut jelek, miskin, dongo, pengecut dan lain lain. Karna baginya, dibanggakan oleh Amira sudah sangat cukup membuatnya yakin kalau Ia adalah orang yang terpilih di bumi ini.

     Hari terus berlalu, namun nampaknya Dean masih belum berlalu dari hidup Amira. Ia masih sering mengajak Amira mengobrol diluar kepentingannya sebagai teman. Amira selalu memberitahu Satria setiap kali Dean mencoba mengajaknya mengobrol di luar konteks. Hal tersebut cukup membuat Satria kesal dan jengkel. Akhirnya, Satria pun mencoba memberanikan diri untuk menelepon Dean tanpa sepengetahuan Amira, meskipun masih ada rasa khawatir di dalam dirinya jikalau Amira akan marah ketika mengetahui hal tersebut. Bagi Amira, menyukai wanita adalah hak semua pria, begitu juga untuk Dean, menyukai dirinya adalah sebuah Hak, semua tinggal kembalil lagi kepada perasaan masing-masing, apakah Amira memiliki perasaan kepada Dean juga, atau tidak. Mungkin Amira benar, tapi bagi Satria menggoda Wanita milik orang adalah hal yang gak wajar, dan itu bukanlah hak siapapun termasuk Dean. Namun setiap kali Satria berkata demikian kepadanya, Amira selalu membantah Dengan berkata,

"Kita juga kan belum nikah, aku belum sepenuhnya jadi milik kamu, so kamu gaboleh begitu."

Kata-kata itulah yang semakin memotivasi Satria untuk bicara serius dengan Dean. Akhirnya, Satria pun tetap nekat menelepon Dean sore itu. 11 Juli 2019, pukul dua lewat sebelas menit, Satria pun menelepon Dean.

"Halo, Dean ya? Sorry ganggu lo. Kalo boleh kita bisa ngobrol gak?"

"Ini siapa ya?"

"Ini gue, Satria. Mungkin lo kenal gue."

"Ohhh, kenapa?"

"Yaudah, mungkin langsung to the point aja deh ya. Ohya, sebelumnya gue makasih banget lo udah mau nemenin Amira disaat dia lagi sedih. Jujur, itu berguna banget buat naikin moodnya dia. Makasih atas semua yang udah lo lakuin buat ngebantu Amira. Tapi, buat sekarang, gue Cuma minta lo percaya kalo Amira udah baik-baik aja sama gue. Gue udah janji sama diri gue sendiri kalau gue gak akan nyakitin dia lagi. jadi tolong, jangan lagi ganggu dia, karna gue yakin udah ada gue disini yang bakal terus nemenin dia."

"Ohhh, okey, lagipula gue cuma temen aja kok."

"Gue tau kok semua chat lo sama Amira, dan Sorry, jujur karna lo, gue dan Amira selalu berantem."

*Huffttt (Dean menghela nafas)

"hmmm okey, gue udah prediksi ini bakal terjadi. Sorry ya gue sempet deketin Amira. Gue rasa sampe disini aja, dan gue bakal jauhin dia."

"Sipp deh, ohya tolong ya, jangan

bilang ke Amira kalau gue nelfon lo, karna itu pasti bikin dia marah ke

gue. Dan juga, Tolong jangan jauhin dia, lo gak papa temenan sama dia, tapi tolong sewajarnya aja. Semoga lo dapet yang lebih baik dari Amira."

"Oke."

Dean pun menutup teleponnya. Hati Satria pun akhirnya tenang. Sejak saat itu Satria berjanji kepada dirinya untuk mulai bersikap jauh lebih baik kepada Amira dan tak akan pernah lagi membahas tentang Dean.

     Dean nampaknya benar-benar melakukan apa yang Satria minta. Satria sudah tak pernah lagi mendengar laporan dari Amira tentang Dean. Hubungan Satria dan Amira pun mulai lebih membaik. Satria pun sudah merasa bahwa masalahnya sudah selesai dan selamanya akan selesai. Namun, ternyata ini adalah awal dari sebuah Akhir.

     Sifat Amira perlahan berubah. Ia menjadi lebih agresif dan mudah marah. Beberapa kali Amira dan Satria bekelahi, hanya karna sebuah hal yang sebenarnya gak harus dipermasalahkan. Perkelahian pun mulai meluas dan mengungkit semua luka lama yang pernah terjadi. Satria saat itu hanya bisa meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah ia lakukan. Hati Satria hancur tatkala Amira terus berbicara tentang penderitaan yang disebabkan olehnya. memang kata maaf tidaklah cukup, Luka itu masih ada dan akan selalu ada. Satria memang pria yang

jahat, tapi ia bukanlah cowok brengsek yang bisa selingkuh dan

khianatin hati Amira. Satria sadar jikalau ia punya salah. Dan disitu, hanya penyesalan yang dirasakannya hingga saat ini. Namun, tak ada waktu untuk menyesal, Semua sudah terjadi, yang bisa Satria lakukan hanyalah berusaha menjadi baik dan terus meminta maaf.

     Keretakan hubungan mereka semakin parah dikarnakan Amira tahu kalau Satria nekat menelfon Dean dan menyuruhnya untuk menjauh dari Amira. Ketika itu, Satria juga sudah tak bisa menjelaskan apapun lagi, karna Amira sudah tak percaya dengannya. Satria hanya bisa terus berupaya supaya hubungannya dengan Amira membaik. Sedikit berhasil saat itu ketika di sela sela minggu tanpa perdebatan, Satria sempat mengajak Amira menonton bioskop dan jalan-jalan di waktu weekend. Setiap bekas tiket selalu Satria simpan rapih dan terususun di sela-sela dompetnya bersama dengan tiket-tiket lain yang berkaitan tentang Amira. Namun, ternyata tiket itu adalah tiket bioskop terakhir yang menjadi saksi bisu kebahagiaan Satria dan Amira sebagai pasangan yang saling mencintai.

"End of this part"


next chapter
Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C9
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión