Kimberly dan Nathan akhirnya duduk di bawah pohon apel sambil menikmati semilir angin yang berembus di kebun itu. Keduanya tak saling bicara dan hanya menikmati aroma buah apel yang semerbak karena tersapu oleh hembusan angin.
"Apa kebun apel ini milik orang tuamu?" tanya Kimberly dengan suara yang lembut dan mendayu. Ia tak ingin merusak keheningan dan suasana teduh saat ini.
"Lima puluh persen lahan di kota ini adalah milik ayahku," jawab Nathan.
Kimberly tersenyum getir. "Aku pernah menonton serial di televisi tentang bagaimana cara mafia mendapatkan tanah."
"Apa yang diceritakan di serial itu? Aku penasaran, apakah sama seperti di dunia nyata?" sahut Nathan.
"Bukankah para mafia biasanya merampas tanah penduduk yang tidak bisa membayar hutang?" Kimberly mulai menebak-nebak.
"Ayahku tidak meminjamkan uang kepada penduduk. Dia tak tertarik berurusan dengan orang yang tidak akan memberikan keuntungan untuknya," jawab Nathan.
"Bagaimana rasanya menjadi anak seorang mafia?" tanya Kimberly. Kimberly bertanya seperti itu tanpa menatap Nathan. Ia justru fokus menikmati pemandangan kebun ini.
"Sama seperti anak-anak orang tua yang lain," jawab Nathan singkat. Ia lantas menoleh ke arah Kimberly dan menatapnya dengan serius. "Bagaimana serial itu menceritakan kehidupan mafia?"
"Dari serial yang kutonton, seorang pimpinan mafia adalah seseorang yang sangat menyayangi keluarganya. Meskipun terhadap orang lain dia sangat kejam," jawab Kimberly.
Nathan tersenyum kemudian tergagah mendengar apa yang dikatakan oleh Kimberly. Tentu saja Kimberly merasa malu karena Nathan menertawakannya.
"Memangnya tidak seperti itu?" tanya Kimberly. "Kalau tidak seperti itu maafkan aku. Aku hanya menceritakan apa yang ada di film." Kimberly tak ingin Nathan tersinggung.
"Aku tidak tahu apa itu menyayangi. Sejak dari kecil, aku sudah melihat seseorang dibunuh atau mayat bergelimpangan entah itu di halaman belakang atau di halaman depan rumahku. Terkadang aku melihat seorang pria yang babak belur setelah masuk ruangan ayahku. Beberapa kali Jimmy juga melakukan yang mirip dengan ayah," kata Nathan.
Kimberly menatap Nathan. Seharusnya setelah mendengar cerita Nathan, ia merasa takut. Tapi kenapa Kimberly merasa kasihan kepada pria ini.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau akan terpesona padaku," ucap Nathan seakan meledek Kimberly.
Kimberly tidak bisa menanggapi pertanyaan Nathan. Dia tahu kalau dia tak pantas untuk mengasihani Nathan. Padahal dirinya sendiri pun sangat mengenaskan setelah kepergian sang ayah.
Nathan menyadari tatapan Kimberly bukan tatapan takut atau curiga. Ia menyadari ada kesan lain dari sorot mata gadis yang baru beberapa hari ia kenal itu.
"Tidak, tidak!" Nathan menggelengkan kepalanya seakan menyadari maksud dari tatapan Kimberly. "Jangan mengasihaniku! Jangan!"
"Maafkan aku!" Kimberly segala berdiri dari posisinya. Ia tahu ia tak boleh mengasihani Nathan. Kimberly sadar suatu saat Nathan pasti akan menjadi seperti sang ayah. Dan bisa saja Nathan menjadi sosok yang lebih mengerikan dibandingkan ayahnya saat ini. Tak seharusnya ia mengubah pada seseorang yang akan menjadi monster.
"Ayo, kuantar kau pulang," kata Kimberly tiba-tiba.
"Aku paham maksud tatapanmu. Kau terlalu berani, Nona Kimberly Watson. Kau tahu kan kau berhadapan dengan siapa?" Nathan memberikan peringatan kepada Kimberly.
"Maka dari itu aku menghentikannya!" kata Kimberly.
"Kau ingin bercinta denganku di sini?" Tiba-tiba saja Nathan mengatakan hal yang tak masuk akal. "Dengan begitu, kau akan lolos dariku."
"Kau tak ada bedanya dengan temanmu tadi. Yang kau pikirkan hanya tidur dan tidur saja dengan wanita. Apa kau tak bosan setiap hari mengencani wanita yang berbeda?" pekik Kimberly.
"Lebih baik daripada kau yang tidak pernah berkencan dengan sama sekali. Kau sangat kampungan!" kata Nathan yang kemudian berdiri dan berjalan. Ia menyusuri jalanan di tengah kebun itu.
Kimberly mengikuti Nathan dengan perasaan kesal. Bagaimanapun ia sudah terikat perjanjian kalau ia harus melayani Nathan sebagai seorang pelayan.
Mereka kembali tak bicara saat berjalan. Setelah beberapa menit mereka berjalan, terlihat kediaman rumah Nathan yang begitu besar. Sekarang Kimberly menyadari kenapa Nathan sering sekali berada di kebun apel itu.
"Jadi rumahmu terhubung dengan kebun apel ini dan juga dengan rumahku?" ucap Kimberly.
"Aku sudah sampai. Kau pulanglah," kata Nathan dengan santai.
"Kau ingin aku pulang sendiri melewati kebun apel ini?" tanya Kimberly panik. Hari sudah kian sore dan tak ada siapa pun di dalam kebun tadi. Bagaimana Nathan begitu tega membiarkan Kimberly pulang sendiri.
"Kebun apel ini adalah tempat paling aman di kota ini. Tak akan ada siapa pun yang menyakitimu."
"Tetap saja itu adalah hamparan kebun yang kosong. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kau ingin aku berjalan seorang diri!" protes Kimberly.
Nathan mengambil sesuatu dari dalam kantongnya. Seperti sebuah lampu kecil yang biasa digunakan untuk aksesoris.
"Gunakan ini saat matahari sudah tenggelam," kata Nathan begitu santai. Ia benar-benar tak terlihat khawatir kepada Kimberly.
Kimberly menoleh ke belakang ia melihat kebun apel itu yang kosong seolah mirip hutan angker yang ada di film horor. Ia lantas menoleh ke arah Nathan, dengan wajahnya yang panik dan ketakutan.
"Tak bisakah kau berbelas kasih padaku? Paling tidak tunjukkan jalan lain!" tanya Kimberly.
"Kau bisa lewat jalan depan rumahku, tapi jaraknya akan jauh. Kau harus memutari dua desa untuk sampai ke rumahmu," kata Nathan.
Kimberly tertawa. Bukan tertawa karena senang tapi lebih karena putus asa. Kenapa ia mudah sekali ditipu oleh pemuda ini?
"Kenapa tidak ada yang beres selama aku pindah di sini?" keluh Kimberly. Matanya berair seolah ingin meneteskan air mata. Tapi sepertinya Kimberly masih bisa menahannya di depan Nathan.
"Kalau kau ingin kuantar, kau harus tidur denganku malam ini. Setelah selesai, aku akan mengantarmu pulang," ucap Nathan sambil tersenyum.
"Kau gila Nathan! Aku bukan gadis murahan!" Kimberly jelas tak terima dengan ucapan Nathan.
"Aku tahu. Karena itulah aku menggunakan cara ini untuk mengikatmu. Karena jika kau adalah gadis murahan, kau sama sekali tidak menarik bagiku," ucap Nathan. Tatapan matanya sungguh tak bisa ditebak. Satu sisi terlihat tajam. Tapi ada bagian lain terasa menggoda.
Kimberly bingung. Seharusnya dia tidak mengikuti Nathan tadi saat sudah sampai di rumahnya. Kenapa dia bodoh sekali?
"Baiklah. Aku akan pulang sendiri!" kata Kimberly dengan penuh percaya diri.
"Kau yakin?" tanya Nathan.
"Ya." Kimberly lantas berbalik. Ia mencoba memberanikan diri. Melihat jalanan menuju kebun yang sudah mulai ditinggalkan oleh sinar matahari sedikit membuat Kimberly goyah. Tetapi ia teringat kalau ia tak mungkin menyerahkan harga dirinya begitu saja kepada Nathan.
Kimberly mulai melangkah meninggalkan Nathan. Ia mencoba memberanikan diri melangkahkan kakinya.
"Kau benar-benar akan pergi?" tanya Nathan.
"Kau tak lihat kakiku sudah hendak pergi!" ucap Kimberly penuh emosi.
"Kalau begitu berhati-hatilah," kata Nathan sambil melangkah masuk ke area rumahnya.
Kimberly terperangah karena Nathan tidak menghentikannya. Bagaimana bisa seorang pria membiarkan wanita melewati kebun yang gelap seorang diri begitu saja?
Mau tak mau Kimberly pun melangkah seorang diri menyusuri kebun itu. Baru beberapa meter melangkah, dia sudah mendengar suara serangga yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Di ibukota ia tidak pernah mendengar suara serangga seperti ini. Bahkan tadi saat berjalan bersama Nathan, ia merasa tak mendengar ada suara apa pun. Kenapa setelah sendiri semuanya jadi terasa muncul.
Bersambung ....