Jumat, 20 Desember.
RABHITA ALI YANG hari ini genap 22 tahun, berjalan masuk ke gedung apartemennya di Jakarta bersama Ella Dean—sahabatnya sejak kuliah—dengan tertawa membahas pesta kejutan ulang tahunnya tadi.
Rabhita adalah anak gadis yang tidak begitu pintar, namun dia beruntung sekali dapat bekerja di perusahaan swasta dan mendapat jabatan sebagai Manajer—sama seperti Ella namun Ella bidang lain—Rabhita sendiri tidak dapat membayangkan jika dia tidak ikut Ella ke Jakarta dan berdiam di Palembang, mungkin hidup bahagianya tidak akan selengkap ini.
Orang tua Rabhita masih hidup, dua-duanya dan mereka sehat walafiat, kedua adiknya yang satu sedang duduk dikelas tiga SMA dan yang satu lagi dikelas satu SMA. Rabhita sebagai anak perempuan pertama, sudah tentu harus menjadi tulang punggung keluarga yang tangguh dan dia sepertinya sama sekali tidak keberatan soal itu selepas dirinya lulus kuliah. Rabhita selalu mengirimkan uang setiap bulan kepada keluarganya di Palembang senilai dua belas juta, dia kira itu sepertinya cukup karena orang tuanya tidak pernah meminta uang tambahan walau Rabhita bertanya apakah uang itu kurang, bahkan kedua adiknya—yang ditanyai Rabhita sendiri—bilang bahwa uang itu suka lebih dan ditabung oleh ibunya. Rabhita tentu puas mendengarnya, kehidupan keluarganya lebih dia pentingkan daripada kehidupan dirinya sendiri.
Hal itulah yang membuat Rabhita mempunyai circle yang kecil dalam pertemanannya. Pernah saat itu anak populer di kantor—baru saja lulus kuliah—mengajak mereka—para koleganya—makan malam di sebuah resto nan mahal di Ibu Kota, Rabhita pergi bersama Ella, kerjaan Si Anak Populer disana hanya menyombongkan betapa kaya Ayahnya dan keluarganya turun temurun dengan bahasa yang kalem. Semua hanya mendengarkan, kebanyakan dari mereka hanya ingin makan malam enak gratis untuk datang kesini. Rabhita dan Ella diam mendengarkan, sambil sesekali menyantap makan malam mereka, semua itu tambah parah saat Rabhita kira dengan pasti bahwa Si Anak Populer ini sudah mabuk.
Rabhita tahu dengan sebotol bacardi yang dia pegang, botol itu tidak dibaginya, hanya untuk dirinya sendiri, Rabhita sendiri tentu tidak mau dan tidak akan minum dan begitu pula Ella, tidak tahu kalau koleganya yang lain. Si Anak Populer masih bercerita panjang lebar sampai kedok Si Ayah terbongkar, bahwa Ayahnya meminjam di bank untuk menyuap dan kemudian mengancam CEO perusahaan besar untuk menjadikannya direktur utama.
Semua itu direkam dan disebarkan oleh salah satu kolega yang ikut makan malam itu, dan tidak lama dari sana Si Anak Populer dipecat dari kantor tempat Rabhita bekerja. Ella tertawa keras saat mendengar kabar itu. Namun Rabhita merasa kasihan, tapi Ella ngotot, dia berkata untuk apa? Kita harusnya ingat bahwa kita memiliki keluarga untuk diberi makan, bukan badut kaya nan kotor untuk dibuat senang, begitu kata Ella. Untuk yang satu ini, Rabhita setuju.
Rabhita sendiri dalam hidupnya berhutang banyak kepada Ella, entah bagaimana bisa dia menjadi sangat dekat begitu saja dengan Ella saat menginjak kuliah, Bunda dan Ayah Ella mempunyai rumah makan yang menerima pesanan bernama "Teras Bahagia" seperti namanya, rumah makan itu memang membuat semua orang yang makan bahagia, bagaimana tidak? Porsi banyak, enak dan harganya jauh sangat murah. Bahkan Rabhita sering kesana untuk main atau membantu Bunda Ella menyelesaikan pesanan, dan Rabhita selalu membawa pulang ayam bakar enak. Ella selalu menemaninya di saat-saat terpuruk Rabhita, bahkan saat keluarga Rabhita sedang dilanda masalah dan Rabhita stress dibuatnya.
"Untung gak perlu kunci jaman gini," kalimat Ella menyadarkannya, Rabhita tidak sadar mereka sudah sampai di depan pintu apartemen mereka.
Ella memencet kode dan setelah itu pintu terbuka lebar, hawa dingin AC menerpa wajah mereka berdua. Rabhita langsung menghempaskan tubuhnya di sofa empuk.
"Jadi, tanggal berapa kita balik Palembang, El?"
"Tanggal 27 sih seinget gue," jawab Ella yang meletakkan tas tangannya di meja lalu ikut bergabung bersama Rabhita di sofa, "udah bilang kan sama pacar lo pulang tanggal segitu? Ntar dia ngambek lagi, gak dikabarin."
Rabhita jadi teringat pacarnya yang super duper baik juga tampan, Rangga. Dia saat ini sedang ada tugas bekerja di kantor swasta di Australia, biasanya Rangga di Jakarta, tinggal bersama Kakak perempuannya yang sudah memiliki keluarga dan dua orang anak lelaki. Akhir tahun ini, Rangga akan kembali ke Jakarta, namun dia pulang ke Palembang tanggal 28 sehari setelah Rabhita.
"Udah kok, dia pulang tanggal 28," kata Rabhita dengan memainkan ponselnya.
Ella mengangguk-angguk, hari sudah larut dan perut mereka berdua kenyang sekali, mereka memutuskan untuk tidur.
Apartemen itu lumayan besar, mempunyai tiga kamar tidur, dapur, dua kamar mandi, bahkan balkon.
Namun Ella dan Rabhita sama-sama penakut karena apartemen pertama yang mereka sewa ternyata angker, Rabhita saat itu sedang mandi dan dia mendengar Ella bernyanyi nyaring, namun ternyata Ella sendiri mengaku sedang tidur dan dia merasa ada menggelitiki kakinya seperti yang biasa dilakukan Rabhita, mereka berdua masih berpikir positif, sampai puncaknya pada malam jumat, Rabhita dan Ella yang sedang duduk bersama menonton film horror terpanjat dari tempatnya karena Siri ponsel Ella yang terletak di meja makan mengatakan "saya tidak mengerti, bisa anda ulangi?" Setelah itulah, Ella dan Rabhita langsung berlari keluar apartemen dan menginap di salah satu rumah teman kantor mereka yang baik hati, keesokan harinya, mereka langsung mengurus kepindahan dari apartemen itu.
Sejak saat itulah baik Rabhita maupun Ella sepakat untuk tidur sekamar, dan jika salah satu dari mereka terbangun, maka yang lain harus bangun, dan jika salah satu dari mereka ingin ke kamar kecil, maka yang satu harus menemani juga, sepenat apapun, mereka harus saling menemani, dan perjanjian itu ditandatangani keduanya diatas sebuah materai 6000.
Ella baru saja memejamkan matanya saat bunyi ponsel Rabhita mengagetkannya. Rabhita yang baru duduk kembali berdiri untuk mengambil ponselnya yang ada di atas meja.
Begitu melihat siapa yang menelfon, Rabhita tidak mau mengangkatnya.
"Siapa?" tanya Ella.
Rabhita menunjukkan nomor tidak dikenal, dan itu nomor dari luar negri, "diemin aja lah, palingan orang iseng."
"Iseng? Itu nomor luar negri!" kata Ella dengan dramatis.
"Terus kenapa? Banyak kok orang luar negri yang iseng atau mesum, atau ternyata petugas federal atau hacker, atau—"
Rabhita tak menyelesaikan kalimatnya saat Ella mengambil ponselnya dan mengangkat telfon.
"Bonjour!" sapa Ella langsung, dia tidak tahu bahwa kode nomor itu bukan dari Prancis, dia hanya asal-asalan mengucapkan apa bahasa asing yang ada di kepalanya, walau dia tahu Bonjour artinya pagi, dan saat ini sudah malam.
Orang disana berbicara, Ella menghidupkan speakernya, kemudian berkata lagi, "are you from France?" (Apa kau dari Prancis?)
"No, i'm from Philippines, i'm a director of Hello, Love, Goodbye movie," jawab orang tak dikenal itu.
Mata Rabhita melebar, "hah? Direktur film? Dari Filipina? Apa kerjaan dia nelpon gue?" Rabhita mengernyit.
Ella menatap Rabhita lalu ke telfon, "emmm, can I help you?" (Bisa aku membantumu?)
Tidak lama, orang itu menjawab lagi, "yes, I need to talk to Miss Ali about her work in Wattpad, I think the books is really good," (ya, saya ingin berbicara dengan Nona Ali tentang karyanya di Wattpad, saya pikir buku-bukunya begitu bagus) jawab orang itu dengan logat orang Filipina.
"Astaga!" kata Rabhita tanpa sadar, "seriusan?!" dia langsung menyambar ponsel itu, "ya, I'm Miss Ali, Rabhita Ali," jawabnya.
Kemudian Direktur itu menjelaskan sesuatu yang bisa membuat Rabhita loncat-loncat selama tiga jam diatas kasur, kalau saja Ella tidak menghentikannya.
Direktur itu bilang kalau mereka sangat tertarik menjadikan beberapa karyanya sebagai film di Filipina, terutama karyanya yang berjudul "Love Me Or Not, I'm Gonna Be Okay" kata Direktur itu mereka akan membiayai tempat tinggal selama beberapa bulan selama film selesai dan tentu saja sampai premier, dan bagian paling baiknya adalah, para pemain film itu, Rabhita bisa memilih sendiri.
Direktur itu sendiri mengakui bahwa dia telah mengirimkan beberapa pesan ke email Rabhita, dan tidak mendapatkan balasan apapun tentu saja karena Rabhita telah lama mengganti emailnya, jadi Direktur itu terpaksa menyelidiki nomor ponsel Rabhita dan sekarang, Rabhita dan Direktur itu saling mempunyai kontak Whatsapp.
Dia benar-benar tidak menyangka, karya yang ditolak oleh seluruh penerbit di negri ini bisa sampai di Filipina dan mereka akan membuatkannya film! Ini adalah salah satu hari terindah untuk Rabhita.
-A NASTY PIECE OF WORK-