"Tombak Kilat!"
Wutt!!!
Tetua Huo mengeluarkan salah satu jurus andalannya. Tombak pusaka itu tiba-tiba bergerak secepat kilat. Menusuk ke beberapa titik penting yang terdapat pada tubuh manusia.
Tetua Jie sangat terkejut. Serangan itu datang begitu tiba-tiba dan tak terduga. Untunglah dirinya selalu berada dalam keadaan siap siaga. Sehingga walaupun sebelumnya sempat kaget, namun dengan segera kekagetan itu dapat teratasi.
Tetua itu menarik mundur tubuhnya. Bersamaan dengan gerakan tersebut, pedangnya juga ikut bergerak. Sekedar untuk menangkis ataupun mengirimkan serangan balasan sebisanya.
Benturan antar senjata pusaka kembali terjadi beberapa kali.
Kedua orang ketua itu adu jurus untuk sementara waktu. Di antara mereka tidak ada yang mau kalah. Keduanya sama-sama ingin emang.
Wutt!!! Wutt!!!
Sambaran angin tajam dan hawa pembunuhan semakin mendominasi halaman sekte. Kedua orang tersebut masih bertarung. Sesekali mereka malah bertarung di tengah udara.
Tiga Tetua Sekte Bulan Sabit Hitam masih berdiri di tempatnya masing-masing. Mereka sedang memperhatikan pertarungan itu dengan perasaan tegang.
Sedangkan di pihak lain, sepertinya dua ketua yang datang bersama Tetua Jie itu tampak sudah tidak sabar lagi.
Wushh!!!
Tetua Wu Kai dari Sekte Cahaya Emas turun tangan secara tiba-tiba. Tongkat pusaka miliknya dihantamkan ke tanah. Langit dan bumi langsung bergetar cukup keras.
Alam semesta seolah dilanda oleh gempa bumi yang dahsyat!
Dua orang Tetua yang tadi sedang bertarung sengit menjadi kehilangan keseimbangan. Untunglah mereka bisa mendapatkan kembali posisinya dengan cepat. Sehingga keduanya bisa melanjutkan lagi pertempurannya.
Sayangnya, sebelum pertempuran itu berjalan lebih lama lagi, tiba-tiba sebuah cahaya keemasan yang menyilaukan mata datang dari sudut lain.
Cahaya keemasan itu membawa hawa pembunuhan yang lebih pekat. Kecepatannya juga sulit untuk dibayangkan!
Wushh!!!
Trangg!!! Bukk!!!
Tombak milik Tetua Huo tiba-tiba berbenturan dengan benda yang sangat keras, selain itu, dia juga merasakan bahwa tenaga yang terkandung di dalamnya sangatlah besar.
Saking besarnya sampai-sampai Tetua Huo tidak mampu mempertahankan dirinya sendiri. Tombak pusaka terlempar cukup jauh. Tubuhnya juga sama.
Tetua Huo melayang bagaikan daun kering yang terombang-ambing tertiup angin musim kemarau.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Tetua Jie. Secara mendadak, dia pun melakukan gerakan kilat lalu langsung melesat menuju ke arah Tetua Huo yang sedang berada di posisi tidak menguntungkan tersebut.
Cahaya biru kembali memancar ke seluruh penjuru. Hawa kematian tiba-tiba bertambah pekat.
Mendadak Tetua Huo menoleh, dia hanya tersenyum getir ketika menyaksikan musuh sudah siap menebas lehernya.
Tetua Huo tidak berusaha melawan. Dia pun tidak berusaha menghindar. Dia hanya menunggu. Menunggu kematian benar-benar menjemputnya. Bukan karena sudah pasrah, bukan pula karena sudah bosan hidup, melainkan karena dirinya sudah tahu bahwa apa yang akan dilakukannya pasti hanya sia-sia semata.
Kalau sudah tahu sia-sia, lalu untuk apa pula dia harus membuang tenaga?
Wutt!!!
Bunyi pedang yang bergerak dengan cepat telah terdengar sangat jelas. Bunyi pedang itu bagaikan jeritan setan yang datang dari neraka.
Wushh!!!
Diluar pengetahuan Tetua Huo, sekelebat bayangan hitam mendadak menerjang ke tengah udara. Pedang milik Tetua Jie sudah bergerak sangat cepat, tapi ternyata, kecepatan bayangan hitam itu malah jauh lebih cepat lagi.
Crapp!!!
Semuanya langsung berhenti saat itu juga. Serangan yang akan dilancarkan oleh Tetua Jie, gagal dilayangkan. Sebab pedangnya kini telah tergenggam erat oleh seseorang yang mengenakan pakaian hitam mewah.
Orang itu berdiri di bawah sana. Dia membalik badan. Entah siapakah orang tersebut, yang jelas, dia benar-benar telah merebut pedang biru milik Tetua Jie.
Apakah ini mimpi? Bagaimana orang itu sanggup merebut pedang Tetua Jie?
Baik Tetua Jie, Tetua Wu maupun Tetua Mu Tong, semuanya memandang dengan tatapan tidak percaya.
Wutt!!!
Belum sempat ada yang bicara, tiba-tiba orang berjubah hitam mewah itu melemparkan pedang yang dia genggam ke pemiliknya semula.
Pedang lalu meluncur dengan sangat cepat. Saking cepatnya, bahkan orang awam tidak akan ada yang mampu melihatnya.
Tetua Jie menggertak gigi. Sepertinya orang itu ingin menguji kemampuan, pikirnya.
Wutt!!! Crapp!!!
Tetua Jie memutarkan badanya satu kali. Lalu dengan gerakan yang mantap, dia langsung mengayunkan tangan kanannya ke depan.
Untunglah usahanya tidak sia-sia. Dia berhasil menangkap kembali pedang pusakanya! Meskipun memang harus mengerahkan tenaga yang tidak sedikit.
Setelah pedangnya kembali, Tetua Jie kemudian kembali ke posisinya semula. Dia kembali berdiri di posisi sebelah kanan.
Entah bagaimana caranya pula, tahu-tahu orang serba hitam tadi telah berdiri berjajar dengan para Ketua Sekte Bulan Sabit Hitam. Bahkan Tetua Huo pun sudah berada di sana pula. Senjata pusakanya yang sudah terlempar, sekarang pun sudah kembali ke genggaman tangannya.
"Siapa kau?" tanya Tetua Mu Tong mewakili kedua rekannya.
"Yang seharusnya bertanya adalah aku. Siapa kalian? Kenapa berani sekali membuat keributan di sini?" tanya orang berjubah hitam itu dengan nada tidak bersahabat.
"Orang-orang itu sudah tahu siapa kami," jawab Tetua Wu Kai sambil melirik ke arah Empat Tetua Sekte Bulan Sabit Hitam.
"Siapa saja mereka?" tanya orang berjubah hitam itu kepada para ketua.
Tetua Ketiga Sekte Bulan Sabit Hitam kemudian memberitahu siapa saja ketiga orang tersebut.
"Terkait tujuannya, kami masih belum tahu. Karena mereka tetap mencari-cari Ketua Shi," kata Tetua ketiga dengan nada serius.
"Baiklah," katanya sambil menganggukkan kepala. "Sekarang, kalian urus dulu para murid yang terluka. Masalah mereka, serahkan saja kepadaku," lanjutnya.
"Kami terima perintah, Ketua," jawab empat orang Tetua itu secara bersamaan.
Sementara di sisi lain, tiga Tetua dari masing-masing sekte yang sengaja datang mencari masalah itu, sejak tadi memperhatikan terus orang serba hitam tersebut. Pandangan mata mereka tidak pernah lepas darinya.
"Hemm, apakah kau Ketua Pertama dari Sekte Bulan Sabit Hitam?" tanya Tetua Mu Tong sambil menatap dengan tajam.
"Benar. Perkenalkan, namaku Shi Jiu. Kalian boleh memanggilku Ketua Shi," katanya dengan nada dingin.
Ketua Shi sebenarnya adalah orang yang ramah. Sekali pun dia menjadi Ketua Pertama dari sebuah sekte beraliran hitam, tapi sebenarnya dia masih tahu sopan santun.
Hanya saja, sekarang ini merupakan pengecualian. Ketua Shi merasa tidak suka kepada mereka. Walaupun tiga orang yang ada di depannya sekarang berasal dari aliran putih, tapi apa yang telah mereka lakukan justru baginya sangat memalukan.
"Kenapa kalian melukai murid-muridku?" tanya Ketua Shi lebih lanjut lagi.
"Kami sedang mencarimu," jawab Tetua Mu Tong.
"Yang kalian cari adalah diriku, lantas kenapa yang kalian lukai malah murid-muridku? Apa salah mereka?"
Ketua Shi menatap tiga orang itu. Tatapan matanya mengandung kebencian yang teramat dalam. Pada bola matanya, seolah-olah ada api dendam yang mampu membakar semuanya.
"Kami berhak melakukan apapun yang kami mau," teriak Tetua Mu Tong dengan suaranya yang menggelegar bagaikan gemuruh guntur.
— Un nuevo capítulo llegará pronto — Escribe una reseña