Turun dari mobilnya, Naruto menyusuri lorong di rumah neneknya dengan sangat lemah, karena ia salah menduga selama ini—terlalu berpikir dangkal bahwa teman-temannya sengaja untuk menutupi semua masalah itu.
Bukan itu, bukan itu yang mereka lakukan ternyata.
Karena sebenarnya yang terjadi, keluarga Hyuuga membuat semuanya menjadi rumit. Betapa buruknya keluarga itu sampai mengucilkan gadis lemah seperti Hinata. Kehidupan di keluarga tersebut sangat tidak bermoral. Naruto marah, dan jauh lebih marah kali ini.
Dan pada saat dia memasuki rumah kaca, di situ sudah ada Hinata tengah mencoba menyentuh macam-macam koleksi bunga neneknya yang sangat berharga. Tapi neneknya tidak ada di mana pun kecuali salah satu pendamping neneknya ada di tempat itu bersama Hinata, wanita itu berdiri di samping kursi roda gadis itu.
Naruto melangkah perlahan, dan ketika pendamping neneknya melihat dirinya yang tersenyum serta semakin mendekat, wanita itu mengumumkan kepada Hinata, "Mr. Naruto ada di sini." Mata gadis itu melirik, bibir gadis itu melengkung untuk tersenyum. "Saya akan meninggalkan Anda bersamanya."
"Aku ada di sini," Naruto memberitahu, meski Hinata tidak akan pernah bisa melihat senyumannya, dia tetap tersenyum dan berlutut di samping gadis itu, menangkap tangan Hinata yang kecil serta dingin. "Untuk sementara, Sasuke dan Sakura tidak bisa menemuimu di sini, mereka bilang berjanji lain kali."
Hinata masih tersenyum, dan berkata, "Tidak apa-apa, pekan lalu mereka sudah datang untuk mengunjungiku di rumah."
"Aku berjanji akan membawa mereka nanti."
Hinata mengangkat tangannya, sementara Naruto mencermati terlebih dahulu, apakah Hinata ingin menyentuh wajahnya. Dan ternyata memang benar. Tangan itu menyentuh wajahnya, meraba-raba, Naruto kembali tersenyum, tapi dia tak sanggup menahan air matanya yang tiba-tiba turun. "Maaf," ujar laki-laki itu, hatinya hancur, pikirannya kacau, semuanya amat menyakitkan. "Maafkan aku."
Hinata berhenti tersenyum, tetapi tangan gadis itu tidak henti-hentinya menyapu pipi Naruto. Air matanya tidak henti-hentinya melewati pipi, meluncur sangat mulus, dan Hinata dapat menemukan bahwa laki-laki itu sangat sedih, dengan tubuhnya bergetar hebat. "Apakah mereka mengatakan hal-hal buruk padamu?"
"Tidak," Naruto menunduk, badannya jauh menjadi bergetar, air matanya terus meluncur, membasahi lantai rumah kaca neneknya. "Seharusnya aku datang lebih cepat. Seharusnya aku berada di Jepang lebih cepat. Ini terlambat, 'kan?" sementara Hinata sendiri tidak tahu, mengapa hatinya seolah teremas menjumpai laki-laki itu sedih, yang dilakukannya kemudian memeluk tanpa berbicara apa pun itu. Dan perasaannya jauh menjadi lebih tenang, bahkan ia tidak pernah merasakan ketenangan semacam ini—perasaan tenteram itu lebih nyaman dari yang Hinata kira. Perasaan mereka seolah menyatu, Hinata meletakkan pipinya pada pundak kokoh laki-laki itu. Pasti dulu, sebelum ingatannya terenggut oleh trauma karena kecelakaan, ia memiliki perasaan khusus pada laki-laki ini. Karena perasaan ini amatlah tidak biasa.
"Berhenti menangis bahkan mengatakan semuanya terlambat."
Mito, di tempatnya berdiri, ketika berencana menawari kedua muda-mudi itu untuk menikmati makan siang, memutuskan berhenti melangkah masuk. Baginya, saat-saat ini sebagai waktu sakral di antara mereka. Ia tidak harusnya menghancurkan waktu keduanya dengan menawari hal bodoh. Karena terlalu tenggelam, dan menawari makan siang akan membuat suasana menjadi canggung, Mito bergegas untuk keluar dari rumah kacanya.
Dan Naruto memeluk Hinata sangat erat, bahkan menjadi penyesalan kesekian kalinya. Meskipun ia tahu, bahwa penyesalan itu tidak akan menyelesaikan masalah hingga mengembalikan semuanya ke semula.
Naruto melepaskan diri dari pelukan itu ketika perasaannya kembali tenang, ia mendongak memandangi Hinata, sementara tangan gadis itu kembali menyapu perlahan air matanya. "Aku sudah tidak apa-apa." Naruto sadar, ia tidak harusnya membuat Hinata cemas. Wajah gadis itu mengernyit gelisah bahkan seolah terlihat dialah yang berbuat kesalahan. "Sudah aku putuskan." Nada bicaranya terdengar serius. "Kau akan tinggal bersamaku, aku akan menjadi walimu mulai sekarang."
Hinata mengangguk, ia amat setuju, jika memang yang diinginkan oleh lelaki itu, dan tentu saja mendapati perasaannya sangat tenang dan lega, Hinata menerima semua yang terjadi itu. Kehidupan barunya bersama seorang laki-laki yang dulu mungkin sangat dicintainya. "Apakah aku bisa menghubungi Hanabi atau kakakku?"
"Kakakmu?"
Hinata mengangguk. "Memberitahu padanya kalau aku baik-baik saja. Awalnya aku merencanakan kabur bersama Hanabi, dan kakakku sama-sekali tidak tahu rencana itu, tapi akhirnya dia mengambil tanggung jawab, aku merasa sedikit tidak nyaman kalau tidak memberikan kabar kepadanya."
"Kau mau menggunakan ponselku?"
Hinata mengangguk sekali lagi. "Maaf, mungkin lain kali aku akan membelinya."
"Aku akan membelikan satu untukmu besok, jadi kau bisa menghubungi Hanabi atau kakakmu, atau kau juga bisa menghubungi Sakura."
"Apakah aku merepotkanmu?"
"Apa yang kaukatakan!" Naruto berbicara dengan menaikkan nada bicaranya. "Maaf, aku tidak sedang marah, tapi aku ingin kau tahu, aku sama-sekali tidak kerepotan." Hinata mengangguk-anggukkan kepalanya, dan setelah itu, ia dapat merasakan bahwa Naruto kembali berdiri, kemudian berpindah untuk mendorong kursi rodanya, setelah itu memberitahu, "Ayo kita pergi makan siang, pasti nenek sudah menunggu kita berdua di ruang makan."