Descargar la aplicación
3.03% Romantika Gadis Kontrak / Chapter 2: Chapter 2 Ciuman Pertama

Capítulo 2: Chapter 2 Ciuman Pertama

Malam itu terasa dingin, dengan udara beku yang merambat masuk melalui celah-celah kecil di sekitar jendela rumah. Di luar, Kage berdiri di depan pintu, tubuhnya tegap meski dinginnya malam menusuk kulit. Cahaya lampu jalan yang redup hanya memperlihatkan sebagian wajahnya yang selalu tampak datar dan tak terbaca.

Di dalam rumah, Hikari sedang sibuk di dapur, apron sederhana berwarna krem membalut tubuhnya, tampak kontras dengan keceriaan wajah yang biasanya ia kenakan. Aroma masakan memenuhi ruangan kecil itu, menciptakan suasana hangat yang menyamankan hati. Tapi kehangatan itu mendadak hilang ketika ia mendengar ketukan di pintu.

Dengan sedikit ragu, Hikari melepas apron-nya dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu, dan seketika itu juga tubuhnya menegang. Mata Hikari bertemu dengan sosok Kage yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya berubah seketika, dari terkejut menjadi dingin dan sedikit kesal. Hikari mencoba menutup diri di balik sikapnya. "...Kakak sedang tidak ada di rumah, dia kembali lama," katanya dengan nada yang berusaha terdengar tidak peduli.

Namun, tanpa berkata banyak, Kage melangkah masuk ke dalam rumah, seolah-olah pernyataan Hikari tadi tak berarti apa-apa. Gestur acuhnya menyisakan udara dingin yang dibawanya dari luar, membuat ruangan terasa lebih sempit.

Hikari segera mengejar Kage ke dapur, suaranya terdengar memecah keheningan, "Hei, kau tidak bisa masuk begitu saja!" Nada suaranya meninggi, menunjukkan campuran ketakutan dan frustrasi. Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, Kage tiba-tiba berbalik dan memojokkannya ke dinding dapur. Hikari terkejut, punggungnya bersentuhan dengan tembok yang dingin.

"A... Apa yang kau lakukan?" Napasnya tertahan, matanya membulat, dipenuhi keterkejutan. Ia mencoba untuk tidak menunjukkan rasa takut, tapi tubuhnya tak bisa berbohong, gemetar di bawah tatapan Kage yang selalu begitu dingin dan tajam.

Pandangan Kage menyapu ruangan, melihat ke meja makan yang dipenuhi makanan. Makanan itu tampak begitu teratur, warna-warna cerah dari sayur dan daging yang ditata rapi seolah kontras dengan suasana tegang yang kini mengisi dapur. Hikari merasa pandangan Kage kembali padanya, menelisik setiap gerak tubuhnya.

Dalam benaknya, Hikari merasa tenggelam dalam sorot mata Kage yang gelap. "(Melihat tatapan lelaki ini membuatku seperti masuk ke dalam kehampaan... Sangat suram... Suram... Kakak... Tolong aku,)" batinnya menjerit, namun bibirnya tetap terkatup rapat. Ia memejamkan matanya, berharap rasa takut itu segera lenyap.

Namun, suara Kage yang rendah dan dalam menembus keheningan itu. "Tidakkah kau menyukaiku? Jadilah gadis kontrak untukku," katanya dengan nada yang datar, tapi menyimpan sesuatu yang sulit diartikan.

Hikari membuka matanya, bingung, matanya mencari makna dalam kata-kata Kage. "(Hah... Apa yang dia katakan?)" pikirnya, seolah mencoba menemukan penjelasan di wajah Kage yang tanpa ekspresi. Napasnya memburu, bibirnya setengah terbuka, namun tak ada kata-kata yang keluar.

Suasana itu terpecah ketika suara pintu terbuka dari ruang depan, diikuti langkah ringan yang familiar. Yuki muncul, senyumnya lebar, membawa serta seorang pria di sampingnya. Udara dingin kembali masuk, tapi kali ini bersama dengan kehangatan suara Yuki yang memecah keheningan tegang antara Kage dan Hikari.

Yuki melangkah masuk ke dalam rumah, diiringi oleh seorang pria bertubuh tegap yang mengenakan mantel tebal. Udara dingin menyelinap masuk, menggantikan kehangatan di ruang tamu. "Aku pulang, baunya enak. Apa Hikari sedang memasak?" Yuki menyapa dengan nada ceria, suaranya mengisi seluruh ruangan, tidak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi di dapur.

Hikari, yang masih merasakan sisa ketegangan barusan, segera mendorong tubuh Kage yang mendekapnya, membebaskan diri dari posisi terpojok. Ia melangkah cepat menuju beranda, mencoba menyembunyikan wajah yang memerah dan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. "Kakak, apa kau membawa kakak ipar?" tanyanya dengan suara yang terdengar dipaksakan agar tetap tenang, meski perasaannya belum sepenuhnya stabil.

Yuki tersenyum lebar, seakan ingin berbagi kebahagiaan yang dirasakannya malam itu. "Oh, Kage, perkenalkan ini Gathan, kami akan menikah," ujarnya dengan ringan, tangannya memegang lengan pria di sampingnya.

"Salam kenal," ucap pria yang diperkenalkan sebagai Gathan, dengan nada yang penuh kesopanan namun terdengar hambar.

Sementara itu, Hikari menundukkan wajahnya, matanya berusaha menyembunyikan rasa campur aduk yang mengaduk-aduk pikirannya. Kedua tangannya mengepal erat-erat, menahan gejolak dalam dirinya. "(Bisa-bisanya dia mengatakan itu di depan lelaki yang saat ini... Wajah Mas Kage juga tak menunjukkan apa-apa... Sebenarnya, apa mereka sedang main-main dalam hal cinta?)" Hikari berusaha memahami situasi yang sulit ia mengerti.

Hikari mengingat kembali ucapan Kage sebelumnya tentang Yuki, bahwa Yuki bukanlah pacarnya. Namun, hal itu hanya semakin membuat kebingungannya bertambah besar, dan amarah mulai membara di dadanya. "(Apa dia sengaja mempermainkan kakak... Benar-benar lelaki brengsek,)" pikirnya dengan amarah yang tertahan, namun bibirnya tetap tertutup rapat.

Di sisi lain, Kage memperhatikan kepalan tangan Hikari yang mulai bergetar, menunjukkan betapa kerasnya ia menahan perasaannya. Pandangan Kage yang tajam itu seolah memeriksa setiap gerak-gerik Hikari, namun tetap menyimpan ketenangan dan sikap tak acuhnya. Hikari mungkin belum sepenuhnya menyadari bahwa di balik tatapan dingin itu, ada sesuatu yang Kage sembunyikan—perasaan yang sebenarnya lebih tertuju padanya daripada pada Yuki.

Yuki menoleh ke arah Hikari dengan alis sedikit terangkat, seolah menyadari perubahan dalam ekspresi adiknya. "Hikari, apa ada sesuatu?" tanyanya dengan nada ingin tahu.

"Ti... Tidak, sepertinya aku lupa membeli sesuatu. Aku akan keluar bersama Mas Kage," jawab Hikari tiba-tiba, dengan nada terburu-buru. Dia segera menggenggam pergelangan tangan Kage dan menariknya ke luar rumah, tak peduli pada kebingungan yang tampak di wajah Yuki. Langkah-langkah mereka semakin menjauh dari rumah, suara derap kaki mereka menggema di trotoar yang kosong dan sunyi.

Hikari berhenti di bawah lampu jalan, yang cahayanya kuning dan redup, menciptakan bayangan panjang di bawah kaki mereka. Napasnya terdengar berat dan terengah-engah, dadanya masih dipenuhi perasaan campur aduk yang sulit ia kendalikan.

Kage berdiri di hadapannya, tetap dengan tatapan dinginnya yang seolah tidak terpengaruh oleh apa pun. "Kau tidak perlu melakukan ini," ucapnya datar, suaranya mengalun lembut di tengah udara malam yang dingin.

Hikari menatap balik dengan sorot mata yang tajam, berbeda dari biasanya. Di matanya ada percikan amarah dan kebingungan, bercampur menjadi satu. "Apa maksudmu? Kakakku mencampakkanmu begitu saja, apa kau tidak ada rasa apa pun?" serunya dengan nada yang meninggi, hampir seperti sebuah tuduhan yang ingin meledak.

Kage hanya mengangkat bahunya dengan ringan, wajahnya tetap tanpa ekspresi sedikit pun. "Bukankah kemarin aku sudah bilang padamu, Yuki bukanlah pacarku," jawabnya dengan suara yang tenang, namun dingin.

"Tapi meskipun kau bukan pacarnya, kau harusnya punya sedikit pembelaan diri," Hikari menyela, suaranya terdengar kesal dan frustrasi. Ia tidak mengerti bagaimana Kage bisa tetap terlihat begitu tenang, bahkan setelah Yuki dengan mudahnya mengumumkan rencana pernikahan mereka.

Kage hanya mengalihkan pandangannya, tak sedikit pun menunjukkan bahwa ia terganggu oleh pertanyaan Hikari. "Aku tidak perlu yang begituan," ucapnya datar, lalu berbalik, melangkah pergi dengan sikap yang seakan-akan semua ini hanyalah masalah sepele baginya.

Namun, Hikari tak membiarkan langkahnya begitu saja. Ia menggenggam pergelangan tangan Kage, membuatnya berhenti. Di tengah keheningan itu, Hikari menunduk, berusaha menenangkan diri. Ia ingat kembali kata-kata Yuki yang menyebut Kage sebagai lelaki kesepian, dan kini ia merasa dapat melihat kebenaran di balik itu.

"(Sekarang aku mengerti... Pria ini benar-benar kesepian. Sebagai perempuan baik, aku selalu penasaran dengan pribadi orang lain... Dengan kata lain, aku juga penasaran pada Pria ini... Mungkin pada akhirnya aku harus mengambil pilihan... Hanya untuknya,)" pikirnya sambil menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata yang menggantung di ujung lidahnya.

Hikari akhirnya mengangkat wajahnya, pandangannya yang tegas berusaha menyembunyikan rasa malu di dalam hatinya. "Aku akan menjadi kontrakmu," bisiknya pelan namun jelas, sambil memalingkan wajahnya agar Kage tidak melihat rona merah yang menyebar di pipinya.

Kage terdiam, menatap Hikari dengan mata yang sedikit melebar, seolah-olah ucapan itu adalah hal terakhir yang ia duga. Namun, dalam sekejap, ekspresinya kembali dingin, meskipun ada sesuatu yang berkilat dalam tatapannya. Dia melangkah lebih dekat, menarik Hikari dalam pelukan singkat yang begitu tiba-tiba, sebelum bibirnya menyentuh bibir Hikari dengan lembut.

"Uhm... (Dia menciumku!!!) Apa yang kau lakukan?!" Hikari segera mendorongnya dengan wajah merah padam, terkejut dan tak terima.

"Itu adalah kontrak kita," jawab Kage dengan nada datar namun memancing emosi.

"Tidak, itu ciuman pertamaku, kau harus mengembalikannya," Hikari menggeleng-geleng tak percaya, merasa tidak terima dengan cara Kage yang seenaknya.

"Oke, akan ku kembalikan," Kage membalas tanpa ragu, dan menciumnya lagi, kali ini dengan lebih dalam.

"(Jantungku, rasanya berdebar kencang, mulutnya benar-benar hangat dan panas, dia sangat tinggi... Leherku lelah menatap ke atas dan dia terus menarik dagu ku untuk menatap ke atas...)" Hikari menutup matanya, membiarkan perasaan aneh yang mengalir di dalam dirinya.

Dari sanalah kontrak itu bermula. Di saat itu juga, salju pertama turun dari langit malam, melapisi jalan-jalan dengan lembut. Kage mengangkat lengannya, memegang pinggang Hikari, sementara Hikari mencengkeram ujung jaket Kage dengan erat, seolah-olah dia adalah satu-satunya yang bisa ia pegang dalam dunia yang dingin ini.

"(Ciuman pertamaku... Pada lelaki yang terlihat sempurna di mata orang, tapi menurutku... Entahlah... Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya... Kontrakku... Saat salju kesukaanku ini...)" Hikari bergumul dengan perasaannya, menyadari bahwa malam ini telah mengubah segalanya antara mereka.

Tapi ada suara dari Kage. "Kau sangat pendek..."

Seketika Hikari langsung terejek dengan hal itu membuatnya kesal seperti kucing garong. "Apa maksudmu! Kau saja terlalu tinggi! Jangan mengejek ku!!!"

Kage kemudian tersenyum kecil dan mendekat, dia mencium leher Hikari membuat Hikari terkejut tersentak sambil melihat ke arah langit.

"(Ini sangat hangat.... Bahkan salju yang dingin sampai tak terasa di sini...)"


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C2
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión