Tuan Muda Wang memang mewarisi sifat-sifat Ayahnya. Kelicikan dan kekejamannya sulit dicari tandingan.
Tidak berapa lama kemudian, Tuan Besar Wang keluar dari kamar anaknya. Langkahnya masih sama seperti pada saat dia masuk. Tapi sekarang, perasaannya telah berbeda.
Jika pada saat masuk tadi perasaannya tenang, sekarang justru sangat bergelora. Bukan bergelora karena kegembiraan, melainkan bergelora karena kemarahan.
Tuan Besar Wang paling tidak suka jika ada orang yang berani menghinanya. Jangankan gadis tidak terkenal seperti Mei Lan, bahkan kalau ada pesilat tersohor yang berani menghinanya pun, niscaya dia akan segera memberikan pelajaran kepadanya.
Apapun yang terjadi, dia pasti akan melakukannya.
Tanpa terasa, pagi hari telah berlalu sejak tadi. Siang hari sudah tiba. Matahari tepat berada di atas kepala. Hawa panas yang dipancarkan oleh Sang Surya terasa membakar kulit. Untunglah hawa panas itu sedikit berkurang karena adanya angin sepoi-sepoi yang tidak berhenti berhembus.
Di ruangan utama, setelah selesai mengurusi tugas-tugasnya sebagai Gubernur, Tuan Besar Wang sedang duduk di atas kursi kebesarannya.
Di depannya ada sepuluh orang-orang persilatan. Penampilan mereka mewah. Pakaiannya pun terbuat dari bahan yang mahal. Wajahnya sama-sama sangar. Masing-masing dari mereka tampak membawa senjata pusakanya tersendiri.
Sepuluh pendekar tersebut adalah orang-orang yang sengaja dipilih oleh Tuan Besar Wang untuk mencari gadis bernama Mei Lan.
Sebagai orang yang terpilih, tentu saja kekuatan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi, Tuan Besar Wang memang dikenal sebagai orang yang sangat teliti. Baik itu dalam hal kecil, maupun hal besar.
Ketika semuanya sudah siap, barulah Gubernur itu mulai menceritakan masalah yang sedang dihadapinya. Dia membeberkan semuanya dengan jelas dan gamblang. Maksudnya agar tidak menimbulkan berbagai macam pertanyaan dari sepuluh pendekar tersebut.
Sedangkan di posisi lain, ketika Tuan Besar Wang menjelaskan, sepuluh pendekar itu tidak ada yang bicara. Jangankan begitu, bahkan mengangkat kepala pun tidak berani. Mereka terlihat seperti seekor anjing yang penurut terhadap majikannya.
"Apakah sekarang, kalian sudah mengerti?" tanyanya setelah selesai menjelaskan.
"Kami semua mengerti," jawab mereka secara bersamaan.
"Bagus. Kalau begitu segera berangkatlah sekarang juga. Semua hal terkait sudah aku siapkan untuk kalian. Dan menyangkut masalah upah, kalian tidak perlu khawatir," kata Tuan Besar Wang dengan enteng.
Sepuluh pendekar tersebut kembali menganggukkan kepalanya secara bersamaan. Mereka semua percaya penuh terhadap ucapan Gubernur itu.
Memang, walaupun sifatnya seperti orang-orang aliran hitam, tapi sebenarnya Tuan Besar Wang adalah seseorang yang selalu memegang teguh janjinya sendiri.
Dari dulu hingga saat ini, dia tidak pernah ingkar janji.
Kalau sudah berjanji, maka dia pasti akan melaksanakan janjinya itu.
Beberapa menit kemudian, sepuluh pendekar yang terpilih tersebut akhirnya segera pergi dari ruangan utama. Mereka langsung berangkat menuju hutan di mana Mei Lan tinggal.
Langkah kesepuluh orang itu seringan kapas. Ilmu meringankan tubuhnya juga sudah sangat tinggi. Terbukti sekarang, baru sekejap saka, orang-orang tersebut sudah menghilang dari pandangan mata.
"Mei Lan. Hemm, aku ingin melihat apakah kau mampu menghadapi orang-orangku, atau tidak?" gumam Tuan Besar Wang sambil memandang langit-langit.
###
Sementara itu di tengah hutan, setelah tadi berhasil melukai Tuan Muda Wang dan empat anak buahnya, Mei Lan langsung kembali ke 'tempat tinggalnya'. Begitu sampai di sama, dia segera membakar dua ekor kelinci hutan tadi. Satu untuk makan siang, satu lagi untuk malan malam nanti.
Setelah menghabiskan waktu beberapa jam, akhrinya kedua ekor kelinci hutan itu matang juga. Mei Lan segera memakannya dengan lahap.
Sehabis makan kelinci, tidak lupa juga dia minum arak yang masih tersisa. Arak itu adalah arak keras yang dia beli beberapa waktu lalu ketika dirinya pulang dari kota untuk membeli keperluan lainnya.
Di zaman ini, arak bukanlah suatu hal yang tabu. Melainkan sudah menjadi sesuatu yang lazim. Siapa pun boleh minum arak. Baik itu pria, maupun wanita. Tua, atapun muda. Hanya saja memang, ebih banyak pria daripada wanita.
Mei Lan minum arak secara perlahan. Walaupun hanya arak keras, tapi gadis itu tetap menikmatinya.
Gadis itu minum seteguk demi seteguk. Mei Lan merasakan setetes demi setetes cairan arak yang memasuki tenggorokannya. Selang sesaat kemudian, pipinya mulai memerah. Matanya tampak sayu.
Bagi orang lain, jika sedang berada dalam kondisi seperti sekarang mungkin tingkat kewaspadaannya akan menurun jauh. Namun sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi Mei Lan.
Justru semakin banyak dia minum arak, malah semakin tinggi tingkat kewaspadaannya.
Entah kenapa dia bisa doyan arak. Yang jelas, dulu, Dewi Bunga Hitam juga mempunyai kebiasaan yang sama.
Tanpa terasa, matahari akhirnya lenyap dibalik bukit. Kegelapan mulai menutupi muka bumi. Arak yang tadi diminum oleh Mei Lan sudah habis. Tapi efek mabuknya belum juga hilang.
Udara mulai dingin. Keadaan hutan tiba-tiba ramai oleh suara burung-burung yang baru saja pulang ke rumahnya masing-masing. Suara binatang malam lainnya mulai terdengar pula.
Gadis cantik itu bangkit berdiri. Dia berniat masuk ke dalam goa lalu melanjutkan latihannya yang sempat tertunda. Seperti yang diceritakan sebelumnya, Mei Lan ingin melatih kitab warisan dan akan menjalankan tugas dari gurunya. Karena menurut perhitungan, waktunya sudah hampir tiba.
Tetapi, baru saja dia berjalan tiga langkah, sepasang telinganya yang taham tiba-tiba mendengar sebuah suara.
Suara langkah kaki. Jumlahnya ada beberapa. Dan meskipun suara langkah kaki itu masih cukup jauh, tapi Mei Lan sudah dapat memastikan bahwa suara langkah itu milik manusia. Bukan milik binatang seperti sebelumnya.
Keningnya mendadak berkerut. Kenapa di hutan ini bisa ada manusia lain, selain dirinya? Apakah mereka adalah pemburu?
Entahlah. Mei Lan tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya sendiri.
Namun, sebelum dirinya berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja dia merasakan adanya kehadiran manusia di dekatnya. Begitu membalikkan tubuh, ternyata benar, di sana sudah ada manusia.
Dalam jarak sepuluh tombak dari tempatnya berada, telah berdiri sepuluh orang manusia berpenampilan mewah dan berwajah sangar.
Mereka memandang Mei Lan dengan tatapan penuh selidik.
Siapa orang-orang itu? Di tengah hutan seperti ini, apa yang sedang mereka lakukan?
Sebenarnya Mei Lan ingin bertanya, tapi sebelum itu, satu orang dari mereka malah sudah bertanya lebih dulu.
"Permisi, numpang tanya, apakah benar Nona ini bernama Mei Lan?" tanyanya.
Suaranya lantang. Mulut orang itu tampak tersenyum. Sayangnya, Mei Lan dapat melihat bahwa senyuman itu bukanlah senyuman tulus. Melainkan senyuman yang dipaksakan.
"Benar, siapa pula Tuan-tuan ini?" tanya Mei Lan dengan cepat.
"Nona tidak perlu mengetahui siapa kami,"
Mei Lan semakin heran ketika mendengar jawaban tersebut. Setelah terdiam sejenak, kembali dia mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Hemm, apa yang sedang Tuan-tuan lakukan di tengah hutan ini?"