"Baik, aku akan ikut kalian," katanya sambil menganggukkan kepala.
Dua orang pria itu juga mengangguk. Mereka segera membalikkan tubuhnya lalu mulai berjalan.
Mei Lan mengikuti mereka dari belakang. Entah ke mana tujuannya, karena dia sendiri tidak mengetahui secara pasti. Namun yang jelas, diam-diam gadis itu sudah mulai menyiapkan segalanya.
Bahkan Mei Lan pun sudah siap kalau sesuatu bakal terjadi terhadapnya.
Matahari sudah mulai condong ke sebelah barat. Kedua pria tadi baru berhenti berjalan setelah mereka tiba di sebuah rumah mewah yang besar dan megah.
Di antara bangunan yang telah dilewati selama perjalanan, rasanya bangunan ini adalah bangunan terbesar. Di luarnya terdapat sebuah gerbang berukuran besar. Di pinggir gerbang ada empat orang yang ditugaskan untuk berjaga.
Dua orang pria tadi berjalan menghampiri para penjaga tersebut. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sesaat kemudian, pintu gerbang tiba-tiba dibuka lebar-lebar.
"Mari masuk, Nona," ajaknya.
Mei Lan mengangguk. Dia segera mengikuti mereka kembali.
Selama perjalanan, gadis itu tidak banyak bicara. Dia selalu menuruti perkataan yang diucapkan oleh kedua orang pria itu.
Saat ini ketiganya sedang berjalan di sebuah halaman rumah yang luas. Selain luas, halaman itupun sangat indah. Di dalamnya terdapat beberapa taman bunga dan beberapa kolam ikan. Meskipun suasana tampak sepi, tetapi Mei Lan tahu bahwa di tempat tersebut penjagaannya bahkan lebih ketat daripada diluar.
Sebenarnya rumah siapakah ini? Kenapa dua orang pria itu membawanya kemari?
Setelah sekian lama berjalan, akhirnya dua orang pria tadi berhenti. Mereka berhenti ketika sudah tiba di halaman belakang.
"Nona silahkan tunggu di sini, nanti akan ada orang yang menemui Nona," kata salah satu dari keduanya.
Belum sempat Mei Lan menjawab, tahu-tahu mereka sudah menghilang dari pandangan mata.
Sekarang yang ada di sana hanya Mei Lan seorang. Gadis itu tetap berdiri sambil terus mengawasi keadaan di sekitarnya.
Tiba-tiba dia merasakan ada angin yang berhembus. Disusul kemudian dengan munculnya satu sosok dari balik kabut putih.
Sosok itu seorang pria tua. Wajahnya angker. Pakaiannya mewah. Dia muncul tepat di depan Mei Lan dalam jarak tiga tombak.
Pria tua itu berjalan ke arahnya. Langkahnya berhenti setelah jaraknya hanya tingal beberapa langkah.
"Kaukah gadis yang bernama Jiang Mei Lan?" tanyanya dengan datar.
Wajahnya tetap dingin. Dingin seperti bongkahan es yang tak dapat dihancurkan. Dari balik tubuhnya juga keluar sebuah aura yang sangat menekan. Untunglah level pelatihan Mei Lan sudah terbilang tinggi, sehingga dia tidak terpengaruh sama sekali.
"Benar. Aku Mei Lan, siapakah Tuan ini?"
"Hemm, apakah kau masih ingat dengan seorang pemuda yang beberapa waktu lalu sempat bertarung denganmu?" tanyanya kemudian tanpa menghiraukan pertanyaan Mei Lan sebelumnya.
"Apakah Tuan Muda Wang?" tanya Mei Lan memastikan.
Selama beberapa waktu lalu, dia tidak pernah bertarung dengan pemuda lain, kecuali hanya dengan Tuan Muda Wang.
Tapi, kenapa orang tua itu menanyakan hal tersebut?
"Benar, memang dia yang aku maksudkan," jawab di pria tua.
"Ya, aku sempat bertarung dengannya. Lalu, apa urusannya denganmu?"
"Tahukah kau, bagaimana nasibnya sekarang?"
"Aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah bertemu lagi dengannya,"
"Sekarang dia hanya bisa terbaring di tempat tidur,"
"Apakah dia mengalami luka?"
"Ya, dia mengalami luka cukup parah sehingga harus istirahat total selama enam bulan,"
Mei Lan langsung terkejut ketika mendengar jawaban tersebut. Kalau benar apa yang dibicarakan oleh orang itu, dia sungguh tidak menyangka bahwa ternyata dirinya sudah mampu melukai seberat itu.
Tapi yang menjadi pertanyaannya sekarang, sebenarnya siapakah orang tua itu? Kenapa pula dia membicarakan Tuan Muda Wang?
"Itu semua akibat ulahnya sendiri," jawabnya dingin.
"Tapi seharusnya, kau tidak perlu melukai seberat itu," kata pria tua tersebut.
"Aku sendiri tidak menyangka akibatnya akan seperti ini,"
"Benarkah?"
"Untuk apa aku berbohong?" Mei Lan memandangi orang tua itu dengan tajam. Setelah berhenti beberapa saat, kembali gadis itu mengajukan pertanyaan kepadanya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Aku Ayah dari pemuda itu," jawabnya dingin.
Mei Lan sangat terperanjat ketika mendengar jawaban tersebut. Bahkan dia sampai mundur satu langkah dibuatnya.
Kenyataan ini sungguh diluar dugaannya!
"Jadi, kau … kau …"
"Ya, aku Tuan Besar Wang. Wang Cun Yang," ucapnya penuh kesombongan.
Untuk sesaat, Mei Lan tidak mampu menjawab. Dia hanya bisa memandangi Tuan Besar Wang dengan tatapan sedingin es.
"Jadi, dua orang tadi adalah anak buahmu?" tanyanya lebih lanjut.
"Benar,"
"Sejak kapan kau mengikutiku?"
"Sejak kau baru keluar dari Hutan Larangan,"
Mei Lan tertegun. Itu artinya, pihak musuh sudah menguntit dirinya sejak awal.
"Apa yang kau inginkan?"
"Tahukah kau bahwa aku hanya memiliki seorang putera?" tanyanya tanpa menghiraukan pertanyaan sebelumnya.
"Aku tidak tahu," jawab gadis itu.
"Baik, aku akan bercerita sedikit," Tuan Besar Wang berhenti sebentar. Sekedar untuk mengambil nafas.
Setelah itu, dia kembali melanjutkan, "Aku hanya mempunyai seorang putera, dan dia bernama Wang Fu. Wang Fu adalah anak yang patut dikasihani, dia sudah ditinggal Ibunya sejak baru lahir,"
"Apakah Ibunya meninggal ketika dia selesai melahirkan?" tanya Mei Lan menyela ceritanya.
"Ya, dia meninggal tepat setelah melahirkan anaknya,"
Mei Lan manggut-manggut. Dia tidak bicara lagi. Gadis itu memilih untuk kembali mendengarkan cerita selanjutnya.
"Semenjak saat itu, Wang Fu aku rawat seorang diri. Sampai saat ini, dia bahkan masih aku rawat. Kau tahu, bahwa Wang Fu sebenarnya butuh sosok seorang ibu?" tanyanya sambil tersenyum getir.
Kesedihan jelas terlihat dibalik bola matanya. Tapi Tuan Besar Wang mencoba untuk tetap tegar. Dia tidak mau kelemahannya disaksikan oleh orang lain.
Baginya, orang lain hanya boleh tahu watak kerasnya. Bukan watak rapuhnya.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau menikah lagi?"
"Entahlah. Aku tidak ada minat untuk mempunyai istri lagi,"
Tuan Besar Wang kemudian berjalan mengelilingi tempat sekitar. Sepasang matanya memandang ke tempat jauh. Entah sedang mengingat masa lalu, atau juga sedang meratapi nasib anaknya.
"Aku lebih nyaman merawat anakku seorang diri. Oleh sebab itulah, aku sangat menyayanginya. Siapapun tidak boleh ada yang berani melukainya, walau hanya seujung rambut sekali pun,"
Nada bicaranya mulai berubah. Sepasang matanya berapi-api.
"Tapi sekarang? Sekarang secara tiba-tiba ada orang lain yang sudah berani membuatnya terluka parah dan merasakan kesakitan,"
"Tapi bukankah sudah aku katakan bahwa semua itu adalah karena perbuatannya?" kata Mei Lan tiba-tiba angkat bicara.
"Bukankah aku juga sudah mengatakan bahwa siapapun tidak ada yang boleh melukainya?"
Nada bicara Tuan Besar Wang semakin meninggi. Amarahnya juga mendadak naik ke ubun-ubun.
"Lalu, apa maumu sekarang?" tanya Mei Lan tidak mau membuang waktu.
"Aku mau kau merasakan apa yang dirasakan oleh anakku," tegas Tuan Besar Wang.