Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Alif semakin merasakan perubahan dalam dirinya. Dukungan dari Mira dan pengalaman berbagi cerita telah membangkitkan semangatnya. Dia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, menyingkirkan keraguan yang selama ini membelenggunya. Namun, di balik semua itu, ada bayang-bayang Zeta yang masih mengintai, menunggu momen untuk kembali muncul.
Suatu malam, saat Alif duduk di beranda sambil menulis di jurnalnya, suara gemerisik daun di angin membuatnya merasa tenang. Dia menuliskan pengalamannya dari sesi berbagi sebelumnya, merenungkan bagaimana setiap orang memiliki cerita yang unik dan berharga. Namun, saat menulis, pikirannya kembali melayang pada Zeta.
"Aku tahu kamu masih di sini, Zeta," bisiknya, seolah berbicara langsung kepada suara itu. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu mengendalikan hidupku lagi."
Tidak lama kemudian, Mira datang menghampirinya. "Hey, apa kamu siap untuk seminar kesehatan mental di sekolah? Mereka butuh pembicara lagi, dan aku merekomendasikan kamu."
"Seminar lagi?" Alif merasa berdebar. "Apakah aku siap? Bagaimana jika suara Zeta kembali muncul dan mengganggu?"
Mira duduk di sampingnya, memandang Alif dengan penuh pengertian. "Ingat apa yang kamu sampaikan di seminar sebelumnya? Kamu tidak sendirian. Kita semua memiliki perjuangan kita masing-masing. Ini kesempatan untuk membantu lebih banyak orang."
Alif menghela napas. Kata-kata Mira mengingatkannya pada kekuatan yang dia miliki. "Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi kali ini, aku ingin lebih mendalam. Aku ingin berbicara tentang bagaimana cara melawan stigma seputar kesehatan mental."
Hari seminar pun tiba. Alif berdiri di depan kelas yang penuh dengan siswa dan beberapa guru. Dalam hatinya, ada rasa cemas, tetapi dia tahu bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk membawa perubahan. Dia mengambil napas dalam-dalam dan mulai berbicara.
"Selamat pagi semua! Hari ini saya ingin berbicara tentang sesuatu yang sangat penting: kesehatan mental." Suaranya tegas, dan sorotan matanya berkeliling ruangan. Dia melanjutkan dengan menjelaskan apa itu kesehatan mental, stigma yang sering mengikutinya, dan pentingnya berbagi pengalaman.
"Banyak dari kita merasa terjebak dalam keheningan ketika berurusan dengan masalah mental. Kita takut dihakimi, atau bahkan ditinggalkan. Tapi kita tidak sendirian. Kita harus berbicara, saling mendukung, dan saling memahami."
Saat berbicara, Alif bisa merasakan koneksi dengan pendengar. Dia melihat beberapa siswa mengangguk, sementara yang lain mengusap air mata. Tiba-tiba, Zeta muncul di benaknya, mengawasi dengan sinis.
"Kamu tidak lebih baik dari mereka," bisik Zeta. "Mereka tidak akan menganggapmu serius. Lihatlah mereka—semua terlihat skeptis."
Alif merasakan jantungnya berdebar. Dia tahu itu adalah bagian dari perjuangannya, tetapi alih-alih membiarkan Zeta menang, dia menguatkan tekadnya. "Bukan soal siapa yang lebih baik atau lebih buruk. Ini tentang berbagi, mendengarkan, dan saling memahami."
Di akhir seminar, Alif memberi kesempatan untuk bertanya. Seorang siswa berdiri, matanya tampak penuh semangat. "Bagaimana cara kita membantu teman yang mungkin sedang berjuang, tapi tidak mau berbicara?"
Alif tersenyum, terharu oleh pertanyaan itu. "Dukungan kecil bisa sangat berarti. Cobalah untuk bersikap empati, dengarkan mereka tanpa menghakimi. Tawarkan bantuan tanpa memaksa. Terkadang, hanya dengan hadir di samping mereka sudah sangat berarti."
Setelah seminar berakhir, Alif merasa lebih kuat. Beberapa siswa mendekatinya untuk berbagi pengalaman mereka sendiri, dan dia merasakan betapa berartinya momen itu. Mereka saling berbagi, saling mendukung, dan dia tahu bahwa mereka semua adalah bagian dari perjalanan ini.
Di luar ruangan, Alif bertemu Mira. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya, matanya berbinar.
"Luar biasa! Kamu melakukan pekerjaan yang hebat. Orang-orang benar-benar terhubung dengan cerita kamu," jawab Mira penuh antusias.
Saat mereka berjalan menuju mobil, Alif merasakan energi baru. "Aku merasa lebih kuat sekarang. Seperti aku bisa melawan Zeta."
Namun, seiring berjalannya waktu, dia juga merasakan tekanan untuk tetap kuat. Suara Zeta yang selama ini mengganggu tiba-tiba terasa semakin kuat. "Kamu pikir ini sudah berakhir? Siapa yang akan mendengarkanmu ketika kamu merasa lemah?"
Hari-hari berlalu dan Alif mulai merasakan beban di pundaknya. Meskipun dia berusaha untuk tetap optimis, Zeta tetap mengawasi dari sudut gelap pikirannya. Suatu malam, saat Alif sedang bersantai di rumah, Zeta akhirnya mengambil alih.
"Lihatlah kamu," bisiknya. "Kamu hanya berpura-pura kuat. Sekarang, coba lihat di cermin. Apakah kamu yakin kamu bisa terus berbicara tentang harapan ketika dirimu sendiri merasa rapuh?"
Alif merasakan hatinya tercekat. Dia bangkit dan melihat ke cermin. Dia melihat dirinya—seorang pemuda yang telah berjuang melawan bayang-bayangnya sendiri. "Tapi aku tidak bisa menyerah," katanya kepada refleksinya. "Aku harus terus maju."
Keesokan harinya, Alif mendapati dirinya terbangun dengan perasaan hampa. Dia merasa tidak ingin keluar dari tempat tidur, tidak ingin menghadapi dunia. "Apa yang terjadi pada semangatku?" pikirnya. Namun, dia teringat pada janji yang telah dibuat untuk dirinya sendiri—janji untuk tidak membiarkan Zeta menang.
Dengan susah payah, Alif bangkit dari tempat tidurnya dan pergi ke taman. Dia membutuhkan udara segar untuk membersihkan pikirannya. Saat berjalan, dia melihat sekelompok anak-anak bermain di lapangan, tertawa dan berlari. Suara ceria mereka membuatnya tersenyum. Dia memutuskan untuk bergabung, meskipun hanya sebentar.
Dia berinteraksi dengan mereka, ikut bermain, dan merasakan kebahagiaan yang sederhana. Dalam momen-momen itu, dia menyadari betapa berharganya hubungan dan dukungan. Mungkin, harapan itu tidak selalu datang dalam bentuk besar—kadang-kadang, ia muncul dalam tawa anak-anak, dalam kebaikan orang-orang di sekitar kita.
Saat kembali ke rumah, Alif membuka jurnalnya dan mulai menulis. Dia menuliskan pengalamannya hari itu, bagaimana bermain dengan anak-anak telah memberinya kembali semangat. Di akhir tulisannya, dia mencatat sebuah kalimat baru: "Dalam kegelapan, aku akan mencari cahaya—entah dari mana pun itu datang."