Descargar la aplicación
88.23% Amerta / Chapter 15: Dia tak datang

Capítulo 15: Dia tak datang

Suara dering ponsel terdengar, menandakan adanya panggilan masuk pada benda pipih yang tergeletak di atas kasur itu. Pada dering ke delapan, suara itu berhenti. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Cindy masuk dengan sepiring sandwich di tangan kirinya. Ia meletakkan piring itu di atas meja lalu mengambil ponsel Michaella.

2 missed calls voice.

"Woi Chel, ada yang nelfon!" panggil gadis itu.

Si empunya ponsel yang sedang berada di kamar mandi membuka sedikit pintu slide yang berembun karena terkena air hangat. Ia mematikan shower dan menyembulkan kepalanya.

"Ha? Kenapa? Ga kedengeran."

"Nih, Tante Rosa nelfon." Cindy menunjukkan layar ponsel kepada Michaella bersamaan dengan panggilan masuk yang ketiga.

"Angkat aja. Tanya kenapa." Michaella menutup pintu dan kembali pada kegiatannya. Cindy mengangguk. Ia pun menggeser tombol bewarna hijau.

"Halo?" ucap suara di seberang sana.

"Halo tante, ini Cindy. Michaella nya lagi mandi. Ada apa ya?" tanya Cindy.

"Oh pantes ditelfon gak diangkat. Main ke rumah tante, yuk. Tante buat sushi kesukaan kalian, lho."

"Wah.. Abis ini sih kita mau ke supermarket. Mungkin nanti pulangnya bisa mampir ke sana."

"Oh, oke deh. Jangan lama-lama, ya. Nanti tamago kesukaan kamu diabisin Alister lho, Cin. Ini aja dia udah nambah dua kali." Samar-samar terdengar suara Alister yang meminta untuk dibuatkan lagi.

"Awas aja kalo sampe Alister abisin," gerutu Cindy. "Ok, tan. Nanti kita usahain cepet-cepet ke sana."

"Mau dianter Alister sekalian aja gak? Biar dia ada kerjaan dikit, mumpung libur. Bisa jadi tukang angkut barang juga dia."

Cindy terkekeh pelan. "Wah, boleh tuh, tante."

"Ok, kamu tunggu aja, ya. Paling 20 menitan. See you Cin."

"Makasih tante. See you.."

Michaella mengeringkan tubuhnya dengan handuk putih yang tergantung di dalam kamar mandi. Ia keluar dengan handuk yang melilit tubuhnya.

"Apa?" tanya gadis itu.

"Tante Rosa buat sushi, nanti setelah dari supermarket kita ke sana. Oh iya, nanti Alister ke sini buat anterin kita belanja."

"Ooo okay." Michaella berjalan menuju walk in closetnya untuk berpakaian. Tak lama ia keluar dengan membawa dua shoulder bag di tangannya.

"Cocok yang cream atau sage?" Gadis itu mengangkatnya di kedua sisi tubuhnya.

Cindy mengalihkan atensinya dari acara talkshow yang ditayangkan di televisi. Ia mengamati penampilan gadis di hadapannya. Michaella memakai longsleeve bewarna broken white dan baggy pants bewarna sage green.

"Lu mau pake sepatu warna apa emang?" tanya balik gadis itu.

"White, maybe?"

Cindy mengangguk. "Ya udah, samain sama warna celananya. Biar pas."

"Okay." Michaella meletakkan kembali shoulder bag bewarna cream. Ia membuka laci dan pengambil kaos kaki bewarna putih dengan hijau pastel yang senada dengan warna pakaiannya lalu memakainya. Bersamaan dengan itu, ponsel Cindy berbunyi.

"Al udah di bawah. Ayo, cepetan." Cindy mematikan televisi dan mulai bangkit menuju pintu. Gadis itu turun ke bawah terlebih dahulu untuk membukakan pintu untuk Alister.

"Gak ada yang ketinggalan kan? Itu lu udah bawa?" tanya Cindy pada Michaella yang sedang memakai sepatunya di samping pintu.

"Udah. Ayo!" Michaella menangkap kunci yang dilemparkan Cindy. Ia mengunci pintu dan memastikannya sudah terkunci lalu pergi menyusul sahabatnya yang telah lebih dulu masuk ke dalam mobil sedan bewarna putih yang dikendarai Alister itu.

~~~

Setelah hampir satu jam lebih mereka menghabiskan waktu untuk membeli beberapa keperluan, kini mereka baru saja tiba di kediaman keluarga Keenan. Rosa langsung menyambut Michaella dan Cindy sesampainya mereka di sana. Alister meletakkan beberapa plastik belanjaan mereka di atas sofa lalu mengambil jaketnya yang tersampir di atas kursi dekat meja makan.

"Mau kemana Alister?" tanya Rosa ketika melihat putra sulungnya berjalan menuju pintu sambil memutar-mutar kunci motor di jari telunjuknya.

"Biasa, nongkrong."

"Jangan pulang malem-malem. Jangan ngebut."

Pemuda itu bergumam pelan sebagai jawaban. Ia membuka pintu lalu hilang dibaliknya.

"Ah, ini tante. Tadi kita beli blueberry cheese cake." Cindy menyerahkan paperbag bewarna coklat itu pada Rosa yang sedang mengambil piring.

"Wah, pasti enak tuh. Taro kulkas aja Cin." Rosa menunjuk tempat kulkas berada dengan dagunya.

"El mau onty buatin apa?" tanya Rosa pada Michaella yang duduk di depannya.

"Kea biasa aja, onty."

Rosa mengangguk. "Kamu, Cin, tamago aja atau sama yang lain? Ini telornya tinggal dikit juga," ucap wanita itu sambil memakai sarung tangan.

"Samain kayak Ella aja, tan." Cindy berjalan menuju dispenser lalu mengisi gelas di tangannya dengan air.

"Bian ga ikut makan, onty?" tanya Michaella setelah beberapa kali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah, namun ia tetap tidak menemukan pemuda itu.

"Lagi di taman belakang kayaknya."

"Ngapain?" tanya Michaella heran.

"Main burung."

"HAH?" Cindy memelototkan matanya. "M-main burung?" Detik itu juga raut wajah gadis itu berubah aneh.

Rosa melepas sarung tangannya. Ia mengibaskan tangan kirinya pelan. "Ish Cindy, pikirannya ya." Wanita itu tersenyum geli. "Itu, si om kemarin beli burung, katanya sih burung langka. Nah, karna om lagi pergi ke luar kota, jadi burungnya dititipin ke Ziel."

Cindy ber-oh ria. Michaella menggelengkan kepalanya mengetahui isi kepala Cindy beberapa detik yang lalu. Dasar mesum.

"Nih, ayo, makan." Rosa meletakkan piring berisi beraneka macam varian sushi di atas meja makan. Cindy menarik kursi di samping Michaella lalu duduk di sebelahnya.

"Eum, enak." Michaella mengangguk-anggukan kepalanya menyetujui ucapan Cindy.

"Mau tamago, Cin." Cindy menyumpit tamago di piringnya lalu menyocolnya dengan kecap asin yang ia campur dengan wasabi. Gadis itu mengarahkan sumpitnya ke arah Michaella yang sudah membuka mulutnya. Sedikit lagi sushi itu masuk ke mulut Michaella, sumpit itu segera berpindah haluan dan Cindy langsung melahapnya.

"Nggwak bwoleh," ucap Cindy sambil mengunyah tamago di mulutnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya memamerkan rasa lezat dari sushi dengan topping telur dadar itu.

"Ah, sialan," gerutu Michaella.

Ting tong!

Suara bel berbunyi membuat Rosa menutup majalah fashion yang sedang ia baca. Ia meletakkan kembali majalah itu ke rak lalu beranjak menuju pintu.

"Sebentar ya, tante bukain pintu dulu," ucap wanita itu sebelum menghilang di balik tembok.

Kedua gadis yang sedang makan itu bergumam pelan. Michaella bangkit dari duduknya, mengambil gelas lalu mengisinya di dispenser. Ia menenggak air di gelasnya sembari melihat-lihat ke arah taman belakang melalui kaca slide transparan yang membatasi ruang makan dan ruang santai dengan taman belakang. Tentu saja mencari si bungsu keluarga Keenan, Ziel.

Samar-samar terdengar pembicaraan Rosa dengan seseorang yang diyakini sebagai tamu. "... terima kasih. Allya gak perlu repot-repot.."

Mendengar nama 'Allya' disebutkan membuat Michaella dan Cindy saling bertatapan. Keduanya memasang raut wajah terkejut. Langkah kaki yang semakin mendekat membuat gadis itu panik.

"Ngumpet-ngumpet!" intruksi Cindy dengan suara pelan.

"Dimana?!" panik Michaella. Ia mengedarkan pandangannya. Toilet

Melihat Michaella yang sudah memasuki toilet membuat Cindy sedikit lega. Ia menetralkan detak jantungnya, berusaha untuk bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apapun.

"Oh iya, tante buat sushi. Kamu mau? Tante bikinin ya?" tanya Rosa ketika mereka sampai di meja makan.

"Ah, gak perlu, tante. Aku ke sini cuma mau kasih ini aja." Allya menyerahkan sekotak coklat bewarna keemasan pada Rosa.

"Ini Cindy, kenalin. Dia temen Ziel waktu kecil juga." Rosa memperkenalkan Cindy pada Allya.

"Allya." Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya.

Cindy mengangguk tanpa membalas uluran tangan Allya. "Cindy."

"Lho, Mi–"

"Tante, wasabinya masih ada gak? Aku mau lagi," ucap Cindy cepat. Walau tak setuju, ia harus bisa mengalihkan pembicaraan ini. Ia tak mau semua terbongkar sekarang. Tak seru.

"Ada kok. Ambil aja di kulkas."

"Ya udah tante. Allya pulang dulu ya," pamit gadis itu.

Rosa mengusap pelan punggung Allya. "Iya, terima kasih, ya."

Rosa mengantar Allya menuju pintu gerbang. Setelah melihat keadaan aman, Michaella memberanikan diri untuk keluar dari toilet.

"Woi, uda pulang kan dia?" tanya Michaella sambil berbisik. Cindy mengangkat jempolnya.

Michaella menghela napas lega. Tangan kanannya terangkat, menghantar air dari gelas yang masih di genggamannya ke tenggorokannya.

"Ella dari mana? Kok tadi gak ada," ucap Rosa yang baru datang tiba-tiba.

"Ha? Ngga kemana-mana kok. Ini, ambil minum," jawabnya gelagapan. Ia mengangkat gelas di tangannya.

"Oh.. tapi kok dari toilet? Kamu minum air wastafel?"

"Ha?" Gadis itu membalikkan badannya. Ia masih berada tepat di depan pintu toilet. "Oh itu, tadi Ella kan isi air di dispenser, terus kebelet pipis, uda ga tahan. Jadi Ella bawa aja, daripada nanti ngompol." Michaella melontarkan kekehan garingnya diikuti Cindy untuk meyakinkan Rosa.

"Ish, ada-ada aja kamu. Ayo, lanjut makan. Nanti keburu malem."

~~~

Rumah bertingkat dua ini terdengar ramai sejak satu setengah jam yang lalu. Sesuai rencana, mereka memutuskan untuk belajar bersama di rumah Michaella. Kisi-kisi yang mereka buat pun sudah hampir selesai. Namun, ada perasaan mengganjal dari tuan rumah yang tak bisa ia enyahkan sedari tadi.

"Ella, laper," ucap Kagendra yang menurut sahabat-sahabatnya tak tau diri itu. Sudah menghabiskan 2 potong blueberry cheese cake, 2 kaleng sprite, setengah toples keripik singkong, sekarang meminta lagi.

Michaella melihat ke arah jam dinding. "Sekalian makan malem aja, ya. Udah hampir jam 7 juga. Aku masak salmon mentai, kalian suka kan? Nanti aku angetin di microwave."

"Wah, suka-suka. Udah lama banget gak makan mentai." Allya bangkit dari duduknya dengan antusias. "Ayo, aku bantu."

"Okay, kalian tunggu sebentar ya." Michaella berjalan menuju dapur diikuti Allya di belakangnya.

Tak membutuhkan waktu lama untuk menghangatkan makan malam mereka hari ini. Allya keluar lebih dulu dengan seteko air dan teh manis disusul Michaella yang membawa nampan berisi 6 salmon mentai.

Satu persatu dari mereka pun mulai menyantap makanannya. Sesekali Michaella menoleh ke arah ponselnya menunggu pesan masuk atau panggilan dari satu-satunya pemuda yang belum ada di sana.

Ting tong!

"Mungkin itu Ziel!" Bukan. Bukan tuan rumah yang segera beranjak untuk membukakan pintu.

"Ella, itu ada tukang paket," ujar Allya lesu. Ia kembali duduk bergabung dengan yang lainnya.

Michaella menelan kekecewaannya dalam diam. Ia menghampiri kurir paket langganannya yang berdiri di depan gerbang. "Makasii pak."

Satu jam berlalu. Mereka telah selesai menyantap makan malamnya dan menyelesaikan seluruh tugas. Ini waktunya bersantai.

"Woi-woi!" panggil Dave pelan. Ia menunjuk ke arah Kagendra yang sedang merebahkan dirinya di atas karpet berbulu, sepertinya ia tidur. Kelima muda-mudi itu saling bertatapan, merencanakan sesuatu dalam kepala mereka.

Michaella berjinjit menuju kamar mandi dan keluar dengan gelas berisi air mentah di dalamnya. Ia menyerahkan gelas itu pada Langit. Babas pun sudah siap dengan dua tutup panci yang ia ambil dari dapur. Mereka berdiri mengelilingi Kagendra.

Allya memberi aba-aba. 1.. 2..

PRANG!

"KEBA–"

Tepat sebelum air itu hendak diguyurkan, Kagendra membuka matanya dengan santai. Bagai slow motion, mereka terdiam ketika dengan polosnya pemuda itu mengerjapkan mata kesana kemari. Reaksi Kagendra tidak sesuai dengan ekspetasi mereka.

"Kok lu gak kaget sih?!" Langit meletakkan gelas yang ia pegang ke atas meja. Begitu pun Babas dengan tutup pancinya.

"Lo kira gua bego? Temenan sama kalian 10 tahun, udah afal gua yang gini-gini."

"Biasanya sih lu emang bego sih, Gen," celetuk Dave.

"Sialan."

"Wah, udah setengah 9. Mau pulang?" tanya Babas ketika matanya tak sengaja melihat jam.

"Gila, udah berapa jam kita di sini? Ayo dah, pulang." Kagendra bangkit dari tidurnya. Ia mengambil jaket yang tersampir di sofa lalu memakainya.

Tanpa disuruh, Langit dan Dave membawa peralatan makan mereka tadi serta sampah camilan mereka menuju dapur. Hal itu membuat Michaella tersenyum, berterima kasih.

"Aih, idaman banget," goda Kagendra ketika kedua pemuda itu keluar dari dapur.

Langit menyugar rambut yang telah kembali ke warna aslinya, hitam legam. "Iyalah, kita kan tau diri."

"Gak kayak LO!" Dave menekankan kata terakhir dalam sindirannya.

"Udah, ayo. Kalo kemaleman nanti aku diomelin," lerai Allya.

Michaella mengantar mereka menuju pintu gerbang. Udara dingin menerpa kulit mereka. Komplek perumahan ini pun sudah sepi. Tak ada lagi kendaraan yang berlalu lalang.

"Bye, thankyou Ella." Allya melambaikan tangannya setelah memakai helm yang di sodorkan Langit kepadanya. Seperti saat ia ke sini, ia pun akan diantar pulang oleh pemuda itu

Kagendra membuka helm full facenya. "Dadah, makasih neng Ella."

Tak lama motor-motor itu mulai beranjak meninggalkan Michaella yang masih berdiri di depan gerbang. Gadis menatap hampa kepergian mereka.

"Bian, kenapa ga dateng?"


next chapter
Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C15
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión