Di waktu hujan seperti itu, mungkin orang akan merasa segan untuk melakukan perjalanan tanpa menggunakan pelindung diri agar tidak mengalami kebasahan. Bahkan, mereka akan takut jika dalam hujan tersebut, tercipta banyaknya sambaran petir.
Namun, hal itu tidak berlaku untuk seorang pemuda dengan paras wajah kusam dan berpakaian penuh sobekan yang tampak bolong-bolong di beberapa titik baju yang melekat di tubuhnya.
Pemuda itu berjalan dengan jatuh bangun setengah merangkak. Namun, ia paksakan diri menempuh perjalanan tersebut, meskipun malam itu hujan teramat lebat dengan disertai petir yang tak henti-hentinya.
"Aku harus segera tiba," desis pemuda itu, terus memaksakan diri walaupun sudah mulai kehabisan tenaga.
Tampak kondisi tubuhnya sangat letih serta wajahnya yang kusam tampak pucat menggigil kedinginan. Sudah dapat diduga bahwa pemuda itu telah melakukan perjalanan cukup jauh.
"Ya, Allah! Berikan kekuatan untukku," ucap pemuda itu menahan rasa dingin dan rasa lelah yang sudah mendera.
Tatap dua bola matanya terus terarah ke depan jalan yang tampak sunyi dan gelap tak berujung. Terdengar ia menghela napas panjang, lalu meraih botol air yang ia bawa dalam saku tas berukuran sedang itu.
Pemuda itu tampak haus bukan main, akan tetapi air di dalam botol tersebut tidak dapat meredakan rasa hausnya. Lalu, pemuda itu membuka mulut lebar-lebar dan menengadahkan wajah untuk mendapatkan air yang cukup dari hujan yang mengguyur deras itu.
Setelah hilang rasa hausnya, ia pun kembali melanjutkan perjalanan menuju ke arah yang dirinya sendiri tidak tahu arah manakah yang sedang ia tuju. Bagaikan seorang narapidana yang sudah divonis hukuman mati yang hanya menunggu saat yang tepat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut.
Berjalan tertatih-tatih, wajahnya memancarkan kedukaan, tampak jelas di paras wajahnya itu. Lalu, ia terjatuh dan mengakibatkan dengkulnya terluka dan mengeluarkan sedikit darah segar, pemuda itu meringis merasakan pedih akibat luka yang ia dapatkan kala itu.
Dalam kesengsaraannya, mulutnya tak pernah berhenti mengucapkan takbir, "Allahu Akbar! Allahu Akbar...!"
Lantas, ia pun kembali bangkit memanfaatkan tenaga yang masih tersisa dan mengabaikan luka di dengkulnya. Seketika, hujan pun mulai mereda dan petir pun sudah tidak terdengar lagi.
Baru beberapa langkah saja, pemuda itu melihat penampakkan sebuah desa kecil di ujung padang rumput perbukitan yang sedang ia lalui itu.
Lantas ia mengerutkan kening dan berkata dalam hati, "Alhamdulillah, aku sudah hampir tiba di sebuah desa."
Melihat pemandangan seperti itu, menjadikan dirinya bersemangat dalam melanjutkan perjalanan.
"Ya, Allah! Semoga aku segera tiba di desa itu, agar aku bisa segera menjalankan kewajibanku sebagai hamba-Mu."
Lalu, ia mengerahkan tenaga untuk terus berjalan, meskipun tubuhnya sudah terasa lelah dan sudah tak kuasa lagi untuk melangkahkan kakinya. Akan tetapi pemuda itu tak lantas menyerah dengan keadaannya.
Beberapa saat kemudian, ia pun tiba di ujung desa yang hendak memasuki pemukiman penduduk.
"Ya, Allah! Siapakah mereka?" Pemuda itu bertanya-tanya sendiri setelah melihat sekelompok orang yang keluar dari sebuah kebun pisang berjalan hendak menghampirinya.
Seketika pemuda itu merasa cemas akan kedatangan orang-orang tersebut. Namun, keanehan pun muncul. Dalam sekejap mata, orang-orang tersebut hilang dari pandangan matanya, dan di tempat itu pun tak terlihat lagi pemukiman penduduk yang sebelumnya ia lihat ada banyak rumah di tempat tersebut.
Pemuda itu baru sadar, ternyata ia sudah berada di sebuah hutan yang rimbun dengan pepohonan. Tidak terlihat lagi rumah-rumah penduduk, yang ada hanya belantara hutan yang ditumbuhi banyak pepohonan.
Walaupun demikian, sinar rembulan masih mampu menerobos dedaunan lebat dari pohon-pohon yang tumbuh di dalam hutan tersebut.
"Aku rasa, mereka tadi adalah jin. Semoga mereka tidak menggangguku," bisiknya mengusap wajah dengan telapak tangan kosong.
Di hutan yang sepi dan sunyi seperti itu, manusia biasa tidak mungkin berani berlama-lama, karena tempat itu merupakan sebuah hutan yang sangat menyeramkan.
Dengan keadaan seperti itu, pemuda tersebut jadi putus asa karena ia berpikir sudah tidak ada harapan lagi untuknya.
Tiba-tiba, terdengar suara gonggongan anjing hutan menggema dan membuat si pemuda itu sedikit waspada akan hal buruk yang akan menimpanya. Ia berpikir buntu, setelah mendengar anjing menggonggong di hutan itu.
"Semoga aku bisa selamat hingga esok hari. Ya, Allah! Aku mohon ampun, malam ini aku tidak dapat melaksanakan kewajibanku dalam kondisi seperti ini," ucap pemuda itu dengan raut wajah semakin pucat dan mulai berkeringat meski keadaannya basah kuyup akibat guyuran hujan beberapa waktu lalu.
Pada saat itu, pikirannya mulai kacau, hatinya pun menjerit meratapi kemalangan yang ia alami. Kondisinya sangat mengkhawatirkan, ia terduduk lemah di antara kesunyian hutan.
Pemuda itu merupakan seorang musafir namanya Gentar, ia datang dari sebrang lautan untuk mencari seorang guru yang linuwih yang bisa mengajarkannya ilmu kanuragan dan juga ilmu keagamaan.
***
Flashback ...
Gentar merupakan seorang pemuda yang sudah yatim piatu, ibunya sudah meninggal semenjak ia berusia delapan tahun akibat terkena wabah penyakit yang melanda negrinya pada masa itu. Ayahnya merupakan seorang Demang, akan tetapi tidak diketahui keberadaannya setelah peristiwa perang melanda negri tempat tinggalnya. Ayahnya pergi meninggalkan dirinya dan ibunya kala itu, hingga tidak diketahui rimbanya.
Setelah kedua orang tuanya tidak ada di sisinya lagi, Gentar dirawat oleh seorang abdi dalem kerajaan, akan tetapi ayah angkatnya pun meninggal karena mendapatkan hukuman mati dari raja, karena sudah melakukan persekongkolan dengan para petinggi istana lainnya untuk melakukan pemberontakan terhadap raja.
Tinggallah Gentar hidup dalam kesendirian, dalam kesehariannya ia hanya berjualan kayu bakar di sebuah pasar yang tak jauh dari tempat tinggalnya, untuk sekedar menyambung nasib dan mencari nafkah demi sesuap nasi.
Pada suatu hari, Gentar dicemooh banyak orang. Tetangga, kawan-kawan sejawatnya, dan seluruh penduduk yang biasa berjualan di pasar. Mereka tampak jijik melihat Gentar, dan terus melakukan tindakan tidak terpuji terhadap Gentar si pemuda malang itu.
"Anak haram tak layak kau berada di tempat ini!" kata seorang pria muda sejawat dengannya, tampak jumawa dan bersikap kasar terhadap Gentar.
Gentar tertunduk dan tidak mengindahkan ucapan pemuda itu, ia tetap sabar dan ikhlas. Bukannya tidak ada keberanian dalam dirinya saat itu. Akan tetapi, ia lebih memilih diam karena jika dirinya melawan sudah barang tentu hal tersebut tidak mengandung faedah baginya.
Lalu, ia bangkit berusaha untuk menghindari pemuda itu. Namun, baru beberapa langkah saja, tomat busuk hinggap di kepalanya yang dilempar keras oleh pemuda tersebut.
"Astaghfirullahal'adzim," ucap Gentar menyeka keningnya yang sudah berlumuran oleh tomat busuk yang dilontarkan pemuda tersebut.
Menolehlah ia ke arah pemuda itu. Lantas berkata, "Pahamilah wahai sahabatku! Hinaanmu tidak akan mengusikku. Akan tetapi, jika itu sudah terhitung sebuah dosa. Maka perbuatanmu akan menjadi sebuah malapetaka untukmu sendiri!" ucapnya sembari melanjutkan langkah menjauh dari tempat tersebut.
Gentar bukan hanya dihina dan dicaci oleh teman-temannya saja, para tetangganya pun sangat memandang rendah dirinya. Semenjak itu, Gentar hampir tidak mempunyai keberanian untuk memandang sesamanya, ia merasa bahwa dirinya sudah diasingkan dari pergaulan oleh masyarakat di desa tempat tinggalnya.
Di desa itu, kenyamanan sudah tidak ia dapatkan lagi. Maka dari itu, ia memutuskan untuk berkelana dengan menantang maut mengarungi lautan untuk pergi ke pulau Juku, hendak mendatangi sebuah gunung yang menurut kabar di bawah gunung tersebut terdapat sebuah pondok pesantren sekaligus perguruan silat.
Ada seorang pria tua yang baik kepada Gentar, ia merupakan pengurus sebuah Masjid yang ada di desa itu. Namanya Usman, ia memberi tahu tentang alamat pondok tersebut kepada Gentar.
"Pergilah kau ke pulau Juku! Temui orang yang pandai dalam ilmu agama dan ilmu beladiri di sana!" kata Usman berkata lirih di hadapan Gentar.
"Di manakah tempat tersebut, Ki?" bertanya Gentar penuh rasa penasaran.
"Di bawah kaki gunung Kalingking, di sana ada sebuah pondok pesantren. Kau bisa mempelajari ilmu agama sekaligus belajar ilmu kanuragan!" jawab Usman menjelaskan.
Dengan demikian, Gentar pun memutuskan untuk segera berangkat mengarungi lautan, ia hanya berbekal keyakinan dan kepercayaan diri. Gentar menyebrangi lautan dengan cara ikut menumpang bersama seorang nelayan yang dermawan dan memberikannya tumpangan tanpa imbalan.
Dalam menempuh perjalanan jauh itu, Gentar mengadu nasib hendak mencari guru sakti untuk menimba ilmu agama sekaligus belajar ilmu kanuragan sesuai petunjuk dari Usman, agar dapat menjadi bekal dirinya dalam mengarungi kehidupan.
Perjalanannya itu sangatlah penting, meskipun berisiko tinggi akan jiwa dan keselamatannya. Hanya satu yang dapat menguatkan Gentar kala itu–sebuah harapan.
Cita-citanya teramat mulia, ingin mendapatkan kecerdasan dalam ilmu agama dan kelinuhungan dalam ilmu silat. Agar kelak ia dapat mengamalkannya dalam kebajikan. Dengan penuh harapan hal tersebut dapat mengangkat namanya, agar orang-orang tidak terus menghinanya dan ia bisa kembali diterima oleh masyarakat.