"Ingat ya, di sekolah yang baru kamu jangan berbohong lagi sama teman-teman kamu. Ibu capek kalau harus ngurusin kamu pindahan sekolah mulu!" pesan Mira pada anak perempuannya, Nisa.
Sambil bersungut, Nisa pun mengangguk menanggapi sang ibu. "Iya iya." Lalu menyalami Mira dan berpamitan setelah menerima uang saku tentunya.
Nisa menunggu bus di halte yang tak jauh dari kompleks tempat sang ibu bekerja. Tak banyak orang disana, hanya ada seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran dengannya. Membaca buku sambil mendengarkan musik. Setidaknya itu yang dipikirkan Nisa melihat headset yang terpasang di telinga pria tersebut.
Tak lama menunggu, bus yang ia tunggu pun tiba. Tanpa memperdulikan sosok yang dilihatnya tadi, Nisa pun langsung menaiki bus dan duduk di bagian belakang. Karena hanya ada 2 bangku kosong yang tersisa. Ia memilih duduk di sisi dekat jendela, agar bisa menikmati angin pagi segar yang menerbangkan anak rambutnya yang tidak terikat. Merasa ada yang menyenggol sikunya, Nisa melirik ke arah di sebelahnya. Hanya anak laki-laki yang tadi menunggu di halte rupanya. Ia mengedikkan bahu tak acuh dan kembali menikmati pemandangan selama perjalanan ke sekolah barunya.
Ya, ini adalah sekolah ketiga Nisa setelah sebelumnya ia merengek pada ibunya minta dipindahkan. Karena kebiasaan buruknya yang suka berbohong, ia sering di-bully oleh teman-teman sekolahnya setelah ketahuan. Meski pada awalnya ia cuek saat di bully, tapi belakangan ia merasa teman-temannya mulai keterlaluan. Membuatnya harus merengek lagi pada sang ibu.
Tanpa terasa Nisa sudah sampai ditempat tujuan. Membuatnya harus mengakhiri lamunannya yang mengenang kejadian buruk di sekolah lamanya. Namun yang aneh, anak laki-laki yang tadi ia lihat di halte dan juga duduk bersisian dengannya terus mengikutinya. Membuatnya mulai risih dan curiga. Kalau orang itu suruhan teman-temannya yang lama untuk mengerjai dirinya. Nisa mempercepat langkahnya, namun pria itu tetap mengikutinya hingga ke gerbang sekolah.
"Hei lo, berhenti ngikutin gue! Atau gue bakal teriak kalau lo punya niat jahat sama gue!" ancam Nisa.
Dengan mata melotot kening berkerut alis bertaut, pria yang Nisa maksud malah menoleh ke kanan dan kiri. Lalu tanpa bersuara menunjuk dirinya sendiri.
"Iya lo. Memangnya ada siapa lagi disini?" Karena memang hari masih terlalu pagi, sekolah masih sepi karena para murid belum berdatangan.
Pria itu tidak menggubris lagi ucapan Nisa. Dengan wajah dingin ia berlalu meninggalkannya dan melewati gerbang sekolah. Membuat Nisa menggeram dan setengah berlari mengikutinya.
"Selamat pagi Den Ameer," sapa satpam yang sejak tadi sudah berdiri di depan posnya. Mengamati tingkah Nisa dan Ameer.
Hanya dibalas dengan anggukan kepala, Ameer melanjutkan langkahnya. Menyisakan Nisa yang heran kenapa pak satpam bisa mengenalnya. "Bapak kenal sama dia?" tanyanya.
"Siapa yang ngga kenal Den Ameer, Neng! Dia murid paling pintar di sekolah."
"Hah? Murid? Mampus gue!" Nisa menepuk jidatnya. Ia tidak menyadari pria tadi seorang murid karena menggunakan jaket hoodie yang menutupi hingga kepalanya.
"Neng murid baru di sekolah ini ya?" Satpam yang di seragamnya tertulis nama Suparman itu kembali bertanya pada Nisa.
"Iya Pak. Maaf ruang guru disebelah mana ya, Pak?"
Setelah mengetahui dimana lokasi ruang guru, Nisa berjalan ke arah yang tadi di tunjuk Suparman setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih. Nisa berjalan sambil mengamati setiap ruangan yang ia lalui Sekolah ini memiliki bangunan 3 tingkat yang jauh lebih besar dan luas dibandingkan sekolah Nisa sebelumnya yang hanya 2 tingkat saja. Maklum saja, karena sekolah ini masuk ke daftar 10 besar sekolah paling populer se-kabupaten. Belum lagi murid-muridnya yang terkenal pintar-pintar dan dari kalangan elite. Setidaknya itu yang Nisa dengar selama ini.
Nisa menemui guru yang kelak akan menjadi wali kelasnya yang bernama Bu Sri. Berdasarkan nilai ulangan Nisa di sekolah yang lama, ia ditempatkan di kelas urutan paling akhir. Karena kelas urutan pertama khusus untuk murid yang memiliki IQ diatas rata-rata atau bisa dibilang pintar. Sementara Nisa, selain IQ nya termasuk dalam kategori standar, baginya sekolah hanya formalitas. Sehingga belajar berada diurutan paling terakhir prioritasnya.
"Selamat pagi!" sapa ibu Sri wali kelas XII IPa-5. "Hari ini kita kedatangan siswi baru. Silahkan perkenalkan diri!" lanjutnya pada Nisa.
Nisa yang sedari tadi hanya diam mulai memperkenakkan dirinya. "Nama saya Tenzara Nisa Ardita. Biasa dipanggil Nisa."
Setelah memperkenalkan diri dengan singkat, Bu Sri mempersilahkan Nisa untuk duduk. Nisa sendiri memilih kursi kosong yang ada di pojok dekat jendela. Baginya terasa menyenangkan bisa melihat pemandangan keluar jendela. Namun yang aneh ia langsung mendapatkan tatapan keheranan dari para murid yang lain. Seolah tatapan yang melarang dirinya untuk duduk di situ. Tapi Nisa tak acuh dan dengan tenang menduduki tempat barunya.
***
Bel berbunyi nyaring yang menandakan waktu istirahat telah tiba. Kelas yang tadinya nampak penuh mulai terlihat sepi ditinggal penghuninya. Entah itu ke kantin, ke perpustakaan atau ke taman belakang sekolah yang menjadi tempat paling asyik untuk anak laki-laki menghabiskan waktu istirahat mereka dengan membuat onar.
Nisa baru saja hendak beranjak sebelum beberapa teman menghampirinya.
"Kenalin nama gue Diana." Seseorang bernama Thalita mengulurkan tangannya dan disambut hangat Nisa.
"Gue Rani."
"Gue Tari."
Nisa pun mengulurkan tangan menyambut perkenalan ketiga teman barunya yang dilihat dari penampilan mereka berasal dari keluarga yang berada.
"Oh ya Lo tinggal dimana?" tanya Rani. Sementara yang lain mengangguk menatap Nisa menunggu jawaban.
"Hmm di kompleks Taman Cempaka Indah," jawab Nisa.
"Wah berarti lo anak pengusaha dong! Komplek itu kan terkenal dengan para penghuninya yang rata-rata pengusaha." Rani melanjutkan, "keluarga lo usaha di bidang apa?"
Mendengar pertanyaan Rani, Nisa ragu untuk menjawabnya. Bagaimana ia menjelaskan bahwa ibunya hanya seorang asisten rumah tangga kepada teman barunya? Bagaimana kalau ia diejek lagi hanya karena anak dari seorang pembantu? Tapi pesan sang ibu yang memintanya untuk berhenti berbohong langsung memenuhi isi jepalanya.
"Hmm.. anu..."
"Ehh Ameer lewat.. Ameer lewat.."
Teriakan salah seorang siswi dari depan kelas mengalihkan ketiga teman baru Nisa yang langsung berlari keluar kelas. Membuat Nisa bisa bernapas lega karena bisa lepas dari pertanyaan Rani.
Sementara di luar kelas, para siswi heboh dengan sosok pria yang baru saja lewat. Bagi mereka, hanya melihat Ameer dari dekat seperti ini saja sudah membuat mereka senang. Karena tidak mudah untuk dekat dengan Ameer yang selalu menutup diri dari teman-temannya. Terlebih jarak kelas XII IPA 5 dan XII IPA 1 berjarak lumayan jauh yang menjadikan momen melihat pria itu sedikit langka.
Berbeda dengan teman-temannya yang terlihat kagum dengan sosok Ameer, Nisa malah melotot kaget saat tanpa sengaja pandangan mereka bertemu untuk seperkian detik. Memori di otaknya langsung memutar kejadian tadi pagi saat ia malah menuduh pria itu membuntutinya.
"Ya ampun ganteng banget sih." Tari menggigit jarinya mengagumi ketampanan Ameer yang tidak akan ditampik hampir seluruh siswi di sekolah.
"Ho'oh keren abis. Walaupun gue ngga pernah dengar suaranya tapi malah itu yang bikin gue setengah mati penasaran," timpal Diana.
"Cowok idaman banget," sahut Rani tak mau ketinggalan.
Mendengar segala pujian yang ditujukan untuk Ameer, Nisa hanya bisa mengerutkan dahinya heran. "Darimana gantengnya?" gumamnya pelan yang hanya bisa didengar dirinya sendiri.
"Lo ngomong apa dah ?" tanya Rani yang merasa seperti mendengar Nisa mengucapkan sesuatu.
"Hmm bukan apa-apa!" kilahnya. Takut kalau ia mengatakan baginya Ameer tidak setampan yang teman-temannya katakan itu malah akan menyinggung mereka.
"Yauda yuk ke kantin!" ajak Diana.
Nisa hanya mengekor teman-temannya menuju kantin yang letaknya berada di tengah gedung sekolah agar memudahkan para murid saat ingin beristirahat. Rani mengambil menu dan memesan makanan disusul dengan Diana dan Tari. Sementara Nisa, matanya nyaris keluar saat melihat daftar harga yang tertera di menu yang digenggamnya.
Eh busett. Bakso doang harganya semahal ini? Dagingnya diimpor dari New Zealand kali ya! Ini mah buat beli bakso mang Asep bisa dapet lima mangkok.
"Nis..Nisa.. Lo pesen apaan?"
Nisa terhenyak saat Rani menyenggol sikunya. "Hmm gue pesen Jus Alpukat aja deh. Gue belom laper," jawabnya berbohong. Karena sejak tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi.
"Oke. Gue pesenin dulu." Rani beranjak sambil membawa menu yang diambilnya tadi dan memesan sesuai pesanan teman-temannya.
Nisa hanya meringis menahan perutnya yang lapar. Bahkan jus alpukat yang ia pesan sudah tandas tak tersisa dan tidak mengenyangkannya sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi, uang sakunya hanya cukup untuk membeli jus alpukat yang harganya nyaris menyamai restoran bintang lima. Benar-benar membuat kantong saku jebol! Ia jadi bertanya-tanya bagaimana ibunya bisa memasukkan ia ke sekolah ini. Kalau makanan di kantinnya saja semahal ini, apalagi biaya bulanan sekolahnya. Ia harus menanyakan hal ini sepulang sekolah nanti.
Belum selesai Nisa melamunkan isi pikirannya, bel sudah berbunyi. Pertanda waktu istirahat berakhir. Nisa dan ketiga teman barunya pun bergegas kembali ke kelas.