"Kapten Mark, aku kesini untuk mengambil air." Angele tersenyum dan mengocok botol minumnya.
"Air kita hampir habis. Seorang ksatria baru saja mengambil satu ember air. Katanya dia ingin mencuci bajunya." kata Mark dengan nada putus asa.
"Cuci baju? Saat hujan begini? Seharusnya dia bisa mengumpulkan air hujan menggunakan embernya, dan mencuci baju dengan air itu. Terserahlah, aku agak lapar. Aku ingin roti putih dan selai." jawab Angele sembari mengernyitkan alisnya.
"Anu, yang tersisa hanya roti hitam. Semua roti putih telah dihabiskan oleh dua ksatria itu." kata Mark sambil tersenyum kecut.
"Mereka menghabiskan semuanya?" Angele bertanya. Ia sedikit terkejut.
"Iya." Mark mengangguk. Mendengar jawaban itu, Angele merasa sedikit marah.
"Akan kuperiksa sendiri." Angele membuka pintu kereta terakhir, dan masuk ke dalam.
Kereta yang sebelumnya penuh perbekalan itu sekarang terlihat kosong. Angele mendekati dan membuka salah satu tong kayu berwarna cokelat, yang ternyata hanya berisi air setengahnya. Kemudian ia membuka salah satu tong air, yang ternyata kosong. Ia membuka tong kedua, dan lagi-lagi kosong. Tong ketiga, keempat, kelima... Angele terus memeriksa, dan terus melihat semua tong itu kosong, hanya dua tong terakhir yang setengahnya berisi air. Seharusnya persediaan air itu dapat digunakan untuk minum seluruh anggota karavan selama satu minggu, namun sekarang, air itu hampir habis hanya karena tiga anggota baru itu. Angele menjadi geram karenanya.
Angele mengambil sedikit air untuk mengisi botol minumnya, dan menutup kembali semua tong yang telah ia buka. Kemudian, ia membuka tong yang berisi perbekalan makanan seperti selai, roti, dan daging kering. Setelah membuka tong itu, terlihat bahwa masih banyak roti hitam yang tersisa, dan sedikit daging kering. Angele mengambil sepotong roti hitam dan sedikit daging kering. Ia menutup kembali tong itu, dan langsung berjalan kembali ke kereta kuda terdepan sembari mengernyitkan alisnya.
Baron Karl masih belum kembali dari pembicaraannya bersama Count Philip. Angele duduk sendiri di meja kereta kuda dan menatap roti sebesar setengah lengan yang sedang dipegangnya. Roti itu berwarna hitam, dengan dua sayatan berwarna kuning pada permukaannya. Bagian dalamnya berwarna putih, tidak seperti bagian luarnya. Saat ia memotong roti itu, sangat jelas roti itu bertekstur keras, hingga roti itu mengeluarkan suara seperti kayu yang sedang dibelah. Teksturnya kasar dan rasanya hambar, sehingga Angele menjadi semakin geram.
HUA!
Angele mendengar suara air mengalir, lalu ia membuka jendelanya untuk melihat apa yang terjadi. Salah satu ksatria berbaju zirah perak sedang berjalan masuk ke kereta Count Philip sembari membawa mangkuk perak, sementara di tanah terdapat sisa sup dan potongan roti putih yang hanya dimakan separuhnya. Ketiga orang itu hanya memakan bagian roti yang empuk dan membuang sisanya. Mereka sangat boros.
Pandangan Angele tertuju kepada roti hitam di tangannya dan sisa roti putih yang terbuang di tanah. Pikirannya kacau memikirkan apa yang harus dilakukan, dan wajahnya terlihat seperti setan yang ingin melampiaskan amarah yang tak berujung. Namun, Angele segera menenangkan diri dengan mengambil nafas panjang dan menutup jendela. Ia dengan cepat menghabiskan semua roti hitam dan daging kering yang diambilnya. Lalu, ia segera meminum sebagian minumannya. Akhirnya, perutnya terisi, dan pikirannya sedikit lebih jernih.
Sembari bersandar di dinding kereta, Angele menenangkan dirinya. Ia mencoba untuk tidak memikirkan Count Philip, dan memerintah Zero untuk memeriksa tubuhnya sekarang.
'Zero, periksa kondisi tubuhku saat ini. ' perintah Angele.
'Memeriksa... Angele Rio: Kekuatan 2.9. Kecepatan 4.1. Daya tahan 2.5. Anda telah mencapai batas kekuatan yang diatur oleh gen Anda. Kondisi tubuh: Baik.' Dengan cepat, Zero melaporkan hasil pemeriksaan itu.
'Aku sudah mencapai batasku...' pikir Angele dengan kecewa. Kekuatan yang dimilikinya masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan petarung kuat di dunia ini, namun dengan kekuatannya sekarang, setidaknya dia masih bisa melindungi diri dari kebanyakan penjahat biasa. Namun, perasaannya masih bercampur aduk menghadapi kenyataan itu. Dia mengambil cincin zamrud yang tergantung di kalungnya, dan perlahan-lahan menggosok batu zamrud berukir yang telah retak dan tidak lagi cemerlang itu. Tulisan yang terukir di cincin itu juga rusak karena retak.
"Jika tubuhku sudah mencapai batas, kekuatan misterius ini adalah satu-satunya kesempatanku untuk mendapatkan kekuatan." kata Angele. Pandangannya terfokus pada batu retak itu.
Sudah berkali-kali dia melihat dan memeriksa cincin itu, namun tidak ada hal baru yang dapat ditemukan selain satu kalimat yang berbunyi 'The Ramsoda College - Venis'.
"Ramsoda College... Tempat apa itu?" bisik Angele kepada dirinya sendiri.
"Orang yang bernama 'Venis' ini mungkin adalah pemilik asli cincin ini, jadi mungkin ia adalah seorang penyihir."
Angele terus memainkan cincin itu di tangannya selama beberapa saat, namun tidak ada hal baru yang dapat ditemukan dari cincin itu, jadi ia menggantungkan kembali cincin tersebut ke kalungnya. Ia menyembunyikan kalung itu di balik bajunya. Walaupun energi dalam cincin itu sudah benar-benar habis, benda itulah satu-satunya penghubung Angele dengan dunia penyihir. Lagipula, perasaan Angele mengatakan jika ia akan menemukan lebih banyak petunjuk jika ia menyimpan cincin itu.
Dua hari berlalu, keempat kereta kuda terus bergerak tanpa berhenti. Stok air bersih karavan telah habis, dan semua anggota sangat membutuhkan air bersih, sehingga mereka mulai menyaring air kubangan menggunakan kain kasa.
Saat ini, awan hitam tebal menyelimuti langit. Namun, karavan tetap berhenti di dekat sebuah kubangan air.
"Mengapa berhenti? Kita harus terus berjalan. Kita sudah dekat dengan perbatasan! Ditambah lagi, para penjahat itu mungkin masih mencari kita!" teriak salah satu ksatria. Ekspresi wajahnya kecewa, dan tangannya dilipat di depan dadanya.
Angele dan Baron Karl hanya diam dan berdiri jauh darinya, namun sangat jelas bahwa keduanya sudah benar-benar geram. Mereka bertiga telah mengambil tiga ember persediaan air karavan, sehingga air perbekalan habis, dan seluruh anggota karavan kekurangan air. Ditambah lagi, mereka tidak mau meminum air kubangan yang telah disaring, karena mereka berpikir akan keracunan jika meminum air itu.
"Kita tidak akan lama. Mohon tunggu sebentar." kata sang baron dengan ringan. Ia berhasil menutupi kemarahannya. Para pengawal dan pelayan sibuk mengambil air dari kubangan dan memasukkan air itu ke dalam tong perbekalan. Air itu jelas kotor, penuh rumput dan lumpur, namun hanya itu yang bisa mereka temukan. Lagipula, air itu akan menjadi bersih dan layak diminum setelah disaring.
Count Philip turun dari kereta kudanya seraya mengusap matanya. Ia melihat orang-orang yang sedang berkumpul di sekitar kubangan air.
"Kenapa kita berhenti?" tanya count itu dengan suara berat sembari berjalan mendekati orang-orang tersebut. Salah satu ksatria pengawalnya menjelaskan, lalu count itu mengernyitkan alisnya dengan kesal.
"Yang benar saja!" kata Count Philip. Dia melihat semua anggota karavan, dan melihat seseorang yang membuatnya sedikit senang.
"Tuan Karl!" teriak Count Philip.
"Adakah yang bisa kulakukan untuk Anda, Count Philip?" Sang baron berbalik menghadap count itu dan membungkuk hormat.
"Aku memerlukan beberapa pelayan untuk membersihkan kereta kudaku. Bawa mereka berdua ke dalam keretaku. Tidak masalah, bukan?" perintah Philip sambil menunjuk ke arah Maggie dan Celia. Melihat hal ini, sang baron menjadi tidak senang.
"Sebenarnya, itu bukanlah permintaan yang mudah." Angele menjawab, memotong ayahnya yang hendak menjawab.
"Kedua pelayan itu masih memiliki tugas mereka masing-masing, dan mereka tidak akan bisa melayani Anda dengan baik, Count Philip." kata Angele sambil tersenyum. Sangat jelas bahwa Philip hanya mau 'bersenang-senang' dengan kedua gadis itu, namun Angele sudah menganggap Maggie dan Celia sebagai kekasihnya. Angele nyaris saja melampiaskan amarahnya, namun ia masih bisa mengendalikan perasaan itu.
"Aku ingat kau. Beberapa hari lalu, kau membunuh sekitar sepuluh orang penjahat dengan busur dan panahmu. Aku suka petarung kuat sepertimu." Philip memandang Angele dengan teliti, kemudian berkata dengan nada ringan.
"Terima kasih atas pujian Anda, Count Philip." Angele membungkuk hormat.
"Hari semakin larut, berikan kedua gadis itu padaku. Aku lelah, jadi aku akan kembali ke dalam keretaku.." Philip berjalan ke kereta kudanya, diikuti oleh kedua pengawalnya.
Setelah ketiga orang itu pergi, akhirnya kemarahan Angele dan Baron Karl terlihat jelas. Angele menyentuh sarung pedangnya, hendak menarik senjatanya, namun ayahnya menghentikannya dan menggelengkan kepalanya.
"Jangan." kata sang baron.
"Aku mengerti, Ayah." Angele melepaskan sarung pedangnya dan tersenyum, namun senyumnya terlihat sedikit aneh.
"Ayah akan bicara dengan mereka. Berpikirlah dua kali sebelum bertindak. Kau pasti tahu kalau marah hanya akan menimbulkan masalah, bukan?" tanya sang baron dengan suara ringan. Angele menggangguk dan mengambil nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa marahnya.
Sang baron berbincang-bincang dengan Angele selama beberapa lama, lalu ia masuk ke kereta kuda Count Philip. Angele mengerti bahwa ayahnya tahu hubungannya dengan Maggie dan Celia, jadi ia bisa membicarakan masalah itu dengan baik. Angele menjilat bibirnya yang kering dan kembali menarik nafas panjang. Pandangannya tertuju pada Maggie dan Celia yang masih mengumpulkan air dari kubangan ke dalam tong air berbahan kayu. Angin meniup rambut dan pakaian kedua wanita itu, sehingga rambut mereka berkibar-kibar. Pakaian mereka juga terlihat sedikit ketat dan seksi karena tiupan angin itu. Angele merasa sedikit lebih baik setelah melihat mereka.
"Sudah selesai." Sang baron mengangguk dan berjalan mendekati Angele.
"Terima kasih, Ayah." Angele menjawab dengan lega.
"Jangan memprovokasi Philip. Kita hanya butuh koneksinya dengan para bangsawan kelas atas di Pelabuhan Marua." lanjutnya.
"Aku mengerti." Angele mengangguk dan memandang kereta kuda Count Philip.