"Kenapa kau diam saja, mendekatlah!" ujar Brian dengan senyum nakalnya.
"Bri..."
"Kau masih memanggilku dengan panggilan itu?" Brian mulai tertawa sinis.
"Jangan pecat aku, aku mohon. Katakan saja apa yang aku mau tapi sungguh aku sangat membutuhkan pekerjaan ini!" ujar Sandra dengan kepala tertunduk.
Seketika Brian yang awalnya sangat sinis kepada mantan pacarnya ini mendekat dan mengangkat dagu Sandra.
"Kemalangan apa lagi yang menimpamu?"
"Ayahku meninggal minggu lalu karena tabrak lari dan adikku sekarang sedang sekarat di rumah sakit,"
"Kecelakaan?" Ingatan Brian melayang saat dia menabrak seorang pemabuk saat bertengkar dengan tunagannya, dia tersentak dan lalu mengenali sosok itu sebagai ayah dari mantannya ini.
Sandra berlutut di hadapan Brian lalu dengan air matanya dia menegadah meminta tuan mudanya memberi belas kasih kepadanya, "Iya, malangnya hidupku. Aku mohon ijinkan kau tetap bekerja untukmu!"
Air mata Sandra berhasil menghapus kesinisan Brian dan membuat tuan muda ini memegang bahunya lalu mengangkat tubuhnya.
"Berdiri," perintah Brian dengan lembut.
"Iya, aku mohon. Katakan saja apa yang kau mau, tapi tolong..."
"Iya, aku mau. Tapi ada syaratnya," Brian menatap Sandra dengan tatapan nakal, "Kau harus siap membayar kebaikan hatiku ini!"
"Apapun, aku minta aku seperti kemarinpun tak apa, asal..."
"Kau yang menantangku, ya. Jadi jangan menyesal jika aku memintamu untuk..." Senyum sinis Brian kembali mengembang dan kali ini dia dengan lembut menyentuh kulit leher mulus Sandra perlahan.
"Tak masalah, asal kau..." Snadra masih menunduk saat tiba-tiba...
Brakkk...
Widuri membuka pintu dengan kasar dan dengan jelas dia melihat Brian sedang berada begitu dekat dengan Brian.
"Apa-apaan kalian ini, sudah aku bilang jangan dekat-dekat!" ujar tunangan Brian itu dengan marah.
"Hey, jangan marah-marah, Sayang!" tegas Brian lalu memeluk wanita cantik itu.
"Kenapa kau dekati dia, kau jatuh cinta dengannya. Haah!"
"Tidak, tentu saja tidak. Mana mungkin aku jatuh cinta pada gadis miskin sepertinya!" jelas Brian sambil tersenyum begitu manis di depan Widuri.
"Jangan berani-berani main di belakangku!"
"Hah, main belakang rasanya itu sudah terlambat, Brian sudah pernah bermain api denganku," Batin Sandra mulai bisa menertawakan keadaannya saat ini.
"Iya, Sayang. Dia hanya perawat lagi pula kini aku sudah pulih jadi dia di sini hanya untuk menghabiskan masa kerjanya saja!" rayu Brian agar Widuri tak semakin marah.
"Kenapa tak kau pecat saja dia sedari sekarang?" Nada bicara Widuri masih saja tinggi.
"Eh, kau sudah membayarnya untuk dua minggu ke depan. Mana mau aku menyuruhnya pulang sekarang!"
Deg...
Jantung Sandra terasa tak bisa bergerak, memang dia sudah di bayar kemarin saat dia bercinta dengan tuan mudanya tapi dia tak tau itu adalah total seluruh gaji yang seharusnya dia terima, jika itu uang gaji yang dibayar di muka lalu dari mana dia membayar biaya operasi adiknya.
"Baiklah, kalau kau tak mau rugi, dia boleh tetap di sini tapi ingat aku tak mau dia terlalu dekat denganmu!" tegas Widuri lalu meminta Sandra meninggalkan kamar Brian.
"Baik, aku akan pergi. Terima kasih kalian masih bersedia memberiku pekerjaan ini!" ujar Sandra kemudian berlalu menuju kamarnya.
Selama perjalanan menuju kamarnya, Sandra hanya bisa menunduk berharap ada jalan untuknya membayar biaya operasi adiknya yang kini sedang dirawat.
"Sandra," panggil seorang wanita dari belakang Sandra.
Wanita cantik ini lalu membalikkan badannya dan betapa kagetnya dia saat melihat Dira, adik sepupu Brian sedang berdiri di belakangnya dengan senyuman kaget.
"Hai, Dira..."
"Kenapa kau di sini?" tanya Dira lalu mendekat dan memeluk Sandra yang memang sahabatnya saat duduk di bangku SMA.
"Aku baik, maaf kita harus bertemu dalam keadaanku seperti ini!"
"Tak usah malu, ini pekerjaan halal kok, jadi jangan sungkan!"
Halal?
Sandra mengehela nafas panjang, Dira tak tau jika dia berhasil mendapatkan gajinya setelah bergulat di ranjang kakak sepupu Dira, "Hah!" Sandra tak berani menceritakan isi hatinya yang sedang kacau ini tapi wajahnya yang sendu berhasil membuat sahabatnya ini menarik tangannya menuju dapur.
"Ikut aku!" pinta Dira.
Mereka akhirnya tiba di dapur yang tak ada siapapun di sana, "Bagaimana kabarmu, ceritakan!" desak Dira sambil menuangkan air putih di sebuah gelas bening.
"Aku sedang kacau, aku butuh uang tapi aku tak tau harus mencarinya di mana?" jelas Sandra dengan wajah yang masih galau.
"Apa yang terjadi kepadamu, aku bisa pinjam kepadaku,"
"Jangan, aku sudah tak mau merepotkanmu lagi. Sudah biar aku bekerja untuk, Brian saja!"
Dira mengehela nafasnya, dia tau jika gadis di depannya ini cukup keras kepala sehingga dia tak akan mudah menerima bantuan dari siapapun, "Iya, aku tau siapa kau!"
"Ayahku meninggal minggu lalu dan sekarang adikku sedang di ICU, oh, aku harus bagaimana sekarang, Dira!"
"Apa, ayahmu meninggal? Kapan?" teriak Dira tak percaya.
"Minggu lalu,"
"Minggu lalu? Apa dia korban kecelakaan di dekat gerbang Alam Sutra?" cecar Dira seakan tau sesuatu.
"Iya, dia. Itu ayahku!"
"Oh, itu bukannya orang yang di tabrak, Brian?"
"Sungguhkan, Brian yang menabrak ayahku hingga meninggal!" tangis Sandra mulai mengumpul di matanya, rasanya dia ingin sekali mencekik mantan pacarnya itu untuk membalas dukanya saat ini.
"Mmmm, sepertinya iya. Karena setahuku kecelakaan minggu lalu hanya terjadi sekali dan itu adalah..."
"Oh, Dira. Aku harus bagaimana sekarang. Aku kini harus mengemis pekerjaan pada pria yang membunuh ayahku..."
Tangisan Sandra semakin merebak membuat Dira tak tega mendengarnya.
"Mmm, jangan sedih dulu. Kita pasti bisa bicara baik-baik kepada, Brian, agar dia mau membantumu mengobati adikmu!"
"Tidak, aku tak mau. Aku tak mau mengemis lagi pada pria angkuh itu," geram Sandra yang tak tahan lagi tinggal di rumah ini.
"Sandra, aku tau ini tak mudah tapi percayalah, keluargaku akan membantumu!"
Sandra sudah tak mau lagi mendengar apa yang dikatakan sahabatnya itu, dia lebih memilih untuk pergi dari pada tinggal bersama pembunuh ayahnya.
"Hey, kau mau kemana?" geram Brian saat melihat Sandra bersiap untuk pergi.
"Aku tak mau bekerja di sini lagi!" tegas Sandra dengan angkuh.
"Oh, kau mau pergi? Baiklah, tapi kembalikan dulu uangku!" ujar Brian lalu tersenyum sinis.
"Kau mau apa? Kau itu pembunuh ayahku!" tegas Sandra tak terima.
Plok...
Tangan Bria melayang menghantam bibir wanita cantik ini, pipi Sandra memerah dan air matanya kembali mengalir deras tak sanggup lagi menahan derita yang dia rasakan mendalam.
"Jangan panggil aku begitu, aku bukan pembunuh!" teriak Brian tak terima dengan tuduhan Sandra itu.
"Kau jahat!" teriak Sandra dengan air mata berlinang.