Wajah tampannya terlihat begitu khawatir, tak memiliki status hanya sekedar pernah memiliki kisah sebelum akhirnya pria itu terbuka matanya kalau Gendis bukan perempuan yang diinginkan. Gendis hanya menjadi adik, sekedar adik menyemangati kakaknya saat pria itu sedang sibuk-sibuknya belajar kedokteran. Duduk berdua di tepi pantai, mencari katak di sawah hanya untuk membantu Rian mencari bahan untuk praktiknya, Mengirim bunga tepat dihari wisuda, semua itu sia-sia. Bodohnya ia sulit sekali melupakan yang harusnya tak bisa Gendis genggam. Gendis menatap wajah serius Rian yang tengah menyuapi Gendis buah, perhatian tapi lagi-lagi Gendis sadar ini hanya sekedar perhatian kakak pada adiknya. Gendis benci dengan situasi hatinya saat ini, masih deg-degan ketika duduk berdua dengan Rian.
"Mas sudah jangan menyuapi, Gendis nggak enak sama calon istri Mas Rian," Gendis mengambil alih piring berisi buah, untungnya Gendis sadar kalau diteruskan akan ada hati yang terluka karena sikap keduanya.
"Dia mengerti kok, memangnya salah Kakak menyuapi adiknya?"
"Adik tak sedarah Mas, beda." Gendis tersenyum kecut. Kembali menyuruh Rian segera pulang, biarkan Gendis sendiri jauh lebih nyaman.
"Saya tahu Ndis, Ndis kalau kamu butuh psikiater kasih tahu. Biar saya carikan,"
"Nggak perlu Mas, Mas Erik membantu mencarikan." sahut Gendis. Alasan saja, Erik tidak mungkin memperhatikan sedetail itu tapi Gendis tahu cara mengatasi dirinya sendiri.
"Siapa Erik? Pacar kamu?"
Gendis menggeleng. "Orang yang sedang menyembuh lukanya Gendis, Mas pulang gih, sudah malam."
"Kamu nggak apa-apa sendirian?"
"Santai aja Mas,"
Rian mengangguk paham, kedatangannya ke sini memastikan keadaan Gendis baik-baik saja. Ia mendapat laporan dari saudara Gendis, Rian berniat makan malam di tempat orang tua Gendis. Mengira jualan ternyata lapak jualan mereka sudah berantakan, Rian penasaran lalu mencari tahu.
"Kita ketemu lagi nanti, ya, cepat sembuh ..." Rian mengecup singkat kening Gendis lalu bergegas untuk pulang, sebenarnya malam ini ada acara makan malam dengan keluarganya tapi ia pulang sedikit terlambat karena menemui Gendis dulu. Rian sangat khawatir dengan keadaan Gendis, Rian tahu Gendis sedang kacau setelah ditinggal keluarganya.
Gendis berubah menjadi patung, bahkan tak menatap kepergian Rian. Ada apa sebenarnya dengan dua pria yang mencium pipi dan keningnya? Kenapa harus melakukan ini, padahal usapan bahu, lambaian tangan sudah cukup. Gendis membenarkan posisinya menjadi tiduran, menatap langit-langit rumah sakit sembari membayangkan kapan ia bisa keluar dari ruangan ini. Rasanya sudah bosan, kesendirian akan membuatnya kembali mengingat sebuah luka, menyadarkan kembali kini tak memiliki keluarga.
"Ndis, kamu harus sukses dari Ibu sama Bapak. Kalau Ibu cuman sampai lulusan SMP kamu harus kuliah, punya gelar biar bagus dipandang orang. Wah, anaknya penjual nasi bisa jadi sarjana,"
"Tapi kalau Gendis gagal gimana?"
"Ya, coba lagilah. Jadi perempuan jangan gampang menyerah, semangat!"
Untuk kesekian kalinya Gendis tak bisa menahan sesaknya mengingat kenangan bersama orang tuanya, Gendis tahu keduanya memiliki harapan tapi Gendis tak yakin bisa menggapainya sementara, saat ini tak memiliki orang-orang yang menyemangati dirinya. Melupakan luka, perlu waktu apalagi mereka adalah manusia berharga di hati Gendis. Gendis rindu dengan mereka berempat, mereka bahkan tega tak pernah datang dimimpi Gendis, benar-benar hilang.
Gendis beralih mengambil ponselnya, membaca satu pesan dari seseorang.
Ndis?
Iya Mas, kenapa? Kangen?
Kirim pesan jam lima bales jam sembilan, benar-benar kamu ini.
Gendis lagi sedih, jangan diajak berantem.
Oh.
Kangen Gendis nggak?
Nggak.
😤😤
Gendis menutup percakapannya dengan Erik, memainkan ponsel, membalas pesan cara Gendis mengusir bosan dan kesedihan. Gendis masih belum percaya disaat dirinya terjatuh, Erik selalu ada di sampingnya. Mendengar penjelasan Mawar katanya, Erik selalu datang setiap hari saat Gendis berada di ICU.
"Ndis ..."
"Bude ..." balas Gendis.
Bude Lita tergesa-gesa mendekati Gendis, membawa tas berisi selimut dan baju. Untuk beberapa hari ke depan akan menemani Gendis.
"Bunga sama buah dari siapa?"
"Mas Rian,"
"Mantan pacar Gendis yang jadi dokter itu?"
Gendis mengangguk.
"Masih perhatian, balikan aja Ndis." Bude mendekati Gendis sembari membenarkan selimut Gendis.
"Mau menikah Bude, Gendis jaga jodoh orang doang,"
Bude meringis, baru tahu jika kisah hidup keponakannya sangat menyedihkan. "Sudah, sekarang nggak boleh berpikir terlalu berat. Semua ada hikmahnya."
"Iya Bude ..."
***
Dua hari tidak melihat Gendis karena ia sendiri merasakan nyeri pada kakinya, dua hari hanya berada di kamar, tiduran, minum obat seperti biasanya. Dokter datang dan langsung memberi nasihat untuk Erik, rasa sakit satu hal yang tak ia inginkan. Erik hanya ingin sembuh, hanya itu. Ia ingin segera bisa jalan lagi, bisa menaiki motor lagi. Dua hari pikiran Erik dibayangi oleh peristiwa dimana Gendis nekat melukai diri sendiri, untung Tuhan masih baik. Memberi kesempatan Gendis hidup melalui Mawar yang bergerak cepat melihat Gendis, kalau tidak mungkin perempuan itu sudah tak bisa Erik lihat lagi.
"Minum obat dulu,"
Erik menerima obat dari tangan adiknya, tak bisa dipungkiri sebenarnya Gendis yang paling bisa menjaga Erik. Meski Fre adiknya tetap saja perhatiannya tidak seikhlas Gendis, Fre hanya bisa marah-marah lalu komplain karena Erik susah diatur.
"Thanks you adik ..."
"Ih geli," sahut Fre. "Oh ya, katanya Mbak Ami mau datang, dia kan psikiater mau menemani Gendis untuk beberapa waktu."
"Kapan datang?"
"Lusa," jawab Fre
Ami adalah istri dari kakaknya— Anggara, seorang psikiater di Surabaya. "Benar kata Mas Anggar, nikahi Gendis deh, kasihan ..." ucap Fre tiba-tiba
Erik berdecak kesal. "Fre ... Menikah karena kasihan tidak akan bertahan lama,"
"Tapi aku kasihan, setelah ini Gendis sama siapa? Keberatan nggak kalau suruh tinggal di sini?"
"Terserah kamu," sahut Erik. Sebenarnya Erik ingin menyuruh Gendis menetap di sini tapi rasanya Erik tidak pantas, Gendis masih memiliki keluarga lain yang mungkin mau membantu menjaga Gendis.
"Aku ke restoran dulu, kalau ada apa-apa kasih tahu,"
Erik mengangguk, mengambil ponselnya memastikan ada pesan dari Gendis. Ada satu pesan dari Gendis, Erik segera membacanya.
Kata dokter, lusa sudah boleh pulang, terima kasih Mas sudah menemani Gendis selama di ICU. Mas harus sehat, kalau suatu saat nanti Gendis nggak bisa jaga Mas lagi setidaknya Mas bisa menjaga diri sendiri.
Membaca pesan seketika Erik merasa tidak suka, Erik menghapus pesan dari Gendis. Pesan yang berisi tentang sebuah perpisahan namun dikemas secara halus oleh Gendis, apa setelah ini Erik akan ditinggal Gendis? Erik tak tahu dan tak mau, ia masih butuh Gendis di sini.