Sepanjang perjalanan menuju taman tak henti - hentinya Inem mengajaknya ngobrol dengan menggunakan bahasa jawa hingga kepala Louis terasa pening. Satu hal yang dia tidak mengerti dengan keluarga Tanzel. Apa tidak bisa mencari pembantu yang lebih berkelas selain Inem yang ... hah, pokoknya sangat menyebalkan.
"Noh, iku Non Amira. Yo wes Inem tinggal yo. Ojok macem - macem loh!"
"Hust, hust, sana!"
Oooo wes tak terno. Aku digusah koyok gusah itik wae. Awas yo kapan - kapan tak kerjain sampean! Batin Inem sembari melebarkan langkah meninggalkan taman belakang. Saat ini sudah waktunya Inem untuk istirahat begitu juga dengan Tanzel dan Yoza. keduanya memutuskan untuk istirahat setelah yang ditunggu - tunggu tidak juga menunjukkan batang hidungnya.
Yang mereka tunggu sedang menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan kaki menyilang, sementara keduanya tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya mengunci pada keindahan didepan sana, dan pemilik keindahan itu adalah Amira Anindita Tanzel.
Entah sudah berapa lama bermanjakan kecantikan Amira hingga tanpa sadar langkah kakinya mendekat. Sangat dekat sehingga nafas hangatnya terasa menggelitiki permukaan tengkuk yang Amira pikir bahwa bulu romanya meremang akibat kehadiran makhluk kasat mata.
Ini aneh. Sangat aneh. Merinding itu kan harusnya ke seluruh tubuh tapi ini ... kenapa hanya di area tengkuk? Pikir Amira.
Tanpa rasa takut sedikit pun langsung menolehkan wajahnya ke belakang. Seketika menjerit hingga Louis tersentak. Refleks langsung membungkan bibir Amira. "Jangan teriak - teriak! Ini sudah larut malam. Kalau ada yang dengar bagaimana?"
"Kamu ngapain disini?! Jangan - jangan mau mesum ya? Mau curi - curi kesempatan dalam kesempitan? Atau mau perkosa Amira, iya? Ngaku kamu!" Bentaknya sembari memukuli tubuh Louis. Sontak saja langsung mencekal pergelangan tangan Amira yang memukulinya dengan membabi buta. Tatapannya menajam begitu pun dengan suaranya. "Dengar ya Amira! Tuduhan mu itu salah besar!"
"Tidak ada yang salah, Louis. Yang terlihat sudah cukup membuktikan bahwa kamu ini-"
"Lelaki mesum." Potong Louis. "Kamu ini ya Amira. Selalu saja berfikiran buruk tentang aku. Kamu ini kan lulusan Harvard Univercity dengan nilai terbaik. Harusnya kamu ini lebih berfikir secara elegan bukan malah-"
"Berfikir elegan kamu bilang? Gimana aku bisa berfikir secara elegan kalau kamu saja mengendus - ngendus leher aku."
"Makanya dengerin dulu dunk penjelasan aku jangan asal main tuduh gitu."
"Apa?" Bentak Amira. "Ga bisa jelasin kan. Dasar mau curi - curi kesempatan dalam kesempitan!"
"Dengar ya Amira, aku tu hanya mengendus bau parfum kamu. Bahkan menyentuh kulit kamu pun sama sekali tidak. Ingat ya hanya mencium bau parfum. Ga lebih dari itu!"
"Dan kamu pikir aku percaya dengan lelaki otak bulus seperti kamu ini, hah? Sama sekali tidak, Louis." Berpadukan tatapan menajam begitu juga dengan nada suaranya yang terdengar menajam hingga menusuk ke dalam kekedalam hati seorang Louis Leigh Osbert.
Ah, dasar bego. Gimana sih aku sampai bisa kelepasan seperti tadi. Harusnya bisa mengendalikan diri sendiri. Tuh kan marahnya si Mak Lampir makin menjadi - jadi. Kesal Louis.
Tak henti - hentinya menyalahkan dirinya sendiri dengan menatap nanar kepergian punggung ringkih yang semakin lama semakin hilang dari pandangan.
Fix, pasti Amira semakin membencinya, semakin berfikiran buruk tentangnya, semakin beranggapan bahwa dia ini lelaki mesum, lelaki tidak bertanggung jawab, lelaki yang suka melecehkan wanita, dan berbagai anggapan buruk lainnya. Fix, pasti itu yang Amira pikirkan tentangku. Batin Louis dengan diliputi kesedihan.
Akhirnya dengan di iringi langkah gontai dia pun menuju ke kamar bersamaan dengan itu ponselnya berdering menampilkan nama Jansen. "Ada apa?" Jawabnya dengan nada malas.
"Masih di Indonesia?"
"Iya."
"Lama sekali liburan kamu di Indonesia."
"Bukan liburan."
"Terus?"
"Menjaga calon istri."
"Maksud kamu ... " jeda sejenak. Jansen tampak berfikir sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Kamu mau menikah?" Tanyanya dengan penuh keraguan mengingat bahwa sahabatnya yang satu ini selalu saja menolak jalan dengan wanita.
"Hhh mm."
Ah, tidak mungkin. Pasti Louis lagi bercanda. Batin Jansen sebelum bertanya dengan siapa sahabatnya ini akan menikah. Dan penjelasan dari seberang sana sungguh membuatnya terperenyak hingga dia pun mengusap kasar wajahnya. "Ini tidak mungkin."
"Apanya yang tidak mungkin, Jansen? Tidak ada yang tidak mungkin jika Louis Leigh Osbert sudah berkehendak."
"Ah, Louis apa kamu tidak salah pilih, hah? Bagaimana bisa kamu akan menikahi wanita seperti, Nona Tanzel. Dia itu dingin, tidak pernah senyum, wajahnya datar tanpa ekspresi, auranya mencekam. Apa kamu tahan menghabiskan masa tua mu dengan wanita yang lebih mirip dengan patung es, hah?"
"Kurang ajar! Cabut kata - kata wanita dari mulut kotor mu itu Jansen. Amira bukan wanita tapi gadis. Dia masih murni belum tersentuh tangan - tangan liar."
"Apa kau pernah mencobanya sehingga bisa sangat yakin bahwa Amira itu masih gadis, huh?"
"Shiittttt," umpat Louis bersamaan dengan itu langsung mematikan sambungan telepon lalu melemparnya ke atas ranjang king size. Sementara seseorang diseberang sana tersenyum puas karena berhasil mengerjai sahabatnya.
Dalam kesendirian dia pun kembali dihinggapi akan bayang - bayang Amira. Ekor matanya mengunci pada sisi ranjang. Seandainya saja dia sudah menikah dengan Amira pasti wanita itu yang disini dan bukan guling sialan ini. Bersamaan dengan itu melempar guling tersebut ke sembarang arah.
Tidak mau terus menerus dihinggapi bayang - bayang Amira dia pun menyibukkan diri dengan menghubungi sahabat - sahabatnya dengan masuk ke chat group. Seketika rasa malas menyergap dengan banyaknya obrolan yang hampir mencapai 5000 chat.
Apa saja yang mereka bicarakan ini, hah? Anggota group kan hanya lima orang akan tetapi chat nya sudah sampai ribuan. Batin Louis sembari menggeleng - gelengkan kepalanya. Bersamaan dengan itu melemparkan ponselnya ke sisi ranjang sebelum menenggelamkan tubuhnya diantara selimut tebal. Meskipun kedua matanya memejam rapat akan tetapi tidak dengan pikirannya. Pikirannnya masih saja melayang jauh memikirkan satu nama yaitu Amira Anindita Tanzel.
Akhirnya dia memilih beranjak dari ranjang dengan mendekati jendela. Jemari kekar terulur membukanya sehingga tampillah taman belakang yang mengarah langsung ke kamar Amira. Seketika iris birunya membeliak sempurna bermanjakan wajah cantik yang terlihat sedang melamun dengan menyandarkan tubuhnya pada sisi jendela.
"Oh, calon istri pura - pura apa yang mengganggu pikiran mu sampai - sampai kamu tidak bisa tidur, hum? Ini kan sudah larut malam, dan seharusnya kamu bercengkerama dengan kehangatan bukan malah ... " Louis sengaja menjeda ucapannya dengan mengunci tatapannya pada wajah cantik. "Atau kamu sedang memikirkan calon suami pura - pura mu ini, hum?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian di dalam kamarnya.
Rasanya Louis tidak pernah bosan bermanjakan kecantikan Amira. Wajahnya terlihat bersinar bagaikan rembulan yang sedang memancarkan sinarnya berselimut keindahan.
"Oh, Amira sayang. Apa yang sedang kamu pikirkan, hum? Kenapa kamu tampak melamun?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian didalam kamarnya.
...
Next chapter💕
Hallo, kalian masih setia nunggu? Terima kasih ya! Selalu dukung aku dengan memberikan power stone dan saran supaya cerita ini lebih baik.
Kalian menyukainya? Tambahkan ke koleksi!