Descargar la aplicación
6.25% Dear Adam (Indonesia) / Chapter 26: Keluargaku, Bahagiaku

Capítulo 26: Keluargaku, Bahagiaku

Di sebuah halte bus terlihat Khadijah sedang menunggu bus . dia tidak menemukan sama sekali ojek online. Dia terpaksa untuk menunggu bus.

Terdengar suara klakson motor lalu Khadijah menoleh. Dia melihat wajah tampan dari seorang pria idamannya yang selalu membuat hatinya begitu teduh.

"Kamu khadijahkan yang kemarin kita ketemu di bus? "

Khadijah hanya bisa menelan salivanya sendiri ketika melihat sosok Rumi yang mengenali dirinya. Dia merasa detak jantungnya berdebar begitu sangat kencang sekali bahkan pandangannya berusaha dia alihkan karena terasa begitu sangat gugup sekali.

" Bagaimana kalau kamu naik motorku aja? " Rumi berusaha untuk menawari tumpangan ke Khadijah. Kemudian Khadijah hanya mengangguk mengiyakan tanpa adanya sebuah penolakan.

" Aku nggak akan pernah mungkin menolak ajakan dari dia. Karena kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya. "Khadijah menggumam dalam hati kecilnya lalu dia naik ke atas motor dibonceng oleh eh Rumi. Dia merasa detak jantungnya berdebar-debar begitu sangat kencang sekali. Dia merasa tangannya keluar keringat dingin saat menerima helm dari Rumi yang langsung dia pakai di kepalanya.

Sepanjang perjalanan Khadijah dan Rumi hanya diam saja. Mereka tidak mengucap sepatah katapun. Mereka hanya menikmati sepanjang perjalanan dari halte menuju ke rumah sakit.

Lima belas menit kemudian Rumi telah sampai mengantar Khadijah di rumah sakit.

"Khadijah, Sebenarnya kamu ke rumah sakit itu untuk menjenguk siapa? " Rumi terlihat sangat penasaran. Dia menatap kedua manik mata Khadijah yang sedang berusaha mengontrol perasaannya.

" Aku sedang ingin menemui ibuku yang sedang dirawat di rumah sakit ini. " jawab Khadijah dengan bibir yang bergetar. Dia merasa jantungnya berdetak begitu sangat kencang sekali. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin karena gugup dihadapan Rumi. " kamu enggak sekalian juga ikut menjenguk ibuku? Tapi kalau kamu tidak ada kegiatan lain lagi sih. "

"Baiklah aku akan ikut denganmu untuk menjenguk ibumu. " balas dari Rumi menatap kedua manik mata Khadijah kembali.

Khadijah dan Rumi berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit. Karena Khadijah mencari ruang rawat inap tempat ibunya dirawat. Dia merasa sangat bahagia sekali ketika mendengar bahwa Ibunya sudah bisa membuka kedua kelopak matanya kembali.

 Kedua Langkah kaki Khadijah dan Rumi langsung berhenti di depan pintu ruang rawat inap Rania, ibu Khadijah.

"Ibu!"

 Khadijah langsung masuk ke ruang rawat inap Rania, ia sangat rindu akan kehadiran seorang ibu.

Rumi mengikuti dari belakang Khadijah. Ia melihat sebuah pemandangan antara ibu dan anak yang terlihat sangat hangat sekali. Hal itu membuat bumi sangat merindukan akan sebuah keluarga. Tapi dia berusaha untuk tetap menjalani kehidupan sesuai dengan takdir yang diberikan Allah SWT dengan rasa ikhlas dan bersyukur.

Kedua sorot mata Rania langsung fokus kearah Rumi. Ia melihat jika lelaki itu sangat tampan sekali dan memiliki wajah yang begitu teduh seperti angin surga.

"Siapa dia?" Tania Rania menatap kedua manik mata Khadijah.

Sejenak Khadijah hanya terdiam mendengar pertanyaan dari ibunya. Lalu dia mencoba untuk menjawabnya, "Cuman temen satu kampus aja."

"Assalamualaikum, tante," ucapan salam dari Rumi.

"Walaikumsalam, nak. Terima kasih, ya. Kamu sudah mengantarkan putri saya," ucap Rania dalam terbata-bata.

Raut wajah Rania masih terlihat pucat pasi. Cara bicaranya masih gemetar. Suaranya terdengar lirih.

"Assalamualaikum, tante," suara salam dari seorang lelaki hingga mengalihkan pandangan seluruh seisi ruang rawat inap.

"Walaikumsalam, " balas seisi penghuni ruangan.

Fabian datang sambil membawakan buah-buahan, dan membawakan satu buket bunga lili putih.

"Ini buat tante cantik, semoga cepat sembuh. Dan, ini untuk calon istriku," cetus Fabian.

"Apa? sejak kapan aku jadi calon istrimu, Fab. Halu banget dech kamu," sindir Khadijah.

Rumi hanya diam.

Khadijah mengecek kening Fabian dengan punggung telapak tangannya, "Kamu panas banget, kayaknya kamu sakit, jadi otakmu agak sedikit error."

"Sialan kamu, Dijah. Ini sungguhan kalau aku mau khitbah kamu buat calon istriku," ucap Fabian.

"Ya Allah, tingkat halumu sangat tinggi, "ledek Khadijah. "Sampai kapanpun aturan dalam sebuah pertemanan tidak akan ada perasaan yang dinamakan cinta, kalau pertemanan ditambahkan rasa cinta, kalau menjalin hubungan pacaran, kalau putus kebanyakan musuhan."

"Kita itu bakalan jadi teman pasti menikah,"cetus Fabian yang tingkat kepedeannya diambang langit.

"Aku sama kamu itu cuman temenan, nggak akan pernah ada kata lebih dari temen," bantah Khadijah.

Khadijah dan Fabian memang sangat dekat, tapi Khadijah punya prinsip, kalau teman ya teman nggak akan ada status lebih dari itu.

"Udah kalian itu ribut mulu, ingat ini Rumah Sakit," cetus Rania dalam kata yang masih terbantah-bantah.

"Maaf, Bu. Ini gara-gara Fabian bikin Khadijah pengen darah tinggi,"lirih Khadijah.

"Iya, Ibu sudah memaafkan kamu, tapi jangan ribut, bikin stress aja kalian," balas Rania dengan terbata-bata.

"Janji, Bu," Khadijah tersenyum.

"Iya, tante cantik maafin, Fabian, ya," ujar Fabian sambil meringis menujukkan deretan giginya.

Rumi hanya diam saja, karena ia sadar diri kalau bukan siapa-siapa.

"Khadijah?"

"Iya, ayah. Ada apa?"

"Kamu ribut sampai kasihan Rumi, jadi terkacangi."

Khadijah tersenyum menatap Rumi yang sadari tadi menyaksikan perdebatan diantara dia dengan si Fabian.

Khadijah masih saling mengejek dengan menjulurkan lidahnya, ia kesel sama Fabian yang mulai nyebelin dari tadi pagi.

*

Di apartemen Mawar sedang berusaha menenangkan Farhan yang sedang terisak tangis. Bahkan tidak berhenti-henti sama sekali.

"Sayang, jangan nangis yaa," ucap Mawar menenangkan Farhan dalam gendongannya. Dia berharap jika Farhan bisa tenang.

Farhan sedikit rewel selama dua hari, terlihat suhu tubuhnya demam. Ia bingung padahal nanti sore ada pemotretan untuk brand make up terkenal.

"Apa aku harus nelpon mas Rumi?" pikir Mawar, karena hanya Rumi yang mampu menjaga dan menenangkan putranya."Tapi, enggak dech aku nggak mau jadi beban mas Rumi. Dia sudah terlanjur baik."

Mawar merasa mulai kebingungan dengan tingkat kerewelan Farhan. Tangisan yang meledak-meledak hingga mengema seisi unit apartemen.

"Seandainya saja ada mas....."

Suara ketukan berasal dari luar pintu apartemennya, ia pun berjalan melangkah menuju pintu apartemen dengan mengendong putranya.

"Gini ya, kalau jadi single parent. Semua harus serba bisa," gumam Mawar, lalu ia membuka pintu Apartemennya dengan mengeluh, namun harus tetap sabar.

*

Kedatangan Dahlia sedikit membuat apartemen lebih berwarna, ia bahagia. Apalagi Naina yang bisa memberikan kasih sayang seorang ibu. Sera sungguh merindukan Arimbi, namun takdir harus berkata lain.

"Sera, sayang. Jangan sibuk mulu, ayo ini nikmati kuenya," ucap Naina yang begitu hangat.

Sera tersenyum menatap wanita paruh baya yang super hangat.

"Bi, mana Dahlia? aku kok belum melihatnya sejak tadi?"

"Oh, Dahlia. Dia sedang menghadiri festival lukis," ucap Naina.

"Loch? kenapa kok dia berangkat sendiri nggak ngajak-ngajak?" mulut Sera mengerucut seketika.

"Tadi nungguin Sera, tapi belum datang-datang," balas Naina sambil memberikan alamat di mana acara itu.

"Oh, di sini, aku mau ke sana. Bibi mau ikut?" Tawar Sera.

"Nggak usah, Sera. Bibi di sini saja sambil siapkan makan malam buat kalian," ujar Naina.

"Yah, bibi. Ayo ikut donk, nanti kita makan malam di luar saja, please," kata Sera penuh harapan.

"Baiklah, kalau nak Sera memaksa. Bibi ganti baju dulu ya, Nak," ucap Naina.

"Okay, bi. Sera juga mau siap-siap dulu ya," balas Sera dengan sangat antusias sekali. Dia ingin sekali melihat karya-karya Dahlia yang dipamerkan di Galeri lukisan.

Sera mulai menscreen shoot layar ponselnya di mana alamat galeri lukisan itu, lalu mengirim ke chat line Fabian. Ia berharap Fabian bisa ikut ke sana juga.

Ponsel Sera bergetar, sebuah pesan chat line masuk.

Fabian : Sorry, aku sibuk. Lain kali saja.

 Anda : Baiklah.

Sera sedikit kecewa dengan jawaban dari Fabian, padahal ia berharap sangat bisa ditemani Fabian, meskipun sebatas harapan yang tak pernah terjadi.

*

"Adrian?" Mawar terkejut dengan kehadiran lelaki tidak bertangung jawab itu. Lalu, Farhan mendadak tenang.

"Oh, sayang. Jagoan kecil papa kamu pasti merindukanku, ya?" ujar Adrian sambil berusaha mengambil ahli dari gendongan Mawar.

Farhan tersenyum ke Adrian, seolah ikatan darah yang kental takkan pernah memutuskan hubungan antara ayah dengan anaknya.

"Pergi kamu, Adrian!" usir Mawar.

Ketika Mawar hendak menutup pintu Apartemen, kaki kanan Adrian menghalanginya, lalu menerobos masuk ke Apartemen, dan mengunci pintu dari dalam.

"Mas! kamu gila!" Bentak Mawar.

"Iya, aku memang gila, karena kamu, War," balasnya Adrian.

Mawar melotot kesal.

"Apa salah seorang ayah hendak bertemu putranya? ingat Farhan hasil sumbangan sperma dariku, nggak ada sumbangan dariku, maka nggak ada Farhan," ucap Adrian dengan nada menyesal.

Mawar mengepalkan tangannya, seakan menahan sakit hingga ke uluh hati, ia merasakan lelaki sialan itu kenapa masih Tuhan pertemukan dengannya kembali. Kenapa nggak dilenyapkan sekalian dari muka bumi.

"Kamu tahu kalau aku sudah bercerai...."

"Siapa yang peduli, mau kamu bercerai atau enggak itu bukan urusanku!" Potong Mawar, karena dia sudah berusaha melupakan rasa cintanya. Dia berusaha menghapus sosok Farhan dalam kehidupannya. "Pergi! Aku muak dengan ocehanmu!" tegasnya.

Mawar berlari ke kamar sambil mengunci pintu. Dia mendekap Farhan dengan begitu erat.

Adrian berusaha mengejar Mawar namun dia tidak dapat. Dia berhenti di depan pintu kamar Mawar yang terkunci.

Adrian hanya tersenyum sinis,"Apa kamu nggak kasihan dengan Farhan? apa kamu nggak ingin anak kita punya orang tua yang utuh?"

"Farhan nggak butuh seorang ayah kayak kamu!" Teriak Mawar dengan nada lantang.

"Ya ya ya, lihat saja nanti. Aku akan ke pengadilan dan mengambil hak asuh Farhan dari kamu, setelah hasil tes DNA antara aku dan Farhan keluar," ancam Adrian, karena dia ingin sekali mendapatkan putra kandungnya.

"Mas kamu bener-bener mengesalkan!" umpat Mawar sambil menahan amarahnya.

"Kalau kamu ingin Farhan masih bersamamu, maka menikahlah denganku, kau akan mendapatkan apa yang kau mau, dan tingalin pekerjaanmu itu, karena aku tidak ingin banyak lelaki menikmati dan mengespose bagian tubuhmu," ucap Adrian.

"Pergi, dan bawa ocehan nggak pentingmu!" usir Mawar penuh penekanan.

"Baiklah, aku akan pergi. Coba kamu pikirkan ulang, sayang. Sebelum menyesal," ucap Adrian.

Adrian pun keluar dari apartemen Mawar, lalu Mawar mengunci Apartemennya rapat-rapat. Ia ingin segera pergi dari lelaki brengsek itu.

Mawar hanya bisa duduk di sebuah sofa sambil memangku Farhan. Ia merasakan hancur saat mengingat masa lalunya, ia menjadi kehilangan keluarganya hanya, karena kebodohannya saat itu. Bahkan, kehilangan sosok mas Firman yang selalu mendukung dan melindunginya.

Sebuah potret keluarga yang terbingkai dalam sebuah pigora. Yang sengaja Mawar letakan di atas meja sebelah sofanya.

"Seandainya saja, aku bisa mengulang waktu itu, mungkin aku bisa bahagia bersama kalian. Karena, rumahku keluargaku," batin Mawar meneteskan air matanya yang terurai.

Mawar sangat merindukan sesosok abi, umi, dan abangnya. Ia sangat sayang mereka, tapi waktu mengubah semuanya menjadi sebuah duka yang mendalam.

*


next chapter
Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C26
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión