"Aku akan mengecek CCTV. Kamu bilang Disya ...." Nadira tidak melanjutkan ucapannya.
"Jangan macam-macam kamu! Awas saja kalau kamu mengatakan yang tidak-tidak tentang Disya."
"Ya, ya ... bucin. Oh ya, untuk keamanan aku akan memasang CCTV di ruanganmu, atas izin staf rumah sakit." Nadira mengecek CCTV sementara Radit mencari Disya.
"Disya, semoga kamu baik-baik saja. Huft ... aku sangat mencemaskanmu."
Radit mencari ke di rumah sang kekasih, tak kunjung Radit menemukan kekasihnya.
"Ya Allah, semoga Rayyan tidak menyakitinya. Disya belum tahu kebusukan Rayyan. Jadi tidak mungkin Rayyan macam-macam. Semoga, huft ...."
Radit mencari ke rumah Rayyan dia tidak menemukan Rayyan. Dengan putus asa dan gelisah Radit bingung harus mencari kemana lagi. Dia tidak dapat berpikir dengan jernih. Perasaan rindu akan Oma membuat dia pulang ke rumahnya.
"Sayang ... sebentar lagi kita akan memilki kekayaan ini." Mendengar suara seorang pria di kamarnya Radit segera pergi ke kamarnya.
"Sayang, aku sangat merindukanmu. Sudah sangat lama aku menantikan ini. Muahc!"
Suara seorang wanita di dalam sana membuat Radit tak bisa melangkah, lemah luluh lantah tidak berdaya, seketika itu pula bola matanya kesana kemari dan mulai berkaca-kaca. Dia terlihat tidak ingin memastikan takut kecewa dan hancur. Tertunduk tidak berdaya di depan kamarnya.
"Muahc, muahc, muahc, hehehe. Aku rindu kamu Disya, aku sangat rindu kamu."
Radit menutup telinganya dan butir kristal pun jatuh dari kelopak matanya.
"Akhirnya ... akhirnya ... tujuan kita sampai. Tunggu sebentar lagi setelah aku memindahkan seluruh kekayaan Radit untuk kita sayang. Disya ... muahc!"
"Ih, geli tapi tetap candu. Aaaa kamu sangat tampan bibirmu ini membuat aku sangat ... tidak bisa dikatakan lagi. Aku tiba-tiba teringat kamu mencium bibirku saat SMA bahkan ketika aku sudah menjadi kekasih Radit. Kamu memang kekasih gelapku, tetapi hanya kamu yang membuat aku tidak berdaya. Ray ... aku sangat cinta. Aku cinta kamu Rayyan!"
"Aku tahu itu Sya, muahc!"
Hancur berkeping-keping rasanya, sesak di dalam dada hingga terasa tidak ada ruang untuk bernapas.
"Maafkan aku yang terlalu lama membiarkanmu di dalam pelukan Radit. Sayang, mulai sekarang waktu kita untuk bersama sangat panjang. Dan ... bisakah sekarang kamu memberikannya sekarang? Aku menantimu sekitar sepuluh tahun tolong berikan hadiah yang setimpal dengan cinta." Suara Rayyan itu membuat Radit menatap tajam.
Kepalan tangan tergenggam kuat, Radit memutuskan untuk berdiri. Dia memutuskan melihat kelakuan kekasih dan sahabatnya di dalam kamarnya.
Radit masuk ke dalam kamarnya. Melihat Disya menunjukkan keseksiannya. Lekuk tubuh yang menggoda membuat Rayyan menyerangnya. Adegan panas terjadi di depan mata Radit. Sangking sakit hatinya Radit air matanya membeku dan tidak memetes.
"Aku rindu kamu, aku sangat merindukanmu, muahc! Aku cinta kamu, sangat cinta. Cinta ..." Disya mencium pipi Rayyan. Keduanya saling menatap. Radit yang ada di situ duduk dan terus menyaksikan mereka walau serasa badannya terbakar, Radit tetap tidak pergi.
"Ray, kamu yakinkan Radit tidak akan hidup. Setelah ini kamu akan membunuhnya kan?" tanya Disya menatap sambil membelai pipi Rayan.
"Murahan tidak bermoral!" Radit menatap mereka.
"Kamu tenang, rencanaku sangat epik. Tidak mungkin gagal, setelah rumah ini menjadi milik kita, semua asetnya. Aku akan segera menghabisinya. Kita akan hidup bersama dengan kekayaan dan kebahagiaan." Rayyan lalu mengecup kening Disya.
Keduanya terus bermain di hadapan Radit. Sejenak Disya menahan Rayyan.
"Kamu tidak meragukankukan? Aku hanya memberikan ini kepadamu. Aku sama sekali tidak pernah macam-macam dengan Radit. Pria kaya itu tidak pernah meminta untuk bercinta." Disya meyakinkan Rayan. Rayyan pun tidak peduli lalu mengecup Disya dengan agresif.
"Itu karena aku menghargaimu sebagai seorang wanita. Aku menghormatimu. Tetapi kamu hina. Sangat hina. Huft ... ruginya aku." Radit yang masih sangat terluka, kecewa dan sangat sedih segera pergi dari kamarnya.
"Aku tidak akan pernah rela jika hartaku digunakan untuk hal yang tidak benar. Kalau pun aku memang harus mati ya Allah, aku berharap bisa menggunakan hartaku dengan baik di jalanMu. Beri hamba umur ya Allah, beri hamba waktu untuk menyelesaikan masalah ini. Hamba sangat ikhlas jika nantinya hamba meninggal, tetapi hamba tidak rela meninggalkan harta untuk orang-orang munafik dan serakah. Huft ..."
Sejenak Radit menatap langit luas. "Hah ...! Bodoh. Aku sangat bodoh. Benar kata Nadira kebucinan membutakan dan ini sangat merugikan. Ya, semua kata Nadira sangat benar. Sisi positif dari Rayan sang penghianat memang tidak ada, dari Disya si penjilat juga tidak ada. Ah ... ini adalah penyesalan. Est, mungkin ini adalah hikmah dari koma ku." Radit tidak henti bergumam.
"Ayo ... berpikirlah, berpikirlah ... bagaimana cara agar milikku tidak menjadi milik Rayyan. Ayo ... huft. Tidak ada rasa malu lagi saat ini. Yang terpenting semua kekayaan tidak jatuh ke tangan pengkhianat. Nadira maaf aku akan merepotkanmu lagi."
Radit segera menemui Nadira. Di sana terlihat seorang pria menggandeng tangan Nadira dengan paksa.
"Lepas! Orang tuaku memang memintamu untuk menikahiku, tapi aku tidak mau menikah denganmu! Apa kurang jelas. Bukankah kamu orang pintar?! Seharusnya kamu mengerti dengan kata-kataku! Aku lelah berhubungan denganmu dan aku minta kamu tidak perlu menganggap serius omongan kedua orang tuaku." Nadira melepas kasar gandengan tangan itu.
Nadira segera menelpon. "Halo Ibu, aku minta maaf. Aku sangat minta maaf." Suara Nadira terpecah air matanya berlinang. "Ibu, jangan memaksaku untuk dinikahinya, jika ibu melakukan itu mungkin aku akan pergi dari rumah. Maaf ... aku sangat tersiksa. Ibu tolong mengerti, orang pilihan ibu itu bukan pria bertanggung jawab. Dia mempermainkan wanita dengan mudahnya. Wanita adalah orang terhormat dan mulia, aku bukan sosok yang mudah dirayu. Ibu tolong percaya kepadaku jika dia itu pria pemuas nafsu!" Nadira memutus teleponnya.
Dia berjalan cepat dan menangis. Radit mengikutinya. "Jangan mengikutiku! Jangan ada di sampingku saat aku sedang seperti ini. Datanglah ketika aku tidak menangis seperti ini." Perkataan Nadira membuat Radit tidak berani melangkah.
Radit membiarkan Nadira sendirian. Nadira menangis sepuasnya. Radit dari kejauhan tetap melihat Nadira. "Gadis yang selama ini aku anggap murahan, ternyata dia malah sangat berharga. Hah ... ya Allah, segala keburukan Disya tertutup karena cinta. Cinta buta yang begitu mendalam merusak kebaikan. Ah ... setidaknya sekarang aku tahu orang-orang keji berada di dekatku bahkan sangat aku percayai. Sangat sulit aku menerima namun seperti itu kenyataannya." Radit terlihat berfikir.
"Kira-kira berapa tahun aku dibodohi oleh mereka? Jelas sangat lama. Kenyataan ini sangat menyakitkan," gumam Radit bertanya-tanya.
"Pasti sudah sangat lama. Aku harus memberi pelajaran yang setimpal. Akan tetapi tanpa bantuan Nadira pasti akan sangat sulit membalas mereka."