Descargar la aplicación
1.1% Fat or Slim? / Chapter 3: Bab 3. MOS

Capítulo 3: Bab 3. MOS

Jam istirahat tiba. Alina pergi ke taman dan memakan bekalnya. Perutnya terasa sangat lapar dan cacing-cacing di dalam sudah berdemo.

Alina terkekeh pelan. Dia tidak menyangka jika akan bersekolah di sini. Di mana semua siswinya memiliki pesona cantik dan juga etika yang buruk.

Rasanya dia ingin berhenti saat itu dan menangis ke pangkuan Ibunya. Namun Alina sadar. Dia sudah besar dan tak boleh cengeng. Dia harus kuat seperti Abangnya.

Bekal yang ada di tangan Alina diambil oleh dua bocah nakal yang terus saja mengganggunya dan mengikuti ke mana saja Alina pergi.

"Ayo lo pasti mau makan lagi kan. Iya kan," ujarnya.

"Balikin makanan Alina, sini!" ucap Alina meminta. Namun kotak nasi itu berpindah. Dilempar-lempar ke udara.

Alina sudah sesak napas mengambil dan merebut kembali bekalnya, tapi tidak berhasil.

Kotak itu kemudian dibuka oleh cowok nakal.

"Idih, amit-amit. Apaan ini. Kok kayak sampah gitu," ujarnya.

"Buang aja bos. Itu gak layak di makan. Huwek!"

Mereka melemparkan isi kotak makanan Alina ke lantai. Lalu menginjak-injaknya. Alina hanya tertegun dan menahan tangisnya.

Dia tidak bisa untuk marah atau melawan. Dia terlalu takut menghadapi dua bocah nakal itu.

"Apa lo lihat-lihat gue!"

"Kalian jahat!" ucapnya pelan. Alina memunguti makanannya yang sudah kotor itu.

"Jahat! Haha."

"Bos, dia nangis tuh!"

"Bodoh! Gue enggak peduli mau dia nangis atau gimana. Cabut!"

Mereka menendang tangan Alina dengan kasar dan juga menjambak rambut gadis menyedihkan itu.

Alina terisak. Dia mengurung diri di kamar mandi hingga pulang. Bahkan Alina sampai tertidur di kamar mandi, namun tidak ada satu orang pun yang mencari atau perduli padanya.

Matanya sembab. Dia keluar dan melongo kiri serta kanan. Melihat keadaan. Apakah masih ada orang di sekolah atau sudah pulang.

Dia berjalan dengan pelan.

Byurrrrr....

Badan Alina basah. Bajunya kotor terkena air got yang kotor dan juga berbau busuk.

Alina mengelap pipinya dengan punggung tangan.

Dia melihat jika teman satu kelompoknya yang sedang mengerjainya.

Ingin marah, tapi tidak bisa. Alina memiliki rasa takut dan tak ada keberanian.

Dia menghentikan angkot tapi tidak ada yang mau menumpanginya. "Haha, kasian banget sih jadi cewek gendut! Gak ada yang mau numpangin lo," ejeknya.

"Lagian siapa suruh punya badan kayak kingkong gitu sekolah di sini lagi. Lo itu pantasnya di hutan. Berteman sama monyet-monyet sana, haha."

"Hahaz cabut girls!"

Tidak ada pilihan lain. Jalan kaki adalah solusinya. Alina akan pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki. Anggap saja berolahraga. Siapa tahu dia bisa turun berapa kilo dan membunuh lemak membandel di badannya.

"Gak apa-apa, Al. Mungkin ini cobaan. Semangat ya, jangan nyerah. Masih banyak kok orang yang sayang sama kamu," bisiknya.

Alina menikmati pulang sekolahnya dengan berjalan kaki. Tak lupa untuk membersihkan diri di kamar mandi sebelum kemudian dia berolahraga sampai ke rumah.

Rumah Alina cukup jauh dari sekolahnya. Sebenarnya Alina tidak ingin bersekolah di sini, namun si Abang bersikeras agar Alina harus sekolah di sini.

Akhirnya setengah jam lamanya, Alina sampai di rumah. Dia melihat Ibunya tengah menyiram tanaman. Dia pergi dan memeluknya dari belakang.

"Alina, sayang. Kamu mandi dulu sana sayang," ucap si Ibu yang tahu jika itu adalah anak bungsunya.

"Ih Mama kok bisa tahu sih itu, Al," rengeknya.

"Sayang, seorang Ibu itu memiliki insting yang kuat. Jadi kalau Alina pergi ke mana dan jauh pun. Mama sudah merasakannya sayang."

Alina kaget. Dia takut jika Ibunya merasakan bahwa dia menjadi bulan-bulanan di sekolah. Mendapatkan bulyyan karena tubuhnya yang gemuk.

"Kok cemberut sayang. Kenapa, Al ada masalah ya di sekolah!" Dia menyentuh pucuk kepala Alina dengan sayang.

"Enggak, kok, Ma. Al lapar banget nih. Mama sudah masak kan!" mata hitamnya yang sangat cantik itu membesar seperti lensa kamera.

"Sudah sayang."

"Hore. Makasih ya, Mam." Alina berlari ke kamarnya. Dia membersihkan diri dan kemudian makan dengan banyak.

"Cuci tangan dulu, Al. Jangan langsung makan," jerit si Ibu dari luar.

"Iya, Mama," balas Alina berteriak.

"Aneh! Mama bisa tahu kalau tanganku belum dicuci. Apa Mama juga bisa merasakan kalau aku tidak merasa senang di sekolah. Huh!" Nafsu makan Alina seketika hilang karena memikirkan perkara ini.

Dia tidak tahu bagaimana caranya supaya Ibunya tidak merasakan tentang dirinya di sekolah. Baru dua hari saja, sudah membuat mental Alina down, bagaimana selama tiga tahun ke depannya.

******

Kokok ayam bersahut-sahutan. Alina terbangun karena disirami air oleh Abangnya, Antoni.

Antoni sudah selesai mandi. Dia mengguncangkan tubuh gempal adiknya. Lalu menarik pipinya yang melar.

"Kebo, bangun! Sudah siang. Ayo cepat mandi!" ucapnya.

"Ih Abang, tunggu sebentar lagi. Al masih ngantuk," katanya dengan suara yang serak.

"Bangun gak atau mau gue tinggal nih ke sekolahnya."

Mendengar kata ditinggalkan, Alina terbangun dan buru-buru masuk ke kamar mandi.

*****

"Ma, kami berangkat ya," ucap Antoni dan juga Alina. Mereka mendapatkan bekal masing-masing, lalu menciumi tangan wanita terhebat di dalam hidupnya.

"Iya, sayang. Jangan ngebut-ngebut ya. Al, nanti minta uang jajan sama Abang ya. Mama lagi gak ada uang nih, Nak. Enggak apa-apa kan, Bang."

Antoni tersenyum. "Tentu, Mama. Sekarang An sudah kerja, jadi keperluan Al biar Abang yang tanggung," ucap An dengan bangga.

Ibunya mengelus rambut Antoni dengan sayang. "Good boy. Anak Mama memang sangat pengertian."

"Dah, Ma!" Mereka bergoncengan ke sekolah Alina.

Antoni orang yang humoris. Dia akan meledek Alina sepanjang perjalanan ke sekolah.

"Dek, geser dong ke belakang. Gue gak kebagian tempat nih," seloroh Antoni.

"Ih, Al udah duduk paling belakang banget nih. Abang tuh yang geser ke depan!"

"Lah, kok gue sih. Lo tuh mundur."

"Udah tau!" kesal Alina.

"Masih sempit."

"Makanya beli mobil biar gak sempit-sempit," tutur Alina.

Antoni terkekeh. Dia melihat wajah sebal Alina di kaca spion.

"Enggak mau ah."

"Kenapa?"

"Nanti bisa-bisa ban mobilnya pecah sama tubuh lo, Al," balas An tertawa.

"Ih, gak asik. Gak lucu, hmp!" Alina memalingkan wajahnya.

"Haha, jangan sok ngambek deh. Wajah lo itu jelek, dek. Nanti makin jelek loh!"

"Iihh, Abang nyebelin banget. Abang gak sayang sama Al. Hmp!" Alina berusaha menahan tangisnya.

Mereka sedang berhenti di lampu merah. Tangan Antoni menarik pipi Alina karena gemas.

"Udah, jangan ngambek. Nanti gak gue kasih jajan lo ya," lontar Antoni.

"Tuhkan, ngancem terus ih!" Antoni memegang wajah Alina dengan penuh kasih.

Dia memang sangat menyayangi adiknya yang gemuk itu. Meksipun berbeda dengan dirinya. Dia lebih langsing dan juga memiliki wajah tampan.


next chapter
Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C3
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión