Secara … ya kan, zaman juga sudah berbeda. Bahkan Siti Khadijah pun melamar Rasulullah duluan dengan menyampaikan maksudnya pada orang ketiga yaitu Nafisah binti Munyah yang merupakan sahabatnya. Nafisah kemudian menyampaikannya pada paman nabi—Abu Thalib.
Sekarang, peran ketigaku adalah sebuah surat. Penyampaiannya tidak langsung bukan? Hehe, sedikit beralasan dengan pintarnya diriku.
Katanya, cinta harus terungkap meski penolakkanlah jawabannya. Cinta juga tidak selamanya harus dijawab, sekadar ingin diutarakan juga tak apa, kan? Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku, aku tidak meminta dia untuk menerima atau apalah itu. Jika dia tahu, kurasa lebih bagus dan akan membuatku lega. Benarkan? Apa yang membuat kita merasa di ambang rasa itu adalah ketika kita ingin dia tahu, tapi kita ragu … takut dia menjauh dan nantinya ada penolakkan setelah itu.
Seperti kata Kurt Cobain, “Tidak ada yang takut ketinggian, mereka hanya takut terjatuh. Tidak ada yang takut mengatakan ‘Aku Cinta Padamu’ mereka hanya takut jawabannya.”
Aku percaya kalau Fajar tidak akan sombong mengumbar kertas kejujuranku ini dan mengumumkannya pada orang lain. Dia tidak akan melakukannya, aku percaya.
Waktu itu, kilas balik lamunanku.
Nabi Muhammad saw bersabda, “siapa yang mencintai seseorang, sampaikan kepadanya, ‘aku cinta kepadamu’.“
Pas sekali dia datang. Jalannya begitu gagah bak presiden Soekarno. Tapi Fajar tidak datang sendiri, di sampingnya selalu ada si Deden. Deden adalah wakil ketua kelas, dan ketua kelasnya adalah Fajar sendiri. Mereka dipilih karena keduanya sangat lengket (solid) dan merupakan orang yang juga berpengaruh di kelas. Jadi, keduanya dianggap mampu untuk memegang tampuk kehormatan sebagai ketua dan wakil kelas dan bahkan hampir setengah lebih mereka mendapatkan suara terbanyak saat pemilihan waktu itu.
“Fa, Fa-Fajar!” panggilku gagap. Dia pun menoleh, begitupun juga Deden. Tapi Deden lebih memilih meneruskan langkahnya menuju bangkunya sendiri dan menyapa teman-teman yang lain.
“Ya, Mit? Ada apa?” tanya Fajar padaku.
Ya Alloh, debaran di hatiku berkecamuk tak tertahankan. Kali ini aku akan menyampaikan perasaanku lewat perantara surat yang sudah kutulis di malam minggu kemarin. Dan jujur … aku memang berharap Fajar juga memiliki perasaan yang sama terhadapku.
Aku enggak salah, kan? Aku hanya mengutarakan perasaan dan ingin jawaban dari Fajar. Kamu menyukaiku atau enggak? Sudah kok, se-simple itu.
Please! Hari senin yang teramat manis, jangan hakimi aku di hari ini. Kuharap di hari lahirku ini, adalah awal lahirnya hubungan di suatu hari nanti. Aamiin.
“Ini surat, dibaca ya!” Aku tersenyum manis padanya. Tapi, awalnya Fajar terlihat bengong sebelum dia mengambil surat di tanganku dan membalas senyumanku tidak terlihat niat karena memang begitulah perangai Fajar. Dia memang sedikit cuek, tapi cool. Dinginnya tuh bikin nagih, kayak ice cream rasa vanilla makanya aku suka dia.
Pokoknya Fajar itu beda. Dia bukan sosok lelaki ceriwis atau terkenal karena kemahiran olahraganya, tapi karena dia adalah orang yang perfeksionis menurutku. Badannya tinggi semampai, sosoknya yang kalem dan sopan meskipun sedikit temperamental kalau sudah debat sama si Ayu perihal pelajaran saat presentasi. Tapi itu menurutku adalah sebuah pembuktian kalau akademisnya memang lebih tinggi dibanding yang lain. Sangat cocok jadi imam di rumah, hehe.
Fajar … setelah kamu membaca suratku ini, kujamin bengongmu tadi akan berganti jadi tawa karena aku yakin kalau suratku itu gemoy banget. Alias gemesin, kamu pasti suka.
“Oh, oke,” balasnya sembari berlalu.
Mmm, tak sabar nunggu balasan surat dari dia.
“Woy!” Ayu tiba-tiba saja mengagetkanku.
“Ayu, kamu nih kebiasaan ya!”
Tanpa rasa bersalah sudah mengagetkan sahabatnya sendiri, Ayu kemudian berjalan ke bangku tempat kami berdua duduk. Tepatnya di baris kedua paling sisi tembok yang sejejar dengan pintu masuk, hanya dua langkah dari posisi aku berdiri sekarang.
Dia membanting tas gendongnya ke meja seraya duduk dan membuka rel sleting tasnya –diambilnya beberapa buku pelajaran. Dasar si Rajin!
Kudekati dia sambil bertanya. “PR udah?”
Ayu mendongak. “Udah dong, masa seorang Ayu enggak ngerjain PR. Kan enggak banget!” jawabnya sembari menggerak-gerakkan tangan, lebaynya kumat, “aku cuman mau baca-baca lagi materi buat kuis hari ini. Si Ibu kan bilang katanya minggu sekarang mau ada kuis biar bisa nambah nilai.” Ayu terlihat begitu bersemangat, dia selalu ambisius perihal nilai –katanya biar mudah buat ngajuin beasiswa nanti saat lulus dan lanjutin kuliah.
Saingan terberat satu-satunya yang harus dihadapi Ayu di kelas adalah Fajar. Itulah sebabnya aku tidak bilang pada Ayu kalau hari ini aku memberi Fajar surat cinta. Sebenarnya, Ayu kurang setuju kalau aku suka pada Fajar. Entahlah, dia takut kalau selera Fajar tinggi, Ayu juga berpikiran negatif padanya. Menurutku bukan karena Fajar termasuk kategori lelaki playboy atau penilaian jelek lainnya. Melainkan hanya prasangka jelek Ayu saja pada Fajar.
Kata Ayu –Fajar adalah lelaki egois yang maunya menang sendiri dan jikalau aku dan Fajar jadian maka yang akan sering mengalah nantinya adalah aku. Ayu terkadang memang suka so tahu dalam menilai seseorang, entah apa pegangannya soal membaca karakter Fajar. Mungkin ramalan perbintangan dan tafsir mimpi yang selalu dia searching di internet. Meskipun tebakkannya juga kadang bener sih, sudah seperti Mama Lauren saja si Ayu.
Jadi ya gituh, aku enggak ingin Ayu tahu dulu sebelum semuanya selesai.
Namun, hal mengejutkan langsung terjadi. Aku yang tadinya ingin berucap pun tidak jadi dan kuurungkan setelah keributan mulai terdengar. Semua orang di kelas termasuk aku dan Ayu memusatkan pandangan pada Ritta dan Eva yang sedang duduk di kursi guru.
“Yuhuhu!” Ritta tampak oces di depan sambil tertawa-tawa. Aku pun menoleh sekilas pada Fajar yang sedang melihat layar handphone-nya sendiri dan si Deden tengah bersandar ke tembok sambil menyelipkan pulpen ke telinganya.
“Gue atau lo nih yang bacain?” Eva dan Ritta saling tuding sembari memegang sebuah kertas yang baru aku sadar kalau itu adalah ….
Itu!
Itu bukannya kertas yang kupakai buat nulis surat, kan? Lah, kenapa ada di tangan si Eva?
“Ngapain tuh anak berdua kecentilan di meja guru? Emang ada yang ngirim surat izin pake binder, ya? Siapa sih yang enggak masuk sekolah?” Ayu terusik. Dia celingak-celinguk ke sekitaran, memastikan siapa murid yang tidak masuk hari ini.
Ya Alloh, apakah itu surat punyaku? Kulihat Fajar tampak tenang-tenang saja. Jikalau itu surat punyaku, kenapa sekarang ada di tangan si Eva? Apa Fajar sengaja ingin mempermalukan aku di hadapan semua orang? Jika iya, sungguh tega sekali dia.
Ingin sekali aku merebut surat itu, tapi aku tidak ingin gegabah duluan. Mana mungkin itu suratku, ya kan? Sabar Mita, kamu jangan su’udzon.
“Dasar si cerewet! Bikin heboh aja deh, masih pagi juga,” dengus Ayu lagi. Dia memang tidak begitu suka pada Ritta dan Eva, sebenarnya aku pun begitu karena keduanya sangatlah pilih-pilih fisik dalam pertemanan. Mereka akan berteman dengan orang-orang berparas cantik dan ganteng saja, dan terampuni jika orang itu adalah anak orang kaya raya –maka fisik tidak akan dipedulikan lagi oleh mereka sebagai standar masuk ke dalam kubu pertemanan kaum modis itu. Apalagi padaku, mereka baik ketika butuhnya saja tapi kalau pada Ayu tentunya kepintarannyalah yang diperalat.
Seketika, jantungku terasa copot, sekujur tubuhku gemetar, bibirku meringis, air mataku tak tertahan ingin tumpah dan tak dapat dibendung lagi setelah Eva membacakan isi suratku dengan keras dan teman-teman sekelasku terlihat tercengang penuh ketidakpercayaan. Sebagian berbisik menggosipkan, dan rata-rata semuanya meledekku seperti melakukan perundungan. Seakan aku tak pantas untuk menyukai seseorang, termasuk lawan jenisku sendiri.